Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #1

Prolog


Seseorang pernah bilang, dia dilahirkan dari kejahatan sempurna sebuah keluarga kaya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah pria itu sendiri yang mengatakannya. Dia bertekad meruntuhkan kejayaan keluarganya yang tengah merayakan kemenangan atas keberhasilan mereka menanamkan cakarnya pada sistem politik. Tepatnya ucapan itu terlontar ketika pria itu beranjak tiga belas tahun usianya. Usia yang cukup bagi seorang anak yang mengamati perilaku para saudaranya sedari kecil. Kini ia telah matang dengan pemahamannya tentang apatah rahasia mengerikan yang disembunyikan klan keluarganya dalam usaha menundukkan pemerintah. Namun, sebagaimana kebanyakan orang dewasa mendengar gumaman anak kecil, mereka tak percaya atau bahkan tak peduli jika kelak mereka menyesal telah meremehkan sumpah pria kecil itu, kecuali ibunya yang mendadak meremang hebat setelah menyaksikan anaknya berikrar. Biar bagaimanapun ibu yang melahirkan dan menyusui lebih memahami arah tumbuh seorang anak. Dan menurut si ibu, anaknya itu tumbuh tidak wajar.         

Ibu ini dulunya adalah wanita simpanan yang dikawin siri oleh pria mapan. Rupanya, ruang sempit di hatinya yang tadinya cukup  hanya untuk bergaya OKB (Orang Kaya Baru), kian hari kian melebar menjadi seluas aula yang diisi keserakahan. Tidak cukup rumah vila dan segepok uang setiap hari untuk dibelanjakan. Ibu ini ingin pengakuan publik macam istri sah. Maka, pergilah ia ke tukang jampi-jampi. Membawa pulang sebuah boneka jerami yang dia tenggelamkan dalam selokan. Matinya istri sah dari suaminya membuatnya hanyut dalam dominasi, lantas melupakan sesuatu. Dia lupa bahwa jalan yang ditempuhnya berbayar mahal. Tidak hanya bernilai segepok uang yang dia berikan pada tukang jampi kenalannya, lebih dari itu. Si ibu harus membayarnya melalui hukum karma. Jika dia melahirkan seorang anak laki-laki, keturunan terakhir dari generasi konglomerat, anak tersebutlah yang akan membalas kebiadaban semua keturunan konglomerat yang tersisa. Satu per satu, tanpa ampun. Bisa saja si ibu menghindar, akan tetapi ia malah luluh pada naluri keibuannya. Ia membesarkan anak itu dengan baik, tak kurang satupun, kecuali … kesehatan jiwa.

Dua puluh tahun kemudian, seorang perempuan sedang menggali kuburannya sendiri. Dia menggali sedalam lubang tambang, berniat mengubur akalnya, kenangannya, berikut juga masa depannya. Itu dia lakukan karena kematian bapaknya yang kata orang “kualat”. Bapaknya sungguh makhluk pengerat. Masyarakat semakin geram karena sudah enam kali rapat, undang-undang perampasan aset tak kunjung disahkan. Sekarang salah satu pengerat dari banyaknya makhluk-makhluk pengerat yang bersembunyi dalam gorong-gorong pemerintahan telah mati. Berita itu menjadi semacam penghiburan sementara rakyat yang tampaknya akan dibuat terus menanti kepastian undang-undang perampasan aset para pidana korupsi, entah sampai kapan. Bisa jadi bila penantian itu segera diakhiri, rakyat mungkin akan terobati dari penyakit muak, lantas kembali damai ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Perempuan itu bukan tidak rela jadi miskin, dia tidak rela saja bapaknya mati sebagai tumbal pertama dari kejadian-kejadian beruntun yang terjadi setelahnya sehingga dia memutuskan membalas dendam pada pria yang mengaku “terlahir dari kejahatan sempurna”.

Lihat selengkapnya