"KARENA viral, kepolisian baru membentuk tim independen untuk kasus Sum Merah.” Seorang rekan membahas kilas berita di layar televisi.
“Itu bagus,” sahut pemilik warung.
“ Masak iya nunggu viral dulu,” celetuk rekan lain.
“Menurutmu apa Kapak Tumpul orang luar negeri seperti peretas badan nasional kita?” Kembali ia berkata seraya mengarahkan dagunya pada Ragil yang menyeruput kopi.
“Bisa jadi dia orang luar tapi yang jelas dia bukan native speaker bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya kacau. Si bodoh itu pasti sering bolos mapel Bahasa.” Akhirnya Ragil mengeluarkan komentarnya. Pedas, seperti biasa. Rekan-rekannya menikmatinya. Mereka suka sekali mengajak Ragil, semisal membicarakan situasi politik karena dia pasti akan menyisipkan kalimat-kalimat makian dalam semua pendapat-pendapatnya. Yang mana pendapatnya itu sulit didebat karena walaupun sangat satir tapi memang ada benarnya.
Ragil mencomot pisang goreng, menggigit, dan mengunyahnya. Pagi-pagi sekali sebelum jam kerja dimulai, dia pergi ke belakang gedung rumah sakit untuk mengganjal perut dengan gorengan dan secangkir kopi, lalu bertemu dan tak punya pilihan membaur dengan mereka yang kini satu meja bersamanya. Kebanyakan dari mereka ini adalah bapak-bapak muda yang istrinya juga bekerja sehingga para istri tak sempat menyuguhkan cangkir-cangkir kopi di rumah. Mereka sendiri meski rumahnya tidak sejauh rumah Ragil, tapi tiap pagi mereka diburu waktu mengantarkan anak sekolah. Jadilah mereka semua berkumpul di sini untuk memesan kopi dan sarapan yang tak sempat mengisi perut mereka.
Beginilah, perkumpulan bapak-bapak, Ragil terjebak dalam gempuran asap rokok yang meliuk-liuk di udara. Mengingat hanya di sini satu-satunya tempat di area rumah sakit yang diperbolehkan bercumbu dengan udut, para pria memanfaatkannya untuk menjamak jumlah rokok yang biasa mereka habiskan dalam setengah hari. Lupakan merokok, Ragil berkomitmen dengan dirinya sendiri: ia tak boleh mengeluarkan uang untuk menebus satu batang rokok sekali pun. Meski demikian, Ragil tidak mau terlalu keras pada dirinya. Komitmen itu tidak termasuk larangan merokok. Ragil akan ikut merokok jika ditawari rokok milik rekan-rekannya. Jika tidak, dia bisa mengatasi rasa pahit di lidahnya sendiri. Saat-saat seperti inilah, rekan-rekannya akan merasa kasihan padanya, lantas biasanya mengamalkan sebatang milik mereka untuk Ragil.
“Rokok dari Pak Sugik.” Rekannya, beda unit pelayanan dengan Ragil, meletakkan sebungkus rokok ke tengah meja.
“Wah, masak ngasih anak buahnya cuma rokok?” celetuk yang lain.
“Bukan apa-apa. Setiap anaknya menang lomba, dia selalu bagi-bagi rokok. Masalahnya anaknya itu langganan jadi juara. Masak bagi-bagi duit. Banyak yang mau dong.”
“Anaknya yang atlet panahan berkuda itu? Juara lagi dia?”
“Yeah, anaknya cuma satu kalau tidak salah. Betul tidak, Ragil? Sepupumu itu.”
Yang mereka maksud adalah Maria. Ragil mengangguk. Ragil dan Maria memang benar sepupu. Sugik adalah paman Ragil, adik dari bapak kandungnya, bukan bapak yang dipenjara seumur hidup di lapas itu, bukan. Sugik pulalah pria tua yang duduk di belakangnya kemarin saat pertandingan Maria. Saat Ragil masih kecil, ia memanggil pamannya itu dengan nama Lek Gik. Lek itu artinya paman dan Gik kependekan dari nama Sugik.
Antara Sugik dengan Ragil tidak sedekat hubungan kekerabatan mereka. Tidak pula sedekat anggapan rekan-rekannya. Banyak dari karyawan-karyawan di sini memiliki saudara yang juga bekerja di rumah sakit ini, bahkan saudara kandung, bahkan ada yang sampai satu keluarga bekerja di sini. Nepotisme sungguh lumrah terjadi. Bapak atau ibu memasukkan anaknya atau keponakannya yang baru lulus sekolah kemari. Bulan depan pegawai selundupan itu sudah boleh bekerja dengan seragam lengkap dan bekal nama titipan. Titipan Pak siapa, titipan Bu siapa.
