Setelah satu bulan kepulangan Widuri sudah ada kabar jika tanah yang dijualnya sudah laku dan Ammar sudah melanjutkan pembangunan rumah itu, saat ini ia hendak keluar dengan Halimah untuk membeli kebutuhan bulanan.
Ayu sudah mencatat semua kebutuhannya juga Hadibah. Ammar menerima catatan itu sambil bicara. “Ada makanan yang mau dibeli?” sebetulnya Ammar tahu jika kedua istrinya sedang perang dingin. Hanya, dirinya bingung harus bagaimana? Apalagi jika harus memihak salah satu, lebih baik dirinya diam seperti sekarang. Mencoba selalu menunjukkan jika keduanya sama arti dalam hatinya.
“Mm, pengen bakso yang deket kantor, sih. Tapi kalo kejauhan ga usah, Mas.” kata Ayu sedikit cemberut.
“Ko ga usah, bisa sekalian dihampiri. Lain kali kalo mau apa-apa, bilang saja. Kalau Mas bisa kasi pasti dikasih,” ujar Ammar selalu menenangkan.
Ayu tersenyum mengangguk lantas Ammar mencium keningnya. “Mas jalan dulu, ya. Bener ga ikut?” Ia kembali memastikan masih berharap Ayu bisa ikut.
Sebenarnya Ayu ingin keluar tapi karena Halimah ikut Ayu tidak mau menjadi pengganggu, jadi dirinya hanya dirumah saja.
“Kapan-kapan aja.” Kata Ayu masih dengan senyuman.
“Ya sudah, lain kali kita pergi bertiga.” Kata Ammar, yang langsung membuat Ayu terdiam. “Aku, kamu, sama Hadibah.” Lanjut Ammar lagi, melihat wajah Ayu tadi sepertinya ia salah paham atas maksudnya.
Mendengar itu barulah Ayu kembali tersenyum lalu mengangguk. Ammar yang sekarang kebingungan untuk mengakurkan keduanya.
Mengajak Halimah belanja, sambil sedikit mengajak bicara perihal keadaan persahabatan keduanya. “Mas carikan pesanan Ayu dulu.” Ammar sudah mau menarik keranjangnya.
“Apa saja pesanan Ayu, Mas?” tanya Halimah meminta catatannya.
Ammar memberikan. “Tumben kalian kasih satu-satu, biasanya digabung, malah diskusi apa saja yang perlu.” Ia mulai membuka pembicaraan dan berharap Halimah juga menyampaikan permasalahan di antara keduanya. Karena Ammar tau kasih sayang diantara keduanya juga tulus.
“Ga ada, Mas. mungkin hanya kebetulan saja.” Halimah mengambil popok yang Ayu pesan.
“Mas lihat akhir-akhir ini, kalian jarang bicara. Kita juga jarang kumpul bertiga. Kalo mas waktunya sama Ayu, kamu ga mau ikutan nimbrung. Begitu juga Ayu, tidak pernah gangu mas kalau sedang sama kamu.” Terang Ammar.
“Bukannya bagus, ya. Kami sama-sama saling menghargai privasi saat bersama, Mas. Makanya aku ingin pindah waktu itu.” Jelas Halimah.
Ammar mengangguk. “Tapi, mas berharap kalian seperti dulu. Persahabatan kalian ada jauh sebelum mas mempersunting kalian. Rasanya bersalah sekali kalau karena mas kalian jadi saling menjauh bahkan canggung saat bersama.” Jika ditelaah kini, Ammar yang merasa bersalah atas tindakannya menikahi Ayu. Persahabatan keduanya menjadi renggang. “Semuanya salah, mas.” sambungnya menyesal.
“Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, Mas. Keadaan saat ini ada karena hal yang kita ciptakan sendiri. Jika diselami, Aku dan Ayu tidak akan seperti ini jika aku tidak memintanya menjadi istri keduamu, tapi lebih jauh lagi semua ini tidak akan terjadi jika kamu tidak menikahiku, dulu. Atau mungkin seharusnya kita tidak bertemu”
“Dek.” Ammar menarik tangan Halimah. “Kamu menyesal bertemu denganku? Kalau mas, tidak pernah menyesal menikahimu.”