Tiga jam menunggu barulah giliran Ayu yang masuk, ada rasa cemas jika semua tes kemarin salah, mungkin tepatnya takut mengecewakan Ammar juga ibunya yang sangat begitu bahagia mengetahui dirinya hamil. Sebelum mulai usg Ayu menceritakan bagaimana bulan lalu ia halangan sampai kemarin.
“Kalau dilihat dari tanggal menstruasi, ibu. Sekarang sudah delapan minggu, tapi kita pastikan lebih akurat dengan usg ya, bu.” Kata sang dokter.
“Cucu pertama saya ini, dok,” ucap Widuri antusias.
“Oo Iya, bu. Selamat ya, bu. Bahagia sekali memang dapat cucu pertama. Senang sekali dede bayinya sampai neneknya ikut cek. Mari bu Ammar, dibantu suster.” Dokter itu mulai bersiap.
Perut Ayu diolesi jel, beberapa detik dari monitor terlihat bulatan sebesar biji kacang. “Selamat, pak Ammar. Ini janinnya.” Dokter menerangkan apa saja yang ada di dalam monitor. “Kita lihat sudah berapa minggu.” Dokter memeriksa ukuran janin, kantong dan ketuban. “Dari ukuran janin sudah delapan minggu, kantongnya bagus ketuban cukup. Sebelah sini kepalanya.”
“Kita dengarkan jantungnya, ya.” Begitu suara jantug janin itu terdengar.
Ammar tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, tanganya sampai keringat dingin melihat monitor juga mendengarkan dengan cermat arahan dokter untuk bagaimana menjaga kandungan Ayu. Selesai pemeriksaan Widuri meminta mampir ke minimarket untuk belanja nutrisi tambahan untuk Ayu.
*
“Kamu suka buah apa, Yu?” Widuri sedang memilihkan apel. “Buah yang ibu beli ga boleh dimakan sekaligus banyak, pokonya jangan berlebihan makannya.” Widuri yang langsung memilihkan buah apa saja yang dimakan Ayu. “Jangan makan nanas sama duren dulu. Katanya memang tidak apa-apa tapi kita harus menjaga.”
“Iya, bu.” Ayu berjalan dengan Ammar yang terus menggenggam tangannya sesekali membelai perut rata Ayu.
“Susunya mau yang mana, kalo ibu maunya yang bagus, tapi gimana kamu yang mana yang kamu suka.” Widuri sampai membaca nutrisi dalam susu yang akan Ayu konsumsi. “Ammar, mulai sekarang kalian berdua berangka barengan, Ayu jangan nyetir sendiri.”
Ayu langsung melihat Ammar. Tidak bisa begitu, nanti akan menimbulkan kecurigaan beberapa bulan ini saja keduanya sering makan satu meja sudah menimbulkan pertanyaan aneh-aneh.
“Gapapa ko, Bu, nyetir sendiri,” kata Ayu langsung.
“Ga boleh, lebih bagus berdua.” Widuri kembali membeli barang yang mungkin Ayu butuhkan.
“Mas.” Ayu memanggil pelan Ammar bermaksud meminta dirinya yang bicara.
“Ga papa, aku juga ga tega kamu nyetir sendiri.” Kalau sudah Ammar yang bicara mau bagaimana lagi. Ayu diam. Mulai besok harus mencari alasan mengapa selalu datang bersama Ammar.
Halimah sudah mendapat kabar dari Ammar tentang kehamilan Ayu begitu sampai di rumah, Halimah membukakan pintu yang terdengar langsung suara Widuri.
“Kamu jangan terlalu cape.” Bahkan saat Ayu turun dari mobil langkahnya begitu diperhatikan Widuri.
“Iya, bu. Ayu bantu mas Ammar ngeluarin belanjaan.” Ayu sudah mau mengikuti Ammar ke bagasi belakang.
“Ga usah, biar Ammar saja. Ada Halimah juga. Kamu masuk saja, sudah sore ga bagus buat orang hali.” katanya langsung menarik tangan Ayu pelan untuk masuk melewati Halimah.
Akhirnya Halimah mendekati bagasi belakang diman Ammar sedang mengeluarkan semua barang belanjaan. “Sini Mas aku bantu.” Tangan nya akan menjangkau kantong.
“Ga usah, aku bisa. Masuklah ikut ibu sama Ayu, biar cerita-cerita.”
Bagaimana bisa bergabung diantar keduanya, tadi saja sudah sangat jelas Widuri mengabaikannya, fokus menjaga langkah Ayu saat menaiki tangga rumah.