Beberapa hari berlalu anak bayi itu sudah bisa pulang, seperti yang dikatakan Ammar anak itu belum bisa Halimah bawanya pulang. Pihak dinas sosial harus mendatangi rumahnya dulu dimana Widuri sudah ada di sana.
“Hari ini dinas sosial datang, Bu.” Kata Ammar memberitahu ibunya, meski dari kemarin sama sekali tidak direspon ucapannya tentang rencana adopsi ini.
Widuri sedang duduk bersama Ayu, menimang Hadibah. “Kenapa tidak dipikirkan masak-masak dulu, kamu punya istri dua, anak, belum lagi kebutuhan harian, sekolah anak. Zaman semakin berkembang semuanya serba mahal. Malah adopsi anak, bukannya dicukupkan saja dengan satu anak, nanti Ayu juga bisa hamil lagi.” Yang Widuri tahu adopsi ini yang menginginkan Ammar, dikarenakan kasihan kedua orang tua anak itu meninggal.
Untuk menutupi Halimah juga memuluskan tujuan, ia tidak mau Halimah kembali disalahkan atas adopsi ini. Ayu yang tahu segalanya hanya diam duduk di sana mendengarkan pembelaan Ammar atas anak yang Halimah inginkan. Terbersit kecemburuan jika cita Ammar habis untuk Halimah sedangkan dirinya hanya sebuah alat untuk memiliki keturunan sebagai pelengkap keluarga ini.
Karena pemikiran itu beberapa hari ini Ayu terlihat muram sampai membuat asinya bermasalah. Ditambah Hadibah yang rewel setelah imunisasi.
Semua hal sudah ada dalam pikiran Ammar termasuk rencana untuk mencapai penghasilan tambahan. “Iya, bu. Aku ngerti.”
Terdengar ada suara mobil berhenti di depan rumah. Ammar langsung memanggil Halimah. “Dek, udah dateng.” Kata Ammar segera melangkah ke luar rumah, Halimah juga ikut berjalan ke arah luar, melewati Widuri yang terlihat tidak peduli, sedangkan Ayu diam saja.
Dua orang dari dinas itu masuk ke ruang tamu lalu masuk ruang keluarga, melihat Ayu dan anaknya. “Ini siapa pak Ammar?” tanyanya melihat Ayu. Karena diluar tadi sudah berkenalan dengan Halimah.
“Dia istri kedua saya, pak.” Tutur Ammar membawa Ayu ke sampingnya.
“Loh, ada istri kedua rupanya. Tolong dicatat.” Pintanya pada rekan yang ikut, sejak tadi ia mencatat hal penting keadaan rumah Ammar layak atau tidaknya, kini Ayu masuk dalam catatan istri keduanya.
Widuri yang ada disana segera masuk kedalam kamar, tanpa menyapa.
“Itu, ibu saya,” jelas Ammar lagi.
“Tinggal di sini juga?” Orang itu kembali melihat asistennya. “Sudah dicatat?” Asistennya mengangguk. Orang dinas itu kembali melihat Ammar yang hendak bicara.
“Ibu saya punya rumah sendiri di kampung, beliau hanya sesekali berkunjung ke sini.” Terang Ammar. Kembali mengantarkan kedua orang itu berkeliling.
“Dari istri pertama punya berapa anak? Pak.” tanya orang dari dinas itu.
“Istri pertama tidak bisa hamil, dari istri kedua baru satu.” Ammar tidak yakin ini akan berhasil, banyak persyaratan yang belum bisa terpenuhi untuk adopsi. Tapi, yang penting sudah berusaha.
“Jadi nanti anak itu akan dirawat oleh ibu Halimah sebagai istri pertama dan tinggal di sini? Kita bicara Andai dulu, pak Ammar.”
Suasana dibuat senyaman mungkin. “Andai adopsi ini sudah mendapatkan persetujuan dari pihak pertama, apa ibu anda setuju adopsi ini? Saya lihat-lihat, ibu anda seperti keberatan. Maaf pak Ammar, bukan saya kurang ajar berani menilai, saya hanya menjalankan tugas untuk menjaga anak itu agar diasuh oleh keluarga yang tepat, agar anak itu tumbuh dengan baik. Dari sisi kasih sayang tercukupi, perhatian anda sebagai ayah angkatnya atau istri pertama anda sebagai ibu sambung keduanya.”
“Iya, saya paham, Pak. Saya dan istri pertama akan menyayangi anak itu, memperlakukan dengan baik juga mendidiknya. Terkait pembagian waktu nanti antara kedua istri saya akan dilakukan persatu minggu. Nanti juga istri kedua saya akan pindah ke rumah baru jadi nanti di sini Halimah dan anak itu.” penjelasan Ammar semoga bisa diterima baik oleh dinas terkait adopsi anak itu.
“Baik pak saya rasa cukup survei yang saya lakukan, kita nantikan hasilnya nanti. Tapi, jika nanti dibutuhkan ada jeda waktu sampai masa pernikahan pak Ammar dan bu Halimah cukup, sebagai salah satu syarat. Saya harap ibu Halimah terus mengunjungi anak itu sebagai bahan pertimbangan kami untuk keberhasilan adopsi ini.”