Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #5

Terdakwa Hukuman Mati

Mispo, 2019


Di tengah asik makan pinang, pemain andal asal merudal dengan fitnahan hanya karena bulu jenggotnya kalah tebal dari milik seorang anak

Mereka para tukang manipulasi berseragam

Tak tahu malu memanfaatkan seorang anak yang buta huruf

Yang tuli dan bisu berbahasa Indonesia

Salah siapa anak pedalaman tidak bisa baca dan tulis?

Duduk Mispo di kursi pesakitan seorang diri dengan kebodohan yang pemerintah biarkan

Kata pemberi hukuman, seorang anak harus mati

Banyak ia punya luka saat disuruh berkata “iya”

Tuhan, senang sekali para pemain itu menyakiti anak-anak

Jakarta indah

Namun, pelit sekali Jakarta terhadapnya yang jauh dari rumah

Mispo rindu rumah honai dikelilingi pegunungan

Tanah di sana memberinya rasa kenyang

Lagi, Mispo rindu mama

Memikirkan mama



Kaka, saya hanya ingin pulang karena tidak ada yang urus saya punya mama. Mama saya sendirian di hutan sambil menatap awan. RIP Mispo Gwijangge. Mispo Gwijangge, korban salah tangkap polisi dalam kasus pembunuhan pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018. Banyaknya kejanggalan dalam kasus Mispo ini akhirnya membebaskan Mispo dari hukuman mati. Namun, Mispo yang masih di bawah umur meninggal tak lama kemudian karena siksaan berat selama masa pengadilannya.

***

Agaknya suatu hari engkau akan bertanya kepadaku tentang namamu. Kenapa Ibu memberimu nama Ragil? Apakah aku pernah melahirkan satu-dua anak sebelummu? Ya, Nak. Sebelum makhluk itu datang lagi, dan seorang perempuan datang untuk menyuruhku menenggak sesuatu yang dapat membuatku tertidur tenang semalaman, Ibu ingin berbagi ingatan denganmu.

Dua saudaramu mati diguna-guna. Seharusnya serangan itu mengarah kepadaku, wanita penggoda yang merebut suami orang meski sebetulnya ayahmu memang sudah tak mencintai istri pertamanya karena wanita itu lebih galak dari beruang yang baru bangun dari hibernasi. Pria macam apa yang tak lari dari wanita semacam itu. Entah mengapa, serangan itu malah menimpa anak-anakku. Sepertinya istri pertama ayahmu mengaturnya demikian. Hatinya berjanji untuk tak membiarkan ayah dan ibumu hidup bahagia. Beruang psikopat!

Kakakmu yang pertama bernama Banyu, hilang dalam perut ibu seminggu sebelum ia dilahirkan. Menyusul kakakmu yang kedua bernama Wulan. Wulan mati lebih mengenaskan lagi. Makhluk itu memakannya sehari setelah Wulan kubawa ke rumah. Satu-satunya tulang yang tersisa dari Wulan hanya tulang iga di ayunan bayi.

Makhluk itu punya taring sebesar gading gajah, lubang hidung sebesar dua WC dijajar, mata merah, dan badan penuh bulu. Dukun kenalanku menyebutnya Grandong, makhluk ghaib kiriman istri pertama ayahmu. Grandong tak bisa diusir, kecuali si pengirim melupakan kebenciannya. Kesalahan Ibu adalah membalas demi menyelamatkanmu; biar aku dikira serakah, aku tidak peduli. Ibu hanya tidak mau lagi kemalingan anak. Siapa sangka, mengirim balik sihir ke istri pertama ayahmu justru membuatnya terbunuh menggantikanmu yang seharusnya ia bunuh. Sejak hari yang melegakan itu, Grandong tak lagi sekuat dulu. Tak ada lagi ritual yang bisa membantu Grandong menyakiti bayi.

