Usut Tuntas Gedung Rumah Sakit yang Ambruk.
Beri Yusuf Keadilan.
Hukum Mati para Koruptor
Kapan Undang-Undang Perampasan Aset Segera Disahkan?
Siapa Sebenarnya Sosok Dibalik Kapak Tumpul?
Ksatria Baru, Kapak Tumpul Diduga Orang Singapura.
Pyar ….
Patung Bunda Maria terjatuh dari atas nakas ketika polisi-polisi sedang menggeledah rumah Maria. Maria baru pulang dari latihannya di stable1 dan langsung membersihkan serpihan patung yang tercecer di lantai. Polisi-polisi itu cuma sempat mengucapkan selarik kalimat permintaan maaf tanpa upaya. Sepertinya kata maaf mereka ditunjukan pada patung rohani itu ketimbang pada Maria. Mereka lalai bahwa di punggung Maria masih terdapat tas tempat busur dan anak-anak panah yang kapanpun jika pemiliknya marah, mereka bisa terluka.
Maria melihat isi rumahnya berantakan. Para jongos hanya membatu tidak berani segera membersihkan. Ketika polisi mulai membopong keluar uang tunai, surat berharga, dan dokumen-dokumen dari ruang kerja papanya, barulah Maria tersadar. Ia bertanya dengan panik, di mana papanya? Para jongos tertunduk memikirkan gaji bulan ini. Kemudian salah satu polisi menatap punggung Maria. Maria mundur, takut mereka akan mengusik busur dan anak panahnya. Ia bersumpah jika sampai mereka berusaha mengambil tas di punggungnya tanpa dasar, Maria akan melesatkan anak panah ke kepala mereka. Busur ini hadiah dari Menteri Olahraga, bukan dibeli pakai uang korupsi.
“Bapak Sugik harus kami tangkap. Dia dan rekan kerjanya terbukti melakukan korupsi atas pembangunan gedung sepuluh lantai rumah sakit.” Polisi botak berkata tenang supaya Maria juga tenang.
“Di mana papaku?”
“Di kantor polisi, Mbak. Di mana lagi.” Haloha muncul dan menyahuti Maria. Ia mengetuk dinding rumah seraya memandangi seluruh tembok. “Semestinya dia membangun rumah sakit sekokoh dia membangun rumah ini,” tambah Haloha.
Maria tahu harus menghubungi siapa. Pertama ia akan menelpon polisi kepala, kedua budhe dan pakdhenya. Tapi setelah polisi-polisi ini berhenti menaksir harga perabot mahal di rumahnya. Juga setelah Maria membuat jebakan kecil untuk polisi wanita incarannya. Haloha, tertulis nama itu di kalung id card wanita tanpa seragam polisi.
Pelan-pelan Maria meletakkan kepingan besar patung Maria ke tengah ruangan. Semoga merobek tumit kaki Haloha yang berada persis di dekat perangkapnya. Sayang sekali, Maria tidak tahu Haloha terkenal dengan instingnya yang setajam anjing. Merasa ada pergerakan halus dan ragu-ragu di belakang tubuhnya, Haloha berbalik. Maria tiba-tiba sudah berada di dekatnya dengan sikap biasa yang bagi Haloha sendiri, perpindahan Maria yang terlalu tiba-tiba menciptakan kesan ganjil.
Haloha melihat ke bawah lantas memungut kepingan patung Bunda Maria. Bisa Haloha tebak siapa yang meletakkannya di sini dari yang tadinya patung itu jatuh di sana. Mendekat ia ke Maria untuk berbisik, “Di mana kudamu?”
Maria mendelik.
“Tidak masalah bukan jika kami mengambilnya. Untuk sementara kau bisa bertanding menggunakan kuda yang disediakan panitia.” Haloha belum selesai. Kini ia berganti melirik tas busur di punggung Maria. “Jangan menghalangi polisi atau kau mau kami mengambil busurmu juga! Lebih baik kau berhati-hati dengan dirimu sendiri. Kau juga bisa dibui karena dianggap ikut menikmati hasil korupsi.”
Polisi kepala tidak bisa dihubungi. Pakdhe dan budhenya tidak memberikan solusi sebab media kembali menyoroti kasus ambruknya gedung sepuluh lantai. Budhenya malah menawarinya tempat berpulang sebab rumah dan aset-aset lain terancam disita untuk mengembalikan sejumlah uang kerugian negara dan membayar denda tuntutan keluarga korban. Terakhir pedangdut menelponnya, mengabari kalau uang yang Maria transfer sudah dikembalikan. Pedangdut hanya memotong sekian belas juta untuk biaya pengobatan.
Kesialan beruntun dalam hidup Maria pun semakin mengakar jauh. Beberapa hari kemudian dia mengikuti kompetisi panahan berkuda tanpa kuda kesayangannya, Bubu. Pada putaran kedua Maria jatuh dari kuda. Berguling di tanah dan si kuda tetap berlari mengejek. Beruntung Maria hanya cedera ringan. Ia bangkit, berjalan tertatih-tatih sambil mengomel kudanya bodoh. Itu salahnya sendiri. Menjelang perlombaan pelatihnya sudah mewanti-wanti agar dia meluangkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan kuda barunya. Namun, Maria menepis merasa tidak pernah kesulitan menunggangi kuda lain. Kuda-kuda di olimpiade internasional, misalnya adalah kuda-kuda yang memang telah memenuhi standar level olimpiade. Kuda-kuda semacam itu punya performa unggul yang didapat dari latihan dan strategi pemberian pakan. Sama seperti Bubu.
Beda halnya dengan perlombaan lokal. Peserta diperbolehkan membawa kudanya sendiri atau memilih menunggangi kuda yang telah disediakan. Dulu Maria selalu membawa Bubu bertanding bersamanya. Tanpa Bubu atau minimal tanpa kuda sehebat Bubu, tak ada kemenangan untuk Maria. Maka, itu terjadi kali ini.
Maria dengan terpincang-pincang memasuki istal, tempat kuda-kuda beristirahat. Di depan kuda coklat bersurai hitam yang dipinjamnya dari stable tempat ia biasa menitipkan Bubu, Maria menjatuhkan tas busur dan anak panah. Telapak tangannya mencoba perlahan menyentuh pipi kuda itu. Selangkah maju, si kuda tampak tenang. Dua langkah dan seterusnya, alih-alih mengelus kepala kuda untuk meminta maaf dan saling memaafkan, Maria justru menampar moncong kuda hingga kuda itu melompat.
“Kuda bodoh!”
Pelatih Maria muncul kemudian. Tepat sebelum Maria mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk melubangi tengkorak kuda di hadapannya.
“Seseorang membawakanmu buket bunga.” Pelatih Maria menunjukkannya pada Maria. Seikat bunga lili warna putih dikelilingi kertas cellophane hitam. Indah sangat. Bunga lili mengingatkan Maria pada papanya yang kini di penjara.