Namun, status kepegawaian Ragil bukan karena kebaikan Sugik. Jerih payah Ragil murni. Dia berhasil lulus dari beberapa tes terbuka yang diadakan oleh pemerintah. Kini ia seorang ASN bergaji rata-rata. Sugik kaget awalnya, ketika mereka berpapasan di tangga karyawan. Keduanya lalu saling bertanya kabar. Setidaknya Sugik masih hafal wajah anak pelakor yang pernah dinikahi kakaknya dulu. Setelah hari itu, hari-hari berikutnya berlalu begitu saja. Sugik kembali menganggap Ragil bukan siapa-siapa, hanya karyawan biasa yang beruntung bisa bekerja di sini tanpa bantuan orang dalam.
Semenjak bapak Ragil meninggal lima belas tahun yang lalu, keluarga bapaknya menjadi semakin terang-terangan benci pada ibunya. Semua yang ia dan ibunya peroleh dari bapaknya dilucuti, menyisakan pakaian mahal yang mereka kenakan saat terusir. Ragil kecil kurang tahu dengan alasan mereka. Belakangan saat Ragil sudah besar, ia menjadi paham mengapa ia dan ibunya dikucilkan.
Sejak peristiwa pengusiran itu, Ragil dan ibunya tidak pernah datang lagi ke acara-acara keluarga. Keduanya tidak pernah diundang. Jelas, Ragil dan Maria tidak pernah lagi main bersama. Kemungkinan Maria sudah lupa dengan wajah sepupunya satu ini sebab terakhir kali mereka bermain bersama, Ragil lebih kecil dari Maria. Usia mereka terpaut lima tahun.
Ragil mengambil satu batang rokok yang ditawarkan rekannya. Hisapan pertama saat ujung rokoknya terbakar adalah waktu yang paling nikmat. Pisang goreng, kopi, ditambah sebatang rokok gratisan. Pagi yang sempurna sebelum disambung dengan kengerian setelah hisapan pertama Ragil pada rokoknya.
Suara berdebum panjang terdengar amat keras disusul suara jeritan orang-orang. Gedung baru rumah sakit ambruk. Demikian sahut menyahut yang terdengar dari keriuhan di luaran sana. Kalau benar ada gedung baru ambruk berarti itu gedung dengan sepuluh lantai, baru rampung dibangun dua bulan yang lalu, baru diresmikan sebulan yang lalu, dan baru terisi pasien seminggu yang lalu.
Dalam sekejap gedung yang meluluhlantahkan diri itu telah membisu tapi jeritan masih terus melolong. Orang-orang di sekitar gedung berlarian menjauh tanpa tahu arah sebab segalanya menjadi gelap oleh debu yang berterbangan seperti badai pasir. Semenit yang lalu orang-orang tersebut habis menginjakkan kakinya di lantai gedung, menyapa karyawan-karyawan sif pagi yang masuk ke dalam, sebagian habis membesuk kerabat yang sakit tanpa menyangka bahwa sebentar lagi ratusan pasien dan karyawan di dalam sana akan tertimbun. Tampaknya tak seorang pun selamat.
Semua orang yang mendengar keriuhan segera keluar ke taman, ke jalan, ke teras-teras bangunan, atau hanya sekadar melongokkan kepalanya ke luar jendela. Mereka semua melupakan aktivitasnya, melupakan beban hidupnya meski sejenak. Orang-orang mulai menunjuk ke atas, memberitahu yang lain kalau ada yang ganjil dengan pemandangan langit. Tersadar mereka bahwa rumah sakit ini telah kehilangan satu gedung tingginya di suatu pagi yang riuh.
Ragil melupakan rokoknya yang berharga. Dia bersama rekan-rekannya segera menuju ke halaman gedung sepuluh lantai. Mereka terperangah sambil terbatuk-batuk begitu sampai. Debu masih menyelimuti seluruh area di mana mereka tahu gedung tertinggi rumah sakit ini dibangun di sana.
Perlahan debu yang bertebaran mulai tenang dengan menumpuk diri pada segala sesuatu. Beruntung angin tidak sampai membawa debu-debu itu hinggap terlampau jauh. Orang-orang yang terbeliak di sekitar tiada sadar bahwa rambut, pakaian, sepatu hingga bulu-bulu halus di lengan tangan mereka ditutupi oleh debu.
Baru saat udara kembali jernih, maka tampaklah pemandangan gedung baru yang sejam lalu gagah menjulang kini luluh lantak seperti habis dirudal, terlihat seperti timbunan sebuah gedung di sudut kota Gaza dengan kepedihan yang serupa. Ragil mengepalkan kedua telapak tangannya karena teringat sesuatu yang membuatnya marah.