Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #7

Lawan

Kapak Tumpul kembali memanaskan jagat dunia maya. Siang tadi sebuah serangan meroket dari akun tersebut dan meledakan nama baik Sugik. Dalam unggahannya Kapak Tumpul membeberkan sejumlah angka yang dikorupsi Sugik dan pelaku lainnya selaku penanggung jawab pembangunan gedung sepuluh lantai. Kali ini unggahannya sedikit berbeda dari biasanya. Kapak Tumpul melalui animasi claymation1 yang sungguh bentukan tanah liatnya sangat tidak artistik karena sepertinya pembuatnya tidak berbakat seni, mencoba menjelaskan kepada masyarakat awam bahwa penyebab ambruknya gedung sepuluh lantai itu bukan karena bom melainkan gas las yang meledak dan memicu ledakan AC secara beruntun di lima lantai. Rekaman CCTV juga ditujukan untuk memperkuat dugaan. Di mana pada beberapa hari sebelum ledakan, terlihat beberapa karyawan rekanan datang dengan tabung-tabung gas lasnya untuk memperbaiki kerusakan pada instalasi AC. Suatu kelalaian pasti terjadi hingga pada hari kejadian, gas-gas las tersebut bocor sehingga memicu ledakan cukup besar di dalam gedung. 

Dari ledakan itu timbullah keretakan pada struktur dinding. Yang apabila anggaran pembangunan senilai miliaran rupiah digunakan dengan sebaik-baiknya maka semestinya konstruksi bangunan cukup kuat menahan ledakan. Setidaknya gedung sepuluh lantai malang itu tidak sampai luluh lantak seperti sekarang. Kapak Tumpul menilai ada pengurangan mutu beton dan material lain. Hal ini mengarah pada kasus korupsi. Pihak berwenang tidak seharusnya mengada-ada seolah ulah teroris. Kapak Tumpul menantang pihaknya untuk terbuka dan mengirim tim ahli forensik engineering untuk memeriksa detail konstruktif gedung sepuluh lantai yang kini ambruk. 

Setiap Kapak Tumpul membredeli kasus baru, kolom komentarnya akan jadi seumpama wadah meludah bagi netizen. Mereka kerap berlebihan dalam mencibir dan mengkritik. Belum lagi bila beberapa di antaranya berkelana terlalu jauh, semisal menyebut nama orang-orang terdekat pelaku. Banyak yang menjadi gila karena kritikan negatif yang sepihak dan total dari netizen. Kalau sudah demikian, Kapak Tumpul tak kuasa membendungnya. Akunnya hanya akan menghilang di saat ia memenangkan perhatian polisi. Dan, baru muncul kembali membawa kasus baru.

Cuitan garang netizen tidak banyak menggubris nasib sial Yusuf. Tagar “Beri Yusuf Keadilan” nampaknya kurang begitu sensasional dibanding tagar-tagar buatan netizen sendiri. Netizen yang merasa suci itu justru menemukan fakta baru. Seorang atlet panahan berkuda bernama Maria yang puluhan kali berhasil mengharumkan nama negeri rupanya anak dari salah satu penanggung jawab pembangunan gedung sepuluh lantai. Merasa menemukan wadah meludah baru, netizen berkerumun di akun sang atlet dan ramai-ramai memaki setiap foto yang diunggah sang atlet. 

Miris. Setelah kejadian itu anaknya datang jadi relawan PMI dan sok-sokan membantu keluarga korban padahal bapaknya dalang. 

Lihat dalam foto ini, dia bisa-bisanya tersenyum kepada keluarga korban. Mengerikan. 

Negara ini miskin dan bodohnya sudah level struktural. Aku saja yang seorang peserta lomba akademik harus rela gagal berkompetisi di negara lain karena keterbatasan biaya keberangkatan. Negara tidak mau memfasilitasi. Di sisi lain, perempuan ini bertanding ke negara manapun dari hasil uang korupsi bapaknya. Apa semua warga negara ini harus korupsi dulu baru bisa berkembang? 

Aku penggemar Maria. Dia cantik dan berprestasi. Tapi, kabar ini telah membuatku kecewa.

Dia sebenarnya wanita yang angkuh dan gila. Kami pernah satu sekolahan. Aku mengenalnya. Tidak banyak anak yang menyukainya. 

Sita semua harta benda mereka! Termasuk apa yang dikenakan wanita ini.

Kuda dan panahnya lebih mahal dari harga dirinya sekarang. 

 Maria tertawa membaca keriuhan orang-orang di beranda sosial media miliknya. Begini jadinya jika sekumpulan masyarakat kurang piknik, berpendidikan rendah, tidak melihat buku seperti seluncur es, di sisi lain pengembang teknologi tidak punya pilihan membiarkan mereka ikut tergerus dalam era digitalisasi. Maria memilih membatasi siapa saja yang dapat melihat akun sosial medianya dari yang terbuka untuk publik menjadi teman-teman terpilih. Dia tidak sudi jadi gila hanya karena cibiran orang-orang terhadapnya. Tahu apa mereka tentangnya, tentang perjuangannya dan papanya dalam mempertahankan segalanya untuk hidup layak. 

