Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #10

Maria

MARIA terbangun. Dia sudah di sofa panjang berhimpitan dengan Ragil. Kulit tubuh mereka lengket oleh keringat. Maria mengernyit berupaya bangkit, mengira dirinya akan lumpuh sebab pinggulnya terasa amat pegal. Percintaannya semalam bersama adik sepupu benar-benar dahsyat, brutal, menjijikan, dan mengingatnya membuat Maria mual. 

Hampir saja mereka menjatuhkan akuarium ikan cupang setelah tak cukup puas menggeser gelas-gelas kaca di atas meja makan hingga jatuh dan belingnya berceceran ke lantai. Ditatapnya Ragil yang ketiduran karena kelelahan. Entah mengapa Maria kesal sudah disetubuhi di atas meja makan. Pria itu tak hanya memenangkan pertarungan tapi juga telah membekalinya rasa sakit di pinggul sampai sulit berjalan. Maria mendesis. Sudah sepatutnya ia mengganjar pria itu dengan menggeser beberapa pecahan gelas ke bawah sofa. Semoga Ragil menginjaknya ketika bangun. 

Dengan tertatih-tatih Maria berjalan menuju ke lemari es. Sial. Malam yang sial. Maria tidak pula menemukan minuman dingin di lemari es dapur ini. Ia berjalan lagi ke dispenser air yang terletak di ujung dapur. Bodohnya, setelah menggelontorkan air galon ke dalam gelas, Maria mesti berjalan kembali ke lemari es untuk mencari sebongkah kecil es batu demi membuat air es yang ia mau. 

Ragil gemar memasak. Jadi wajar saja, Ragil membangun rumah minimalis dengan dapur yang dilengkapi lemari pendingin besar.  Maria membuka bagian atas lemari es empat pintu itu. Dari sana Maria mendapatkan butiran es batu untuk air minumnya. Alangkah terkejutnya Maria setelah air es mendinginkan tenggorokannya. Maria baru sadar bahwa di dalam lemari es, Ragil menyimpan banyak sekali bahan makanan yang dikelompokkan menurut kategori. Semua stok daging-dagingan, ikan-ikanan lengkap tersedia. Pasti pria itu pemuja film apocalypse, batin Maria. 

Tapi ada yang terlihat mengerikan di freezer bagian dalam. Apa ini jantung? Secara anatomi bentuknya seperti jantung manusia, diletakkan di piring berlapis plastik wrap. Pembuluh darah pada jantung tampak terpotong rapi. Tapi jantung apa yang sebesar kepalan tangan manusia. Babi? Maria semakin mual. 

Segera Maria menutup pintu lemari es. Beralih ke permukaan meja dapur. Ragil meletakan ponsel miliknya tidak jauh dari tungku kompor. Ponsel itu bergetar. Mata Maria mampu menjangkau layar ponsel itu. Sebuah pesan masuk. Notifikasinya tertulis “Akio forensik”. Sebagian pesannya berbunyi, “kapan kau akan memasak jantung kor—” Kelanjutan isi dari pesan itu tak terbaca oleh Maria. Jika sulit baginya mengendalikan rasa penasarannya tentang pesan itu, tentang pengirimnya, tentang benda sebesar kepalan tangan manusia di lemari es, tentang ada tidaknya hubungan semua itu, Maria perlu membuka ponsel Ragil. 

Itulah yang dilakukan Maria. Ia coba membuka ponsel Ragil. Namun, Ragil mengunci layar ponselnya. Maria berpikir sejenak. Bagaimana jika Maria coba memasukkan nomor sandi rumah ini? Tadi Maria tak sengaja melihat Ragil membuka kunci pintar rumahnya menggunakan enam digit angka. Bing! Dalam satu kali upaya, ponsel itu berhasil Maria bobol. Ini ketololan yang mematikan. Seorang Ragil ternyata memelihara ketololan macam ini. Maria bisa saja mencoba memindahkan semua uang dari rekening Ragil ke rekeningnya sendiri. Beruntungnya, Maria bukan pencuri. 

Akun “Akio forensik” menampilkan foto pengguna yang sama dengan Akio, anak Komisaris Besar Polisi yang batal bertunangan dengannya. Asal tahu saja, Maria juga menyimpan kontaknya. Lalu apa hubungan antara Ragil dengan Akio hingga keduanya punya banyak riwayat obrolan. Kalimat tanya “kapan kau akan memasak jantung koruptor?” apa maknanya? Belum lagi jantung beku di lemari es Ragil sungguh mengganggu pikirannya.

