Siang ini selepas meeting Ammar keluar paling akhir, bosnya yang melihat kusut wajah bawahan andalannya ini langsung bertanya. “Kenapa rupanya? Dari tadi kuperhatikan kusut saja wajahmu?”
Tadinya Ammar akan keluar jadi kembali duduk di dekat bosnya. “Pusing kepalaku, bos. Dulu rumah tangga kami sering bermasalah karena belum ada anak sekarang sudah ada anak itu, tidak juga menjadi tenang.” keluh Ammar. Tidak biasanya dirinya bercerita soal keluarga tapi rasa-rasanya akhirnya ini ia merasa tidak tenang.
“Ternyata hanya urusan permpuan yang membuat kepalamu using.” Bosnya itu tertawa, sedangkan Ammar hanya tersenyum. Ia terkenal sebagai pegawai yang memiliki loyalitas tinggi.
“Kuncinya cuma satu untuk menghadapi perempuan. Biarkan. Biarkan dia mengatur rumahnya, biarkan dia mengatur keuangannya, biarkan saja, yang penting dia di rumah. Cukup kamu dengarkan keluh kesanya, setelah itu peluk dia. Selesai urusan. Kamu ini bagaimana.” Bosnya itu kembali tertawa puas. “Urusan perempuan baru kamu kewalahan.”
Ilmu seperti itu sudah lama Ammar terapkan, tapi saat ini keadaan berbeda. “Bagaimana menurut bos soal poligami?” Ammar penasaran bagaimana pria lain yang mengatur istri lebih dari satu meski bosnya ini setahu dia hanya memiliki satu istri atau mungkin ternyata seperti dirinya menyembunyikan istri keduanya.
“Aku tidak mau punya istri dua, aku capek kalau harus dituntut bertanggung jawab untuk semua keadaan. Kamu bayangkan saja, kalau istri pertama sakit, istri kedua sakit aku harus selalu perhatian sama keduanya. Bagaimana aku membagi waktu. Salah sedikit mereka saling cemburu. Satu saja buat kepalaku pusing, kalau ingin main-main saja cukup aku cari di jalan.” Pria itu tertawa sambil melihat Ammar.
Ammar bukan pria yang suka menghakimi mereka yang mencari kesenangan diluar pasangan, yang penting dirinya tidak pernah melakukan itu.
“Saya salut sama mereka yang punya istri sampai empat, bagaimana cara atur waktunya?” bosa Ammar kembali menerawang. “Apa lagi rumahany harus terpisah.”
“Memang harus terpisah, boo?” Tanya Ammar serius.
“Harus, perempuan itu punya tempat dan waktu yang tidak mau diganggu siapapun. Misal, kaya dapur. Mereka tidak mau dapurnya diganggu orang lain, mereka suka menghias dapur sesuai keinginan sendiri.”
Dari obrolan itu Ammar paham permintaan Halimah tidak salah, Ayu juga mungkin nanti akan menuntut hidup terpisah, bagaimanapun saat ini ia pasti merasa tidak bisa bebas di rumah sendiri.
Karena itu saat ini Ammar mencari-cari perumahan baru yang tidak terlalu jauh dari kantornya, untuk perjalanan satu atau dua jam tidak masalah, ia bisa berangkat awal. Kalau harus mencari rumah yang terdekat pasti harganya mahal. Ia memilih mencari rumah kedua yang bisa diangsur.
Setelah ini ia akan bicarakan dengan Ayu, sepulangnya ke rumah suasana semakin tidak nyaman tidak ada perbincangan atau canda gurau, jika Ayu di ruang tamu berarti Halimah dikamar atau di dapur begitu sebaiknya.
Malam ini Ammar berbaring diranjang, menunggu Halimah selesai dari kamar mandi. “Mas sudah cari rumahnya, Dek.” Kata Ammar begitu Halimah duduk di sampingnya.
“Dimana?” sebenarnya Halimah kecewa mengapa dirinya yang harus pergi dari rumah ini, sedangkan indah awal penikahan keduanya dibangun dalam rumah ini.
“Dua jam dari kantor, lebih jauh memang tapi masih bisa.” Ammar membawa Halimah dalam dekapannya. “Nanti aku bicarakan lagi dengan Ayu, sampai rumah itu siap ditempati.”
“Aku saja yang disana, Mas.” Halimah juga berpikir bagaimana dengan anak Ayu kalau dirumah baru nanti, jadi dirinya harus mengalah.