Rumah sakit akan selalu dipenuhi duka, kesedihan, rintihan, dan kesakitan yang mana atap gentengnya—jika doa bisa dilihat—mengeluarkan semacam gelembung-gelembung transparan warna hijau ke angkasa. Setiap gelembung berisi pesan: meminta kesembuhan dari Tuhan. Yang bilamana gelembung itu tidak pecah di udara, maka bisa jadi gelembung itu sampai kepada Tuhan. Daripada tempat peribadatan manapun, tempat ini meniupkan lebih banyak doa yang lebih tulus. Karena kesakitan selalu berhasil membuat seseorang mengingat kematiannya.
Akan tetapi, melewati pintu ke pintu yang ada di dalamnya. Meski dekat sekali dengan penderitaan, tapi ada beberapa ruangan yang tak mengenal penderitaan. Ruangan-ruangan itu berisi orang-orang yang bekerja demi uang. Dari mana uang yang mereka harapkan? Dari rasa sakit yang masuk ke rumah sakit.
Di dalam ruang kerja Ragil ada 5 buah kamera CCTV dari tadinya berjumlah 4 buah. Satu yang di sudut kanan ruangan dipasang oleh dua orang yang kata Yusuf “polisi”. Dan, satu kamera itu hanya bergerak di waktu Ragil bergerak seolah memang dia sedang dimonitor. Sedangkan Ragil bekerja bersama tiga rekan lainnya di ruangan yang sama, ruangan rekam medis. Tapi sepertinya ketiga rekannya tak menyadari perilaku aneh kamera baru itu.
Ragil merasa kesal. Dia tidak beroperasi di tempat kerja. Satu-satunya tempat yang aman untuk memainkan peran Kapak Tumpul hanya di dalam mobil sedan tua bobroknya. Tidak di dalam rumah yang seharusnya nyaman apalagi di tempat kerja yang menuntut dia bersikap profesional. Oleh karena itu dia meminta Tagumpay lekas menyelesaikan masalah ini. Butuh waktu bagi Tagumpay untuk meretas kamera CCTV itu dengan perangkat lunak miliknya. Tagumpay kudu memastikan dahulu bahwa jaringan pada kamera CCTV itu aman dari jebakan siber.
Nyatanya, tidak hanya di ruang kerjanya Ragil merasa diawasi. Ketika ia keluar ruangan menuju toilet, sepasang mata telah menunggunya dan langsung menangkap gerak-geriknya. Mata itu milik seorang wanita yang kemudian mengikuti setiap langkahnya dari belakang. Diam-diam Ragil mengamati melalui jendela-jendela ruangan yang ia lewati. Penyamaran wanita itu sangat zalim pada dirinya sendiri. Dia mengkombinasikan baju panjang selutut dan kerudung brokat yang dipakai asal-asalan dengan celana jeans pensil dan sepatu sneakers. Kiblat mana yang wanita itu tuju hingga membuat Ragil malu memandangnya.
Ketika Ragil sampai di toilet pria pun tiba-tiba ada pria tak dikenal nyelonong masuk. Ikut kencing di samping bak kencing Ragil. Ragil mengenal semua karyawan rumah sakit walau tidak hafal semua nama karyawan dari pelayanan sampai penunjang, paling tidak Ragil ingat wajah-wajah mereka, bahkan karyawan rekanan pun Ragil mengingatnya. Tapi pria ini, Ragil yakin dia bukan karyawan rumah sakit. Gelagatnya juga tidak seperti pasien kesasar.
Lalu, apa yang dilakukan dua orang yang menguntitnya selepas Ragil kencing adalah tetap menguntit ke mana pun ia melangkah. Menjelang siang hari jumlah mereka bertambah empat orang. Saat istirahat makan siang, mereka bagai membelah diri menjadi delapan orang. Di sore harinya, delapan orang itu mulai berpencar. Tiga diantaranya berjaga di parkiran karyawan, dua menunggu di depan ruang rekam medis, dan tiga lainnya tersebar di pintu-pintu keluar. Enggan menunjukkan huniannya kepada para penguntit itu, Ragil memutuskan membawa dua orang yang berjaga di depan ruang rekam medis ke rooftop gedung rumah sakit.
Ini seperti undangan memandang langit senja. Yeah, cuma kurang sebotol minuman. Ragil melipat tangannya di atas tembok pembatas rooftop sembari mengistirahatkan satu kakinya dengan membiarkan satunya lagi menopang tubuhnya berdiri. Dari belakang terdengar dua langkah kaki manusia menembus pintu keluar. Seorang pria tua, terdengar dari suaranya, mengomando tiga anak buahnya agar menyusulnya naik.
“Kenapa mengikutiku?” Ragil tanpa membalikkan tubuh berkata seraya tetap menikmati pemandangan. Sayang sekali jika melewatkan senja di kota kecil ini. Sebuah kota ber-UMK rendah yang dikelilingi banyak gunung aktif.
“Benarkah kau Kapak Tumpul?” Seorang wanita bertanya dari jarak yang canggung. Suaranya lembut, indah didengar. Ragil hampir tak ingin percaya suara itu muncul dari mulut wanita itu. Semut, kecoa, angin pasti juga tak ingin percaya.
Ragil tak menjawab. Dia tak akan pernah menjawab pertanyaan semacam itu. “Kalian siapa?” Akhirnya Ragil berbalik. Menatap wanita yang menzalimi dirinya sendiri dengan penyamarannya yang memalukan. Mereka tak mendengar suara hatinya tertawa, menertawakan wanita itu juga menertawakan jarak yang dibuat wanita dan pria tua itu darinya. Jarak yang seolah menegaskan bahwa mereka berdua polisi dan dirinya penjahat yang terkepung di atas loteng.
“Aku Haloha dan yang bersamaku sekarang adalah Kapolres Imam Budialim.”
“Di mana kita pernah bertemu, Haloha?” Ragil mencoba mengingat.
“Di pemakaman Sugik.”
“Ah, iya. Kau yang terus menatapku waktu itu.” Ragil juga melihat ke arah Kapolres Imam Budialim.
“Biasanya pembunuh datang ke pemakaman korbannya untuk mengelabui polisi. Bagaimana denganmu, Ragil?” Kapolres Imam Budialim bicara dengan nada menyelidik.
“Sugik adalah adik dari ayahku. Ibuku mengajakku datang ketika mendengar kabar kematiannya. Tapi, aku akan tetap menjawab pertanyaanmu, Pak Polisi. Jika aku adalah pembunuhnya, maka aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku demi mengelabui polisi dengan trik klasik seperti itu. Setelah membunuhnya aku akan pergi dan bersembunyi ke tempat yang tidak pernah ada di pikiranku sehingga kalian tak mungkin bisa menerka-nerka melalui orang-orang yang mengenalku. Satu-satunya orang yang kubawa bersamaku hanyalah ibuku. Apa sekarang aku tampak bersembunyi?”
Tiga orang yang dipanggil Kapolres Imam Budialim muncul dari pintu rooftop dan langsung memasang sikap siap menyergap. Sekarang mereka sudah berlima dengan seorang pemuda berekspresi dingin di atap gedung.
“Kami tahu kamu punya ayah sambung di penjara, Ragil. Setiap bulan kau rutin mengunjunginya. Jadi, berapa orang yang ada di dalam tubuh Kapak Tumpul sebenarnya?”