Kegiatan Halimah beberapa hari ini pergi jam sembilan dan akan kembali jam tiga sebelum Ammar pulang, ia pergi ke panti dimana anak itu tinggal sementara ini bersama anak-anak lain. Keadaan rumah masih tetap sama, semuanya akan berkumpul saat Ammar ada lalu kembali ke kamar masing-masing paling hanya Widuri dan Ayu yang selalu bersama sedangkan Halimah tidak dianggap ada.
Hari ini pun sama dirinya hendak berangkat, ingin berpamitan tapi takut Widuri tidak menjawab pamitnya, apa lagi di kamar. Pergi begitu saja, tidak sopan tidak izin pada mertuanya. Semakin hari ia semakin tidak nyaman dengan keadaan ini, rasanya dirinya sedang disadarkan jika seharusnya dirinya mendur. Ia pergi melewati kamar Ayu dan Widuri, tadi sudah berpamitan pada art titip pesan jika dirinya pergi ke panti.
Sampai di panti rasanya begitu damai, dikelilingi anak-anak dengan pemikiran polosnya, Halimah memangku Humairah dikelilingi anak-anak lain. Bernyanyi bersama, memeluk, mencium mereka mencurahkan kasih sayang yang selama ini terpendam. Segala kegundahan hatinya menghilang begitu dekat dengan mereka.
Semantar itu di rumah, Widuri keluar dari kamarnya mendengar Hadibah menangis. Ia mengetuk kamar Ayu. “Kenapa, Yu?” tanyanya dibalik pintu.
Ayu membuka pintu. “Rewl, Bu. Tapi ga demam.”
Widuri mengambil Hadibah dari gendongan Ayu. “Kamunya kecapean, ga? Biasanya anak itu ikut emosi ibunya, kalo cape dia ikut cape. Atau lagi uring-uringan?” begitu Widuri bertanya seakan membawa masalah yang ada ke dalam perasaan Ayu.
“Ga tau, Bu.” Ayu melihat Hadibah.
“Kenapa ini cucu, nenek?” Widuri menggendongnya membawa ke halaman depan, terus menimbang sambil mengajak bicara. “Kalo kamu cape bilang, nanti biar ibu gantian yang jaga Hadibah, kamunya istirahat.”
Setelah bicara itu Widuri melihat ke arah dalam rumah. “Mana Halimah?” ia melihat rumah sepi saja.
“Sepertinya sudah pergi, Bu,” jawab Ayu.
“Sopan sekali setiap hari pergi tidak berpamitan, semakin lama semakin seenaknya aja mentang-mentang istri pertama.”
Dari awal pernikahan Ayu dan Ammar. Widuri selalu menggiring pemikiran Ayu untuk tidak menyukai Halimah. Entah disadari atau tidak oleh Ayu, di antara ada atau tidak kesalahan itu, bagi Widuri, Halimah lah yang bersalah atas semua ini. Jika saja Halimah bisa mengandung, Ammar tidak akan sesulit ini hidupnya. Dan mungkin ‘jika’ yang lain ada bagi Widuri tetap Halimah yang bersalah.
Ayu belum bisa bicara banyak, ia juga tidak bisa membela Halimah atas keadaan, kenyataannya ia nomor dua dalam kehidupan rumah tangga sahabatnya itu.
Sedang ada dalam pikiran masing-masing, Widuri menelpon Ammar. Mendengar nama suaminya disebut seketika Ayu inging menghentikan ucapan Widuri.
“Halimah pergi tidak bilang-bilang, kalau cuma satu hari tidak apa-apa ini setiap hari, kamu harus tegas pada istri.”
“Bu, jangan telpon mas Ammar, dia sedang kerja.” Ayu paham betul bagaimana saat bekerja, konsentrasi kita harus benar-benar terpusat disana.