Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #6

Makanan Segar Lebih Enak

Haloha bersama dua rekannya menghadiri pertemuan penting di ruang kapolres. Lima rekan lainnya menunggu di ruangan yang berbeda. Dihadapannya sudah hadir tiga pria berusia empat puluhan tahun, sepertinya juga mewakili rekan-rekan lain. Mereka duduk bersama di kursi-kursi yang mengelilingi satu meja panjang. Jumlah kursinya menjawab pertanyaan di kepala semua orang dengan satu kesimpulan, ruang kapolres sendiri ternyata tidak terlalu besar.

Pertemuan itu membahas tentang kasus Sum Merah. Rampung di tahap evaluasi, tim Haloha diminta secara sukarela menyerahkan hasil investigasi mereka kepada tiga pria di hadapannya. Ketiganya berasal dari unit Bareskrim. Haloha tidak keberatan, toh biar bagaimanapun penyelidikan tetap dilakukan oleh Bareskrim. Hanya saja Haloha masih sangat kesal saat mengingat tim Bareskrim enggan bersikap transparan. Sejak tim independen dibuat oleh polres sendiri, apa-apa sungguh Haloha dan timnya gali seorang diri. Bareskrim tidak melimpahkan informasi apapun seakan-akan mereka tidak peduli atau mereka tidak berguna, atau keduanya. 

“Kami masih kesulitan memanggil seseorang,” kata Haloha. Pandangannya menyasar pria tambun yang duduk di sofa panjang ruang kapolres ini.

Tadi pria itu datang di tengah-tengah pertemuan dan memilih bersemayam di sofa ruang kapolres seolah dia hantu penunggu wilayah. Pria itu merupakan satu dari beberapa elit politik yang berusaha menyusup ke dalam pemerintahan. Masalahnya, otak dari pembunuhan Sum Merah punya hubungan darah dengan pria tambun itu. Haloha khawatir temuan-temuan baru yang ia dapatkan akan menguap begitu saja di tangan tim Bareskrim yang yeah …. Isi kepala Haloha kini penuh teori konspirasi lantaran kehadiran pria tambun itu di sini. Bukankah partai yang membawahinya punya kedekatan secara struktur dan personal dengan Polri. Haloha yakin, dua rekannya juga bereaksi memikirkan hal yang sama dengannya.

“Aku mengerti kesulitanmu, Haloha. Serahkan sisanya pada Bareskrim. Tim independen kasus Sum Merah saya bubarkan mulai hari ini. Bareskrim akan melanjutkan tahap penyidikan dengan tetap memakai informasi dari kalian sebagai referensi,” ujar Kapolres Imam Budialim.

“Bukan. Kami belum selesai.”

“Kami hanya memberi timmu waktu sebulan.”

“Kalian butuh kami, tapi kalian memberi kami waktu sebulan?” bantah Haloha.

“Sebenarnya kalian dibentuk atas desakan masyarakat awam yang menilai kami tidak kompeten dan profesional,” sela salah seorang dari tiga pria dari unit Bareskrim. 

“Tidakkah memang begitu?” Suara Haloha memang terdengar lemah lembut seperti Putri Salju. Itu menjadi semacam setelan dari alam untuk mengimbangi karakternya yang keras kepala, tegas, dan pemberani.

"Mereka awam, Haloha. Garis bawahi kata awam." Mereka, tiga pria dari tim Reskrim terlihat tenang dan datar selama pertemuan. Mereka telah menggarap banyak kasus. Kasus yang bergulir-gulir seperti ini sudah biasa mereka temui. Biasanya memang selalu ada "orang besar" di baliknya. Bukan hal mengejutkan lagi bagi mereka. Jika sudah begitu, jangankan penyidik, hakim saja bisa ditundukkan. Hanya di negeri ini keadilan bersifat relatif.

“Kau kesulitan memanggil seseorang. Sekarang kau tahu kasus ini sulit kan?” Kapolres Imam Budialim orang sabar. Dia tahu kriminolog yang dia asingkan di laboratorium kriminal, Haloha, akan menguji kesabarannya. Untungnya dia sangat mengenal Haloha, sehingga tak jadi masalah bila dia tetap menunjuknya sebagai kepala tim independen kasus Sum Merah sebab Haloha akan mengerjakan kasus ini dengan meluap-luap hingga sampai lupa rumah—sesuatu yang Kapolres Imam Budialim kagumi dari Haloha—dengan demikian tim independen tak ikut mencampuri apa yang sebenarnya dikerjakan tim Reskrim. Itu jawaban dari mengapa tim Reskrim tak melimpahkan informasi apa pun pada tim independen: supaya Haloha fokus pada pencariannya.

Haloha merasa digergaji dan tunas-tunas kesempatannya dicabuti. Sama, Haloha juga sangat mengenal Kapolres Imam Budialim sebagai sosok pemimpin yang pantang ditawar. Penjilat akan kehilangan naluri menjilatnya selama Kapolres Imam Budialim memimpin. Haloha kembali melirik pria tambun di sofa. Insting wanitanya tiba-tiba membabat keyakinannya pada Kapolres Imam Budialim. 

“Kami akan terbuka dengan media dan masyarakat.”

“Lakukan, Haloha.” Kapolres Imam Budialim mengangguk setuju. 

Haloha bersama dua rekannya lalu keluar meninggalkan satu kliping berkas di meja panjang ruang kapolres. Sedangkan tim Reskrim dan pria tambun bertahan di ruangan bersama Kapolres Imam Budialim. Kelimanya melanjutkan pertemuan tanpa tim independen. Situasi di ruangan itu berubah menjadi lebih klandestin.

Mendekat pria tambun ke meja panjang dan berkata, “aku akan menyerahkan putraku jika kalian menemukan orang di balik akun Kapak Tumpul. Aku ingin tahu bagaimana wajahnya, berapa usianya, dan bagaimana kehidupannya,” kata pria tambun. Dia dipaksa tenang oleh kebiasaan. Jauh di lubuk hatinya, ia dilanda kekecewaan tiada ujung. Dia tidak menyangka putra yang dididik dengan hati-hati, disekolahkan di sekolah terbaik, dingajikan pada ustad teralim, justru membunuh seorang gadis dengan amat keji.

“Kami sudah hampir menemukan alamat IP-nya.” Salah seorang tim Reskrim berkata.

Lihat selengkapnya