Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #8

Bakung Madonna (Lili Putih)

#UsutTuntasGedungRumah SakitygAmbruk 

#BeriYusufKeadilan 

#HukumMatiKoruptor

#KapanUndang-UndangPerampasanAsetDisahkan? 

#SiapaSosokKapak Tumpul? 

#KapakTumpulOrangSingapura


PYAR …. 

Patung Bunda Maria terjatuh dari atas nakas ketika polisi-polisi sedang menggeledah rumah Maria. Maria baru pulang dari latihannya di stable dan langsung membersihkan serpihan patung yang tercecer di lantai. Polisi-polisi itu cuma sempat mengucapkan selarik kalimat permintaan maaf tanpa upaya. Sepertinya juga kata maaf dari polisi-polisi itu lebih ditunjukan pada patung rohani yang terjatuh ketimbang pada Maria. Mereka lalai bahwa di punggung Maria masih terdapat tas tempat busur dan anak-anak panah yang kapan pun jika pemiliknya marah, polisi-polisi itu bisa terluka. 

Maria melihat isi rumahnya berantakan. Para jongos hanya membatu tidak berani segera membersihkan. Ketika polisi mulai membopong keluar uang tunai, surat berharga, dan dokumen-dokumen dari ruang kerja papanya, barulah Maria tersadar. Ia bertanya dengan panik, di mana papanya? Para jongos tertunduk tak menjawab dan hanya memikirkan gaji bulan ini yang belum sempat dibayar. Kemudian salah satu polisi mendekat pada Maria seraya menatap punggung Maria. Maria mundur, takut mereka akan mengambil busur dan anak panah miliknya. Ia bersumpah jika sampai mereka berusaha mengambil tas di punggungnya tanpa dasar, Maria akan melesatkan anak panah ke kepala mereka satu per satu. Asal mereka tahu kalau busur ini hadiah dari Menteri Olahraga karena Maria pernah menjadi juara dalam sebuah kompetisi internasional, bukan dibeli pakai uang korupsi. 

“Bapak Sugik harus kami tangkap. Dia dan rekan kerjanya terbukti melakukan korupsi atas pembangunan gedung sepuluh lantai rumah sakit.” Polisi botak berkata tenang supaya Maria tetap tenang.

“Di mana papaku?”

“Di kantor polisi, Mbak. Di mana lagi.” Haloha muncul dan menyahut. Ia mengetuk dinding rumah seraya memandangi seluruh tembok. “Semestinya dia membangun rumah sakit sekokoh dia membangun rumah ini,” tambah Haloha sambil berdecak antara kagum dan ironis.

Maria tahu harus menghubungi siapa. Pertama ia akan menelpon Komisaris Besar Polisi kenalan keluarganya, kedua bude dan pakdenya. Tapi setelah polisi-polisi ini berhenti menaksir harga perabot mahal di rumahnya. Juga setelah Maria membuat jebakan kecil untuk polisi wanita incarannya. Haloha, tertulis nama itu di kalung id card polisi wanita itu. 

Pelan-pelan Maria meletakkan kepingan besar patung Maria ke tengah ruangan. Semoga merobek tumit kaki Haloha yang berada persis di dekat perangkapnya. Sayang sekali, Maria tidak tahu Haloha terkenal dengan instingnya yang setajam anjing. Merasa ada pergerakan halus dan ragu-ragu di belakang tubuhnya, Haloha berbalik. Maria tiba-tiba sudah berada di dekatnya dengan sikap biasa yang bagi Haloha sendiri, perpindahan Maria yang terlalu tiba-tiba menciptakan kesan ganjil.

Haloha melihat ke bawah lantas memungut kepingan patung Bunda Maria tak jauh dari kakinya berdiri. Haloha bisa menebak siapa yang meletakkannya di sini dari yang tadinya patung itu jatuh di sana. Mendekat ia ke Maria untuk berbisik, “Di mana kudamu?”

Maria mendelik.

“Tidak masalah bukan jika kami mengambilnya. Untuk sementara kau bisa bertanding menggunakan kuda yang disediakan panitia.” Haloha belum puas. Kini ia berganti melirik tas busur di punggung Maria. “Jangan menghalangi polisi atau kamu mau kami mengambil busurmu juga! Lebih baik kau berhati-hati dengan dirimu sendiri. Kau juga bisa dibui karena dianggap ikut menikmati hasil korupsi.”

Maria kicep. 

Komisaris Besar Polisi mendadak tidak bisa dihubungi. Pakde dan budenya tidak dapat memberikan solusi sebab media kembali menyoroti kasus ambruknya gedung sepuluh lantai. Budenya malah menawarinya tempat berpulang sebab rumah dan aset-aset lain milik keluarga Maria terancam disita untuk membayar denda pada keluarga korban. Terakhir pedangdut menelponnya, mengabari kalau uang yang Maria transfer sudah dikembalikan. Pedangdut hanya memotong sekian belas juta untuk biaya pengobatan. 

Kesialan beruntun dalam hidup Maria pun semakin mengakar jauh. Beberapa hari kemudian dia mengikuti kompetisi panahan berkuda tanpa kuda kesayangannya, Bubu. Pada putaran kedua, Maria jatuh dari kuda. Berguling di tanah dan si kuda tetap berlari seolah mengejeknya. Beruntung Maria hanya cedera ringan. Ia bangkit, berjalan tertatih-tatih sambil mengomel kudanya bodoh

Itu salahnya sendiri. Menjelang perlombaan pelatihnya sudah mewanti-wanti agar dia meluangkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan kuda barunya. Namun, Maria menepis merasa tidak pernah kesulitan menunggangi kuda lain. Kuda-kuda di olimpiade internasional, misalnya adalah kuda-kuda yang memang telah memenuhi standar level olimpiade. Kuda-kuda semacam itu punya performa unggul yang didapat dari latihan dan strategi pemberian pakan. Sama seperti Bubu.

Beda halnya dengan perlombaan lokal macam kompetisi yang Maria ikuti kali ini. Peserta diperbolehkan membawa kudanya sendiri atau memilih menunggangi kuda yang telah disediakan panitia. Dalam perlombaan lokal, Maria selalu membawa Bubu bertanding. Tanpa Bubu atau minimal tanpa kuda sehebat Bubu, tak ada kemenangan untuk Maria. Maka, itu terjadi kali ini sebab kuda-kuda yang disiapkan panitia dalam perlombaan lokal tidak ada yang sehebat Bubu. 

Maria dengan terpincang-pincang memasuki istal, tempat kuda-kuda beristirahat. Di depan kuda coklat bersurai hitam yang tadi ditungganginya, Maria menjatuhkan tas busur dan anak panah. Telapak tangannya mencoba perlahan menyentuh pipi kuda itu. Selangkah maju, si kuda tampak tenang. Dua langkah dan seterusnya, alih-alih mengelus kepala kuda untuk meminta maaf dan saling memaafkan, Maria justru menampar moncong kuda hingga kuda itu melompat.

“Kuda bodoh!” maki Maria. 

Pelatih Maria muncul kemudian. Tepat sebelum Maria mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk melubangi tengkorak kuda di hadapannya.

“Seseorang membawakanmu buket bunga.” Pelatih Maria membawakan buket bunga yang dimaksud. Seikat bunga bakung putih dikelilingi kertas cellophane warna hitam. Cantik dan elegan. Buket bunga bakung itu mengingatkan Maria pada papanya yang kini di penjara. 

Lihat selengkapnya