Melihat Ragil terkapar lelah di atas sofa membuat Maria mendadak bergidik. Ia membayangkan pria itu bangun dan mencurigai Maria tahu segalanya. Segala yang Maria belum tahu dan yang Maria persepsikan sendiri. Maria lekas mengenakan kembali semua pakaian luarnya. Pukul tiga pagi, ia berhasil keluar dari rumah Ragil. Tak peduli beberapa makhluk halus mengintainya dari balik pohon-pohon bambu. Tak peduli dingin menyusup ke pakaiannya yang tipis dan ketat. Maria berjalan seorang diri menuju jalan aspal. Nyatanya, perasaannya lebih nyaman setelah keluar dari rumah Ragil dan mendapatkan taksi.

Di perjalanan pulang, Maria menyuruh sopir taksi berbelok. Tak jadi diantar ke rumah budenya. Maria minta turun di pemakaman umum. Taksi kemudian meninggalkannya seorang diri di bawah gapura pemakaman umum. Di sana Maria melihat sekop tergeletak dekat bangunan kecil tempat penyimpanan keranda. Sekop itu dibawanya dengan cara diseret sebab pinggulnya masih sakit, dan dia harus menyimpan tenaganya untuk nanti tiba di makam papanya.

 Sebulan yang lalu papanya ditimbun di bawah sini, di bawah gundukan tanah yang ditumbuhi rumput segar. Maria ingin tahu seperti apa tubuh papanya sekarang. Sampai mana belatung menggerogoti tubuhnya. Dengan sekop di tangan, Maria mulai menggali, merusak rumput-rumput yang baru tumbuh di permukaan tanah. 

Jangan lupakan bahwa Maria seorang atlet. Kekuatan dan daya tahan tubuhnya sangat baik. Maria menggali tanpa sebentar-sebentar istirahat. Ketika matahari tepat di atas kepala, itu artinya sudah 5 jam sejak dia mulai menggali, sekop Maria akhirnya membentur peti mati papanya. Ini dia peti mati seharga ratusan juta. Pantang orang kaya dikubur dalam peti mati murah. 

Maria mencukilnya. Berat dan bau busuk merembet keluar dari celah penutup peti. Dua hal itu terlupakan begitu saja oleh Maria. Ketika berhasil membuka seluruh penutup peti mati, Maria melihat koloni belatung membangun kerajaan di tubuh papanya. Tangis Maria pecah. Kini ia sepenuhnya sadar papanya benar-benar mati dan membusuk,  tidak seperti pikirannya yang berusaha menipu perasaannya selama ini dengan menganggap papanya hanya dinas ke luar kota barang sebulan-dua bulan. 

 Perlahan Maria membuka kancing kemeja papanya. Cairan paling busuk telah membasahi kemeja itu. Bergetar tangannya. Bergetar pula hatinya. Ia tetap harus melanjutkan kegiatan ini demi memastikan sesuatu. Kulit pada sekujur tubuh papanya telah menghitam, akan tetapi Maria masih dapat melihat jahitan memanjang bekas autopsi di bagian dada. Maria merobeknya perlahan menggunakan jari-jari tangannya. Beberapa belatung merambat naik ke tangan Maria hingga lehernya. Tatkala beberapa belatung berhasil mencapai bibirnya, Maria mengusirnya menggunakan bahu. 

Maria tak bisa melihat apa pun selain tulang dada, tulang rusuk, beberapa jaringan daging dan lemak yang dipenuhi belatung. Tangannya merogoh ke dalam rongga tulang rusuk. Ia tak menemukan organ dalam apa pun karena semua telah meleleh menjadi satu dengan cairan busuk dan belatung. Biarpun ia terus merogoh, mengais, yang Maria lakukan hanya mengobok-obok tubuh papanya tanpa dapat mengidentifikasi organ-organ apa yang telah membusuk. Satu-satunya sisa organ dalam yang diketahuinya cuma usus. Itu pun sudah terpotong-potong oleh belatung yang rakus. 

Seseorang melapor kepada penjaga makam bahwa ia mendengar raungan pilu dari dalam kuburan. Keduanya dengan ditemani beberapa warga sekitar menuju kuburan itu. Betapa terkejutnya mereka ketika menemukan seorang wanita tertidur di atas mayat. Barangkali lelah menangis. Tubuhnya dirambati banyak belatung. Warga mencoba membangunkan wanita itu dengan seonggok bambu panjang seraya tak henti-hentinya muntah. Wanita itu pun akhirnya terbangun. Kepada warga yang menemukannya, dia mengaku datang kemari karena rindu pada papanya dan tak menolak jika ada yang tak jijik mengantarnya pulang. 

Lihat selengkapnya