Kematiannya tidak tenang. Ia turut membawa dendam, bergentayangan di sekitarku, tapi aku tidak takut. Tak seperti Grandong, hantu beruang psikopat itu tidak bisa menembus jimat dari si dukun yang kukempit ke mana-mana. Dia hanya bisa memanggil namaku sambil memaki tanpa mampu menjambak rambutku. “Lastri Dewi, sialan! Lastri Dewi, selangkangan busuk kau!” begitu bisiknya di telingaku selama bertahun-tahun. Selama banyak uang aku bisa sabar dan berusaha tetap waras dengan belanja barang mewah, makan di resto mahal, dan mengendarai Fortuner ke mana pun aku pergi. Kebanyakan orang mencibirku. Mereka golongan orang munafik, bukankah memang demikian cara uang bekerja: membeli kebahagian dan juga kewarasan. Sampai suatu ketika, ganti ayahmu tewas terkena serangan jantung karena melihat penampakan istri pertamanya.

Hingga di penghujung detik ini, Grandong masih terus datang, mengintip melalui lubang plafon. Dia selalu datang dalam keadaan lapar, ingin makan bayi. Dia kira kau masih ada dalam perutku. Ibu pernah bicara baik-baik dengannya, menyuruhnya makan kodok sawah, atau kalau kurang besar tikus selokan. Grandong yang kelaparan tetap tidak mau. Ia ingin makan bayi merah. Bayi dari seorang pelakor. Kubilang lagi, “juragamu sudah mati dan anak itu sekarang sudah tumbuh jadi segalak bapak sambungnya, tak seorang pun berani terhadapnya”. Namun, sepertinya Grandong tidak tahu maksudku.

Kakek dan nenekmu benar: aku hanya menginginkan uang ayahmu, rumah mewahnya dengan memanfaatkan perasaan tergila-gilanya terhadapku. Saat kita terusir, aku tidak tahu lagi bagaimana mendapatkan uang. Aku wanita yang bodoh soal urusan mengisi perut. Kuputuskan kembali mencari Sutejo, pemuda kere yang kutinggalkan dahulu karena aku lelah hidup miskin. Ketemu. Kita beruntung karena saat itu dia masih perjaka. Tidak ada pilihan lain selain menikah dengannya. Dari yang kutahu, cuma ini satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Sutejo mengusahakan kita hidup layak meski tidak bergelimang harta. Oleh karena itu Ibu jatuh cinta untuk kedua kali kepadanya. Di satu sisi, preman itu menguarkan aura semacam Lucifer. Grandong jadi jarang muncul saat Sutejo ada di rumah.

Kulihat dari matanya, Sutejo menyayangimu. Nak, kau mungkin tak akan pernah mengerti, tapi Ibu sangat mengenal preman itu. Percayalah, dia menyayangimu dengan cara yang … agak berbeda. Sutejo tidak pernah telat membelikanmu susu agar tulangmu kuat dan kau tumbuh tinggi. Katanya, dia khawatir kau tumbuh seperti ayahmu yang bantet. Jangan lupa selalu menjenguknya di penjara! Katakan, Ibu mencintainya.

“Selera Ibu menjijikan,” umpat Ragil. Mereka duduk bersama di sebuah ruangan dengan banyak tirai warna putih. Setiap sabtu atau minggu, ibunya selalu duduk di sini seolah ada dorongan yang menyuruhnya duduk menunggu seseorang. Jika keadaanya stabil, ibunya akan tersenyum menyapa Ragil yang muncul di pintu. Tapi jika sedang tidak baik-baik saja, ibunya akan menatap Ragil penuh tanya lebih dulu sampai Ragil memperkenalkan dirinya.

“Kisah apa yang kamu baca?” tanya Lastri di atas kursi roda. Ia sendiri lupa pada kertas itu. Bahkan ia lupa dengan siapa sekarang ia duduk. Tiba-tiba saja datang pemuda yang membacakannya isi surat.

Lihat selengkapnya