Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #4

si Putih dan si Biru

Gedung sepuluh lantai yang meluluhlantakkan diri itu membisu semalaman. Tengah malam tepatnya, beberapa pekerja sif malam mengaku mendengar rintihan wanita. Mereka memastikan rintihan itu berasal dari sebuah rongga gelap di sisi puing-puing gedung. Dengan didorong rasa penasaran, seseorang memutuskan mendekat dengan membawa senter. Cahaya dari senternya sia-sia. Rongga itu terlalu dalam untuk ditembus oleh cahaya. Ia berpikir, mungkin di dalam sana terdapat seorang wanita yang terbangun dari semaputnya lantas merintih minta pertolongan. Setelah diteliti, suara rintihan itu berubah menjadi suara cekikikan yang seketika menggetarkan bulu kuduk. Lalu sepotong tangan tanpa bahu merayap keluar dari rongga gelap, mengejar orang tersebut yang langsung lari tunggang-langgang dan menjerit. Malam itu seluruh rumah sakit heboh akan kesaksiannya. Dan, pada esok hari bau bangkai menguar dari tiap celah puing-puing gedung sepuluh lantai.

Alat berat sudah didatangkan dari kemarin, tetapi evakuasi korban yang sesungguhnya baru dilakukan pagi ini setelah puing-puing besar dipindahkan. Tim rescue gabungan menggali remahan bekas gedung sepuluh lantai. Mereka merupakan tim SAR dan tim pemadam, ditambah setiap unit pelayanan yang ada di rumah sakit mengerahkan masing-masing satu pegawai dinasnya untuk bergabung. Nanti akan datang juga Brimob, begitu sekilas pembicaraan ketua tim dengan para anak buahnya. Namun, nampaknya kedatangan satuan dari kepolisian itu untuk memastikan sesuatu.

Ragil sudah berdiri di atas tumpukan puing gedung, di bawah terik matahari bersama beberapa relawan. Peluhnya bercucuran. Kemejanya basah oleh keringat. Tangan kanannya membawa linggis. Di saat rekan-rekan lain berlomba menghitung mayat yang mereka temukan, Ragil berlomba dengan dirinya sendiri. Dia menghitung temuannya yang lain, bukan jumlah mayat, melainkan jumlah tabung-tabung gas yang ikut tertimbun.

Terdapat dua warna yang saat ini berhasil dia sisihkan. Tabung gas warna putih; Ragil tahu itu adalah tabung oksigen untuk pasien. Jumlahnya cukup banyak, sedangkan tabung gas warna biru hanya berjumlah dua; yang Ragil tidak tahu untuk apa tabung biru itu. Kemudian sekumpulan influencer memasuki area. Sebagian langsung mundur setelah bau busuk menonjok hidung mereka. Sebagian lagi bertahan demi dapat berfoto selfie di depan reruntuhan gedung sepuluh lantai sebagai latar belakang, bonus jajaran mayat dengan luka-luka yang mengerikan. Para influencer itu menyemprotkan banyak sekali parfum ke tubuh mereka, berharap mengusir bau bangkai. Tapi justru aroma parfum mengacaukannya, semahal apapun parfum yang mereka gunakan. Udara jadi campur aduk. Beberapa relawan lemas, mual, muntah-muntah, padahal sebelumnya bau busuk yang tercium samar tidak begitu mengganggu, mengingat ini belum lebih dari 48 jam dari waktu ambruknya gedung.

Panas matahari seolah dianggap sebagai penjahat atas lesunya para relawan. Demikian pula Ragil. Kejadian yang menimpanya begitu cepat: Ragil belum selesai dengan analisanya, ia mendadak kliyengan. Penglihatannya menjadi nanar. Ia ingat belum sempat sarapan, lalu tim SAR cepat-cepat mengusir para influencer itu seperti mengusir lalat, dan bersamaan dengan itu muncul kelompok baru: sepertinya relawan dari PMI, tapi buat apa mereka kemari? Seorang perempuan bertopi merah putih dengan tahi lalat kecil di dekat sudut bibir, mendekat ke arah Ragil seraya melambaikan tangan di depan wajahnya. Ragil membayangkan perempuan itu adalah Maria, perkara letak tahi lalat kecil itu, juga perkara matanya sendiri tiba-tiba rabun. Sedetik berlalu, Ragil tumbang ke samping. Si goblok itu semaput sebelum berfantasi dengan tahi lalat dan bibir perempuan di hadapannya, sementara rekan-rekan relawan yang lain paling banter hanya muntah-muntah.

Tagar bertulis “usut tuntas tragedi runtuhnya gedung rumah sakit” ramai di media sosial. Akun-akun tenar serentak latah, mereka menyematkan tagar yang sama pada postingan mereka. Keluarga korban kompak menuntut pihak rumah sakit. Mesti ada yang bertanggung jawab, itu berarti mesti ada yang disalahkan, entah apa perlu juga ada yang dikambinghitamkan.

Ragil bangun. Dirinya masih berada di sekitar gedung sepuluh lantai. Rekan-rekannya memindahkannya ke tempat yang teduh. Dia diberitahu kalau dirinya tak sadarkan diri selama sepuluh menit. Syukurlah ia lebih dulu bangun sesaat setelah pendorong brankar datang dengan brankarnya.

“Masih mau naik? Kuantar kau kembali ke meja kerjamu,” kata pendorong sambil tersenyum. Dasar pria lemah, begitulah pesan tersirat dari bagaimana ia membentuk senyumannya.

Ragil menggeleng sambil tersenyum seraya menahan hasrat untuk memisuhinya. Pendorong itu selalu ingin dimaki, di mana pun ia melihatnya. Tak usah kaget, biasanya memang begitu cara mereka mencairkan suasana. Setelah menguasai kembali kesadaran, Ragil memandang ke arah tumpukan tabung-tabung gas.

“Tabung biru di sana buat apa?”

“Itu tabung gas las,” jawab pendorong. Jawabannya tak perlu diragukan. Penampilannya yang sederhana membuat banyak orang telah salah menilainya. Sejak awal Ragil tidak tertipu oleh semua kesederhanaan pendorong itu, termasuk oleh seragam lusuh yang pendorong itu kenakan saban bekerja. Ragil tahu, pendorong itu lebih kaya dari sekretaris Sugik. Kalau mau dia bisa langsung beli seragam baru. 

Sekali waktu Ragil pernah membaca sebuah riset, bagaimana wajah dapat merefleksikan hidup seseorang: apakah hidupnya mengalami banyak kecemasan atau hidupnya bahagia. Semua pengalaman semacam itu seiring berjalannya waktu membentuk wajah seseorang secara permanen. Contohnya, pendorong itu. Dia punya senyuman yang ringan, sorot mata yang menyala hangat, pipi dan alis yang terangkat. Imbas dari uang banyak yang mendatangkan kebahagiaan serta kemudahan dalam hidupnya. Terbukti ia mampu mempekerjakan lima orang di bengkel las miliknya. Yeah, di luar rumah sakit rupanya dia seorang wirausaha. Soal tabung biru itu, pendorong sangat yakin tabung yang disinggung Ragil barusan adalah tabung gas las seperti yang ada di bengkelnya.

“Gas las?” Ragil berkerut kening.

“Kau curiga ledakan berasal dari tabung itu?” tanya pendorong kepada Ragil.

“Entahlah.” Berpikir keras membuat kepala Ragil tambah sakit.

Lihat selengkapnya