Sekarang waktu menunjukan pukul sembilan malam. Maria mendatangi papanya di ruang tamu rumah mereka. Ia turun melalui tangga yang meliuk-liuk, yang pegangannya serba kaca, dan permukaan anak tangganya terbuat dari marmer hitam mengkilap. Tinggal mereka berdua di rumah yang konon seangkuh pemiliknya. Para jongos memilih pulang setelah makan malam, menyisakan penjaga di halaman depan. 

Maria bertanya apakah papanya baik-baik saja setelah Kapak Tumpul mengancam nama baiknya lewat postingan terbaru siang ini. Namun sudah ditanya begitu, papa Maria malah tersenyum. Orang tua senantiasa berusaha menutupi kecemasannya dari anak-anak mereka. 

Tapi Maria bukan lagi anak kecil. Ia mempelajari senyum papanya tidak selalu pertanda baik. Itu pernah terjadi di masa lalu ketika mamanya meninggalkannya untuk cinta sejati. Papanya tersenyum sambil berkata mamanya hanya akan pergi sebentar meski nyatanya kembali hanya untuk berutang lantas pergi lagi. Maria tidak terlalu paham cinta sejati versi mamanya. Maria hanya tahu cinta sejati itu berarti rela memberi banyak hal untuk kebaikan bersama, bukan mengejar dorongan tidak masuk akal, tidak dapat dijelaskan, dan tidak menguntungkan sebagaimana mamanya meninggalkan keluarganya untuk laki-laki lain. Ia menganggap apa yang mamanya lakukan bukanlah cinta sesungguhnya, melainkan rusaknya jaringan korteks frontal pada otak mamanya.

Merasa ia dan papanya sudah semestinya saling menguatkan satu sama lain, ia menggambar satu rencana. Barangkali berhasil untuk meredam kekacauan yang disebabkan oleh Kapak Tumpul. Maria beranjak ke dapur membuatkan papanya teh hangat dicampur bubuk melatonin. Pelatih Maria pernah meresepkan bubuk itu untuk menjaga kualitas tidur. Alhasil setelah meminumnya, papa Maria bisa tertidur.

Maria bergegas keluar mengendarai mobil. Ia punya arah tujuan. Tempat di mana ia dan teman-temanya biasa berkumpul. Di sana menawarkan kemeriahan dunia malam dengan permainan musik classic house. Kebanyakan pengunjung yang datang adalah pengunjung tetap. Artinya mereka penikmat musik classic house sama seperti Maria. Oleh sebab itu Maria kenal banyak orang di sana. Beberapa di antaranya ialah anak pejabat, influencer, dan selebriti. 

“Hai, anak koruptor!” sapa seseorang di antara mereka. Maria paham, dalam keadaan setengah mabuk kemampuan memahami siapa saja bisa menjadi buruk. 

“Tutup mulutmu!” Maria melewatinya begitu saja. Fokus ke rencananya, Maria mencari dan memilih sekiranya siapa orang yang masih normal nalarnya untuk ia ajak bersiasat malam ini. 

Maria melesatkan pandangannya pada tiga wanita di meja bar. Ketiganya adalah selebriti: dua aktris dan satu pedangdut. Baguslah tiga-tiga tampak masih waras. Lebih bagus lagi, citra ketiganya penuh kontroversi. Maria mendekat, memesan segelas wine lebih dulu agar terlihat elegan saat menyapa mereka.

“Apa kabar?” 

Satu artis mengangkat lima jarinya tepat di depan wajah Maria “Menjauhlah dariku! Aku tidak mau nanti wartawan salah memberitakanku.” Congkak betul artis satu ini. Dia artis yang tengah naik daun dan sedang terlibat dalam sebuah proyek film.

Maria langsung menunduk, menenggak seteguk minumannya. Lagi-lagi ia dapat memahami maksud dari artis itu. Hanya saja sikapnya membuat Maria sakit hati. 

“Bagaimana denganmu sendiri, Maria?” Pedangdut menyambut Maria. 

Dagu Maria langsung terangkat. Ia melihat peluang pada si pedangdut. “Buruk. Kau pasti mengikuti berita,” jawab Maria.

Begitupun dengan si pedangdut. Ia melihat keuntungan pada diri Maria. “Ikuti aku! Kita bicara di tempat aman,” ajak pedangdut seraya melirik CCTV. 

Maria mengerti. Mereka bergiliran menuju toilet. Pedangdut telah memastikan seluruh bilik toilet kosong. Keduanya bisa memulai percakapan serius. 

“Aku ingin mengaburkan berita buruk papaku dari media. Berapa aku harus membayar bantuanmu?” tanya Maria menatap dirinya sendiri di permukaan cermin. Ia membayangkan hidupnya sebentar lagi menghadapi kesialan. 

Lihat selengkapnya