Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #9

Dua Gelas Es Kopi

“Terkutuklah buat ketidakadilan, terkutuklah buat ketidakpedulian, terkutuklah buat kemiskinan, terkutuklah buat rasa sakit dan sedih, terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi,” tulis Sondang Hutagalung, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) yang nekat bakar diri pada tanggal 7 Desember 2011 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Tindakannya diasumsikan sebagai bentuk protes atas kecewanya terhadap ketidakadilan dan penanganan kasus hak asasi manusia di Indonesia. 

4 tahun kemudian pada tanggal 1 Mei 2015 kasus yang sama terjadi di tengah perayaan Hari Buruh Internasional di stadion utama Gelora Bung Karno. Seorang aktivis buruh bernama Sebastian Manufuti memilih menjadi martir dengan melompat dari atap dalam keadaan sekujur tubuh terbakar. Berikut Sebastian Manufuti meninggalkan selarik tulisan pada laman sosial medianya, “semampuku ku kan berbuat apapun agar Anda, kita, dan mereka bisa terbuka matanya telinganya hatinya untuk keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” 


Sebuah patung pria terbakar tepat di titik Sondang Hutagalung pernah membakar dirinya hidup-hidup. Patung itu diletakkan di sana pada malam dini hari dan di pagi harinya patung itu tiba-tiba terbakar bagai manusia api. Tak seorang pun melihat siapa yang meletakkannya di sana dan siapa pula yang menyulutkan api untuk membakarnya. Hanya berjarak tujuh kilo dari patung pertama, patung kedua yang berbentuk serupa juga terbakar di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kedua patung menjunjung tinggi papan gypsum bertuliskan ungkapan selamat dan hadiah dari pembuat patung. 

“Selamat kalian telah menemukanku dan sedang mengawasi meja kerjaku. Untuk mengenang dua pria pemberani yang memainkan teatrikal politis paling ekstrim: Sondang dan Sebastian, kupersembahkan bukti-bukti kegilaan dari salah satu menteri kita yang tersimpan di bawah kaki patung Sondang dan patung Sebastian”. Lalu di bagian bawah papan gypsum tertulis “Kapak Tumpul”.

Mobil polisi berdatangan di dua titik lokasi sekaligus. Polisi-polisi yang turun tangan langsung membanjur patung Sondang dan patung Sebastian dengan air. Api padam. Struktur patung jadi terlihat jelas. Bekas hitam terbakar menyelimuti seluruh permukaan patung. Lantas para polisi mengamankan kotak besi di bawah kaki patung-patung itu.

Penampakan patung terbakar pada hari itu membangkitkan rasa penasaran masyarakat. Siapa menteri yang Kapak Tumpul singgung? Mereka ingin tahu. Mereka menuntut polisi-polisi yang bekerja menganalisis tuduhan serta barang bukti dalam kotak besi itu bersikap transparan. Sejauh ini Kapak Tumpul belum sekali pun membuat pernyataan palsu. Siapapun dia, karena cara-cara eksentriknya dalam menggoyahkan ketidakadilan, kini ia punya barisan pendukung sekaligus penggemar. Mereka tidak menamai diri mereka memakai nama-nama yang menjurus. Ah, yang seperti itu tidak perlu. 

Beberapa hari kemudian, media berhasil mendapat bocoran isi dari kotak besi di bawah kaki patung Sondang dan patung Sebastian. Ternyata di kotak tahan api itu terkumpul bukti-bukti pelanggaran HAM atas kasus pelenyapan seorang jurnalis yang mengangkat praktik pembobolan mesin ATM dengan melibatkan oknum pejabat dan aparat hukum. Bukti-bukti mengarah ke tiga gembong. Pakdhe Maria rupa-rupanya salah satu dari ketiga gembong. Dengan pengawalan masyarakat, aparat sibuk melakukan pencocokan dan mengupayakan pembuktian. Pengadilan pun akhirnya mengeluarkan surat tercatat untuk memanggil tiga terduga ke persidangan. 

