Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #2

Sum Kuning dan Sum Merah

Sum Kuning

 

Desember 1970 basah

Oleh tetesan darah dari selangkangan penjual telur

Orang kira kemaluannya mengedankan 200 telur

Menangis pilu ia, Sum kuning tanpa telur-telur di bawah kakinya

4.650 rupiah lenyap darinya

Namun bukan perkara duit

Tahun 1971, begitu ganjil

Begitu tengik

Cuih, apalagi?

Begitu kontroversi

Tanda-tanda kehancuran itu mulai tampak tak kenal segan

Si pendosa kaya menjadi juara

Sedang si pesakit miskin tidak punya daya

Pantang si miskin mengenal keadilan

Sum Kuning lalu memilih dianggap membual

Sebab ia dipaksa percaya bahwa keadilan hanya milik orang berduit




LIMA jarinya menari di atas roda kemudi. Seorang pemuda menunggu di dalam mobil sedan tua warna merah di tepi jalan, dekat gedung paling mewah yang ada di kota tersebut. Sementara matanya mengarah ke atap bangunan di mana lampu dekorasinya menyala-nyala. Yang dia tahu tempat semacam itu hanya hidup di malam hari dan menjadi pusat dari dunia malam kota kecil ini. Tadi dia sempat naik ke atap sana, minum sedikit, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Seandainya bisa ia bawa pulang sebotol brendi, ia akan lanjut meminumnya di sini, di dalam mobil sedan tua warna merah. Menunggu begitu membosankan, yeah, ia amat setuju dengan pendapat itu.

Sebentar lagi pukul dua dini hari, si pemuda meyakini sesuatu segera keluar dari rubanah gedung itu. Penantiannya berbuah lima belas menit setelahnya. Meluncur keluar mobil warna hitam doff. Ia sudah memastikan siapa saja yang ada di dalam mobil keluaran terbaru itu. 

Si pemuda bergegas menyalakan mesin sedan tua warna merahnya. Suara khas dari mesin mobilnya terdengar seperti suara manusia tua yang garang tapi payah. Kemudian ia melajukan sedan tuanya menaiki aspal secara sembrono hingga terjadilah tabrakan. Tabrakan yang tampaknya telah ia rencanakan, antara mobil tua bobroknya dengan mobil hitam doff keluaran terbaru.

Tiga orang laki-laki turun dari mobil hitam. Mereka mendesak pengemudi sedan tua segera keluar. Mereka tampak kesal karena tabrakan seharusnya tidak terjadi di tengah jalan yang sepi jika seandainya pengemudi sedan tua sialan ini sedikit saja lebih berhati-hati. Pengemudi sedan tua tersenyum dari balik kaca jendelanya dan langsung dapat menebak di antara ketiga pria di luar yang terlihat paling kesal pastilah pemilik mobil. Dia meraih kacamata dari laci dashboard, mengenakannya untuk kemudian keluar.

“Kenapa dengan matamu, Bung? Apa kacamatamu kurang tebal? Kami sudah ambil jalur kiri sejak keluar dari gedung.” Salah satu dari mereka, yang romannya terlihat paling tenang berkata mendahului yang lain.

“Tidak. Perhatikan baik-baik! Kacamata ini hanya tebal di rangkanya saja.”

“Bicara apa dia?” sahut yang lain.

“Dia tadi bertanya mengenai kacamataku.”

“Dasar goblok!” umpat satunya lagi, sepertinya memang dialah pemilik mobil hitam keluaran terbaru, “sekarang lihat akibat kebodohanmu! Goblok! Goblok!” Pemilik mobil hitam menilik bumper mobilnya yang penyok. Sama-sama penyoknya dengan mobil rongsokan yang menabrak. 

Pengemudi sedan tua sadar harus berhati-hati pada kemarahan tiga laki-laki di hadapannya. Dia mengambil jarak tiga langkah kaki mundur sebelum kembali berkata, “kalian mabuk?”

“Mobilku dilengkapi dengan kamera depan. Kecuali polisi buta, mereka tahu kau biang keroknya.” Pemilik mobil hitam maju, berlagak seolah hendak memberi pelajaran pada pengemudi sedan tua. Paling tidak bemper mobilnya yang penyok dihargai satu hantaman tinju ke muka pria culun itu. Karena sepertinya juga muka dungunya menyampaikan culun itu tidak punya uang untuk dimintai ganti rugi. Namun, kedua kawannya lebih dulu menghalangi aksinya. Mereka kemudian saling berkomunikasi lewat tatapan mata.

Pengemudi sedan tua langsung dapat memahami kilatan mata mereka bertiga. Sebentar, bukankah seharusnya, mereka yang ada di mobil hitam keluaran terbaru itu berjumlah empat orang: tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka sahabat gila. Empat orang yang ia maksud itu sudah ia pastikan datang ke atap gedung tapi sudah sejauh ini pengemudi sedan tua belum melihat yang perempuan. Sepertinya ia perlu mengulur sedikit lagi waktu supaya semua orang di mobil keluaran baru itu benar-benar keluar, maka berkatalah si pengemudi sedan tua tanpa kenal ragu.

“Kalian membawa narkoba?” Pengemudi sedan tua memandang ke mobil hitam seolah matanya mampu menembus kaca gelap mobil itu. Serentak ketiga laki-laki mundur termasuk pemilik mobil yang mendadak kicep. Dan, ketiganya tidak menyadari gerakan refleks mereka sendiri yang bagi pengemudi sedan tua, gerakan itu menggelikan sekaligus memuaskan.

“Hei, Bung, berhati-hatilah dalam bicara! Jangan menuduh, oke!” Laki-laki yang memiliki pembawaan tenang berkata lagi. Suara dan mimik mukanya tak dikelabui suasana menjengkelkan sebagaimana dua kawannya dibuat kesal oleh pengemudi sedan tua. Pengemudi sedan tua terkesan. Untuk itu ia menganugerahi sebuah julukan yang cocok, si genangan rawa. 

“Jadi, kapan polisi akan datang karena aku harus bertanggung jawab?” tanya pengemudi sedan tua santai.

“Hoek!” Seorang perempuan membuka pintu lalu membungkuk, memuntahkan cairan asam dari lambungnya ke tepi jalan. Satu teman laki-lakinya tergerak untuk membantu.

Lihat selengkapnya