Dua hari selepas hari itu perkiraan Halimah tidak salah Ammar memang sudah sangat dekat dengan Ayu, malam ini Ammar tidur di kamarnya. Untuk menenangkan hati malam ini Halimah bangun dari jam dua malam sampai subuh untuk sholat sunah juga mengaji.
Ternyata, sampai waktu menjelang subuh Ammar baru masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan sudah mandi. Ammar mencari bajunya sendiri karena melihat Halimah masih duduk dengan mukenanya, bermaksud tidak ingin mengganggu.
Halimah meneteskan air mata, ia tahu Ammar yang masuk, namun harum sabun mandi bukan milik dirinya, mengisyaratkan sesuatu. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya Ammar datang ke kamarnya barulah mandi.
“Mas, ke mesjid ya, Dee.” Pamitnya.
Dengan senyuman kecil Halimah mengikuti arah langkah Ammar. “Iya, Mas.”
Sudah mau keluar Ammar kembali lagi ke dekat Halimah, untuk mencium keningnya. “Buatkan, Mas teh nanti.”
Sekali lagi Halimah mengangguk, sekepergian Ammar ia kembali menangis tanpa suara, meringkuk di lembaran sajadah, sudah selesai orang sholat, ia kembali menegarkan diri, keluar dari kamar seperti tidak ada apa pun.
Di dapur sudah ada Ayu dengan Widuri yang terlihat akrab, Halimah hanya menyimak obrolan dari belakang.
“Anak itu memang aktif sekali, waktu umur lima tahun dadanya kena pagar besi. Ibu kaget setengah mati, dia pulang sambil megangin dada sama bajunya robek, rembesan darah. Coba, siapa yang ngga syok ngeliatnya.” Widuri mengenang masa kecil Ammar sambil terus bercerita pada Ayu.
“Ya Allah, terus gimana, bu?” Ayu ikut antusias sampai tidak menyadari keberadaan Halimah.
“Masih ada untungnya, kulitnya saja yang sobek tidak nancap pagar besinya itu, sampai sekarang bekas jahitannya ada itu.” Terang Widuri lagi.
Ayu mengingat-ingat sesuatu. “Iya, betul, bu. Ada jahitan panjang di dada mas Ammar.” Semalam saat bersamanya, Ayu memang melihat bekas luka itu, Ammar juga sempat menerangkan hanya sedikit, kini dari ibunya ia mendapatkan cerita lengkapnya.
Halimah yang masih ada di sana meremas bajunya menahan agar dirinya tidak pingsan di sana.
“Soalnya mas Ammar kalo tidur ga pake baju, ya, bu.” Ayu tertawa malu tapi terlihat kebahagiaannya.
“Iyo, memang. Dulu pulang sekolah pake daleman doang nyusu terus tidur, sampe sekarang kalo tidur ga pake baju.” Widuri juga nampak akrap bicara dengan Ayu menceritakan masa kecil Ammar.
Dari pintu depan suara Ammar memberi salam. “Assalamualaikum.” Suaranya memecahkan suasana yang ada.
Halimah langsung berbalik arah. “Waalaikumsalam.” Suarnya harus kembali tegar meski hatinya remuk.
Ayu ke ruang tamu membawa empat gelas teh. “Hal, aku kira belum bangun. Aku buatkan teh.” Ayu meletakan di meja ruang tamu.
“Sebelum subuh biasanya Halimah sudah bangun,” tutur Ammar. “Aku berangkat cepet hari ini, kerjaan numpuk.”