Beberapa hari sebelumnya, Ragil sebetulnya telah menyadari ada yang tengah mengintainya dari kejauhan. Bermula ketika Ragil melihat satu orang perempuan dan satu orang pria masuk ke ruangan rekam medis menemui kepala bagiannya. Yusuf yang hari itu masuk kerja untuk pertama kali setelah bebas dari penjara membuatkan tiga gelas kopi untuk mereka; dengan terpincang-pincang sebab katanya selama di penjara ia didera banyak pukulan. Kepada Ragil, Yusuf menyampaikan bahwa dua orang itu adalah polisi. Yusuf melihat lencana mereka dan dari caranya mengatakan, Yusuf seperti punya trauma sendiri dengan polisi. Tapi, kepala bagian rekam medis tidak menyampaikan informasi apa pun pada anak buahnya di ruangan itu. Tahu-tahu besoknya satu kamera CCTV baru terpasang menghadap ke meja kerja Ragil. Begitu saja, Ragil langsung dapat memahami situasi.

***

“Perawat Runi!” panggil Ragil. Melambai ke Runi yang tengah membantu memapah lansia berjalan di atas rumput taman. 

Ragil mendekat bertanya di mana ibunya, sebab ia barusan dari ruangan bertirai putih tapi ibunya tak ada. Lalu menuju ke kamar ibunya, sama saja. 

“Seorang wanita datang menjenguknya. Coba ke tepi danau, mungkin mereka berbincang di sana,” jawab Runi.

“Seorang wanita?”

Runi mengangguk. Kekhawatiran di wajah Ragil membuatnya jadi ikut khawatir. Diingat-ingat lagi, ibu Ragil memang belum pernah dikunjungi orang lain selain Ragil. Melihat Ragil berlari menuju danau buatan tanpa meninggalkan sepatah kata pun, bertambahlah kekhawatiran Runi. Lantas ia meminta sesama perawat menggantikannya memapah lansia agar ia bisa mengejar Ragil ke danau.

Syukurlah, wanita itu tidak melakukan hal buruk pada ibu Ragil. Di hadapannya, Runi melihat wanita itu berbalik, tampak bahagia saat tahu Ragil datang, kemudian si wanita memeluk Ragil lebih dulu. Runi tidak tahu perasaan apa yang mencukil benaknya. Rasanya seperti … tak sengaja menjatuhkan saus merah ke pakaian yang berwarna putih. Ini aneh baginya. Runi segera berbalik dan kembali bekerja.

“Aku mencarimu selama ini,” kata Maria memeluk Ragil.

Ragil tertegun. Bumi serasa berhenti berputar, air danau naik ke atas, ibunya terbang dengan kursi rodanya bersama lansia-lansia yang jejeritan, angin besar menyapu semua daratan tanpa menyentuh mereka, dan semua lenyap karena radiasi tinggi; lagi lagi menyisakan mereka berdua. Maria melepaskan pelukannya dan dengan cepat bumi kembali seperti semula. Dadanya yang lembut menempel, bergerak menjauh. Tapi, wangi parfumnya yang elegan tertinggal di pakaian Ragil.

“Aku ingat tante Lastri sangat suka bunga lili.” Maria meletakan seikat bunga lili di pangkuan Lastri.

Lastri hanya diam, memandang angsa jantan yang berdiam diri di tengah danau.

“Kenapa dengan tante Lastri, Ragil?”

“Demensia. Bagaimana kabarmu, Mbak?”

Well, kadang sedih mengingat papa. Sekarang aku tinggal dengan Budhe. Kudengar tante Lastri menikah lagi. Apa suaminya juga di sini?”

“Suaminya di penjara,” jawab Ragil. Gugup. Akan tetapi yang tampil dari dirinya justru kesan dingin.

Maria memandang ke tengah danau. Harus bagaimana mencairkan suasana dengan pria ini? batin Maria. 

“Mari makan siang di luar, Mbak! Ada kafe dekat sini.”

Maria langsung semangat. “Ayo! Kau antar tante Lastri ke kamar. Aku akan ke … di mana aku bisa mendapatkan vas dan air untuk merendam batang bunga lili?” 

Lihat selengkapnya