Keikhlasan

Nila Kresna
Chapter #9

Perempuan Milik Ammar

Esok harinya kembali terulang, kali ini Halimah lebih bergelayut manja pada lengan Ammar dari keluar pintu kamar sampai ruang tengah, Ayu yang keluar dari kamarnya hendak ke dapur melihat interaksi itu merasa menjadi pengganggu di antara keduanya.

“Yu, sudah mandi, kita makan.” Ajak Halimah masih dengan bergandengan tangan, sesekali melihat Ammar dengan senyuman bahagia.

Ammar pun membalas senyuman itu. “Mari makan bersama.” Ajaknya juga sambil melanjutkan langkah menuju dapur.

“Terus apa kata pak Rinto nya, Mas. Ko anehnya bos kaya gitu.” Halimah terus bicara santai menanggapi cerita Ammar soal kejadian di kantor kemarin.

Dari belakang Ayu mengikuti sampai ruang makan barulah genggaman keduanya terlepas. Ayu duduk di sebelah kiri, sedangkan Halimah duduk di kanan Ammar. Mengambilkan nasi juga lauk yang hendak Ammar santap.

Baru satu suapan ponselnya berdering di dalam kamar, Ammar kembali meninggalkan meja makan untuk mengambil ponselnya.

“Ammar.” Panggil Widuri dari seberang sana dengan video call.

“Iya, bu kenapa?” Sahut Ammar.

Setiap kali ibunya menelpon, sebagai anak Ammar selalu merasa khawatir karena sang ibu tinggal sendiri. Sering kali Ammar mengajak ibunya untuk tinggal di Jakarta tapi selalu ditolak, katanya di sana lebih dekat dengan makam ayahnya. Walaupun Ammar membayar asisten rumah tangga untuk membantu sekaligus mengawasi keadaan Widuri tetap saja ia khawatir.

Widuri kembali bicara. “Kamu ambil cuti lagi buat bulan madu sama Ayu. Ke Bali ke atau kemana gitu, satu minggu. Biar dia cepet isi.”

Rasanya Ammar menyesal kenapa harus kembali ke meja makan kenapa tidak bicara saja dulu di dalam kamar.

Ammar langsung melihat Halimah, sebelum kembali melihat ibunya. “Belum bisa ambil cuti lagi, Bu.” Tolak Ammar dengan halus.

“Diusahakan, biar kalian ada waktu bersama. Halimah biar ibu yang temani, kalau suda ada waktu cutinya kamu bilang, nanti ibu ke sana temani, Halimah.”

“Iya, bu. Nanti diusahakan.” kilah lagi Ammar.

“Ya sudah, itu saja yang ingin ibu sampaikan, hati-hati dijalan nanti, Assalamualaikum.” Widuri menutup telponnya.

“Waalaikumsalam.”

Rasa makanan sepertinya telah berubah, keadaan jadi hening. Halimah dan Ayu hanya saling melihat dalam diam.

“Kamu masih bisa cuti, Yu?” tanya Halimah.

“Masih tapi ga bisa lama,” jawab Ayu. Masih terasa ketegangan.

Halimah kembali melihat Ammar. “Kalo, Mas, masih bisa cuti? Pergilah.”

“Kita pergi bertiga, Hal.” Ayu langsung memotong ucapan Halimah.

“Ya, ndak bisa, Yu. Aku akan dicap sebagai pengganggu nanti tidak membiarkan kalian berdua,” tutur Halimah mencoba tenang meski deru gejolak dalam dada sulit diredam.

“Nanti dibahas lagi.” Ammar langsung menghentikan ucapan kedua istrinya kemudian berdiri dari duduknya, membawa piring kotornya ke dapur.

Halimah masih memperhatikan kepergian Ammar. Lalu pandangannya kembali pada Ayu. “Aku tahu kalian masih sangat canggung, aku tidak keberatan kamu dekat dengan mas Ammar, Yu. Pergilah kalian berdua. Nanti aku bujuk mas Ammar.”

Dari perkataan Halimah barusan malah membuat Ayu diam, seakan Halimah menggiring pikirannya jika Ammar hanya akan mendengarkan permintaannya.

Lihat selengkapnya