Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #11

Kamera Pengintai

RUMAH sakit akan selalu dipenuhi duka, kesedihan, rintihan, dan kesakitan yang mana atap gentengnya—jika doa bisa dilihat—mengeluarkan semacam gelembung-gelembung transparan warna hijau ke angkasa. Setiap gelembung berisi pesan: meminta kesembuhan dari Tuhan. Yang bilamana gelembung itu tidak pecah di udara, maka bisa jadi gelembung itu sampai pada penampungannya. Daripada tempat peribadatan mana pun, rumah sakit meniupkan lebih banyak doa yang lebih tulus. Karena kesakitan selalu berhasil membuat seseorang mengingat dosa-dosanya dan mendekatkan mereka pada kematiannya.

Akan tetapi, melewati pintu ke pintu yang ada di dalamnya. Meski dekat sekali dengan kesakitan, masih ada beberapa ruangan yang tak mengenal penderitaan. Ruangan-ruangan itu berisi orang-orang yang bekerja demi uang. Dari mana lagi uang yang mereka harapkan jika bukan dari rasa sakit. Alih-alih mencegah rasa sakit itu tumbuh menjamur, ruangan-ruangan itu berjasa dalam menyokong terus aktivitas perawatan dan pengobatan. Tidakkah setiap rumah sakit mestinya menyediakan tempat olahraga yang dapat mengajarkan bagaimana rasa sakit seharusnya dapat dihindari. Tidakkah juga setiap rumah sakit perlu membuka lahan untuk tanaman-tanaman herbal dan mulai menekan penggunaan obat-obatan kimia modern. Kedengarannya sederhana dan bijak sekali tapi industri farmasi tidak suka. 

Di dalam ruang kerja Ragil ada 5 buah kamera CCTV dari tadinya berjumlah 4 buah. Satu yang di sudut kanan ruangan dipasang kemarin oleh dua orang yang kata Yusuf “polisi”. Kamera itu mengarah ke meja kerjanya. Tiga rekan Ragil yang berada di ruangan yang sama dengannya sepertinya tak menaruh curiga. 

Ragil merasa kesal. Dia tidak beroperasi di tempat kerja. Satu-satunya tempat yang aman untuk memainkan peran Kapak Tumpul hanya di dalam mobil sedan tuanya. Tidak di dalam rumah yang seharusnya nyaman apalagi di tempat kerja yang menuntut dia bersikap profesional. Oleh karena itu dia meminta Tagumpay lekas menyelesaikan masalah ini. Butuh waktu bagi Tagumpay untuk meretas kamera CCTV itu dengan perangkat lunak miliknya sebab Tagumpay kudu memastikan dahulu bahwa jaringan pada kamera CCTV itu aman dari jebakan siber. 

Nyatanya, tidak hanya di ruang kerja Ragil merasa diawasi. Ketika ia hendak menuju toilet, sepasang mata telah menunggunya di luar ruangan dan langsung menangkap gerak-geriknya. Mata itu milik seorang wanita yang kemudian mengikuti setiap langkahnya dari belakang. Diam-diam Ragil mengamati penguntitnya melalui jendela-jendela ruangan yang ia lalui.

Penyamaran wanita itu sangat zalim pada dirinya sendiri. Ia mengkombinasikan baju panjang selutut dan kerudung brokat yang dipakai asal-asalan dengan celana jeans pensil dan sepatu sneakers. Kiblat mana yang wanita itu tuju hingga membuat Ragil malu memandangnya terlalu lama. 

Ketika Ragil sampai di toilet pria pun tiba-tiba ada pria tak dikenal nyelonong masuk. Ikut kencing di samping bak kencing Ragil. Ragil mengenal semua karyawan rumah sakit dari pelayanan sampai penunjang. Walau tidak hafal semua nama mereka paling tidak Ragil ingat wajah-wajah mereka, bahkan karyawan rekanan pun, Ragil mengingatnya. Tapi pria ini, Ragil yakin dia bukan karyawan rumah sakit. Gelagatnya juga tidak seperti pasien atau penjenguk yang kesasar.

Apa yang kemudian dilakukan oleh dua orang yang menguntitnya selepas Ragil kencing adalah tetap menguntit ke mana pun ia melangkah. Menjelang siang hari jumlah mereka bertambah empat orang. Saat istirahat makan siang, mereka bagai membelah diri menjadi delapan orang. Lalu di sore harinya, delapan orang itu mulai berpencar. Tiga di antaranya berjaga di parkiran karyawan, dua menunggu di depan ruang rekam medis, dan tiga lainnya tersebar di pintu-pintu keluar. Enggan menunjukkan huniannya kepada para penguntit itu, Ragil memutuskan membawa dua orang yang berjaga di depan ruang kerjanya menuju rooftop

Ini seperti undangan memandang langit senja. Yeah, cuma kurang sebotol minuman. Ragil melipat tangannya di atas tembok pembatas rooftop sembari mengistirahatkan satu kakinya dengan membiarkan satunya lagi menopang tubuhnya berdiri. Terdengar langkah kaki berderap mendekat. Seorang pria tua, terdengar dari suaranya, mengomando tiga anak buahnya lewat walkie-talkie supaya menyusulnya naik.

“Kenapa mengikutiku?” Ragil tanpa membalikkan tubuh, berkata seraya tetap menikmati pemandangan langit. Sayang sekali jika melewatkan senja di kota kecil ini. Sebuah kota ber-UMK rendah yang dikelilingi banyak gunung aktif. 

“Benarkah kau Kapak Tumpul?” Seorang wanita bertanya dari jarak yang canggung. Suaranya lembut didengar. 

Ragil tak menjawab. Dia tak akan pernah menjawab pertanyaan semacam itu. “Kalian siapa?” Ia berbalik. Menatap wanita yang tadi menguntitnya. Ragil hampir tak percaya suara lembut yang didengarnya barusan muncul dari mulut wanita itu. Semut, kecoa, dan angin pasti juga tak ingin percaya. 

Kedua penguntit tak mendengar suara hati Ragil yang tertawa, menertawakan wanita itu juga menertawakan jarak yang dibuat wanita dan pria tua itu darinya. Jarak yang seolah menegaskan bahwa mereka berdua itu polisi dan dirinya penjahat yang terkepung di atas loteng. 

“Aku Haloha dan yang bersamaku sekarang adalah Kapolres Imam Budialim.”

“Di mana kita pernah bertemu, Haloha?” Ragil mencoba mengingat. 

“Di pemakaman Sugik.”

“Ah, iya. Kau yang terus menatapku waktu itu.” Ragil juga melihat ke arah Kapolres Imam Budialim.

“Biasanya pembunuh datang ke pemakaman korbannya untuk mengelabui polisi. Bagaimana denganmu, Ragil?” Kapolres Imam Budialim bicara dengan nada menyelidik. “Kau datang waktu itu ke pemakaman Sugik.”

“Lek Gik adalah adik dari ayahku. Kalian pasti baru mengetahuinya, kan? Ibuku mengajakku datang ketika mendengar kabar kematiannya. Tapi, aku akan tetap menjawab pertanyaanmu, Pak Polisi. Jika aku adalah pembunuh pamanku, maka aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku demi mengelabui polisi dengan trik klasik seperti yang kau katakan. Setelah membunuhnya aku akan pergi dan bersembunyi ke tempat yang tidak pernah ada di pikiranku sehingga kalian tak mungkin dapat menerka-nerka melalui orang-orang yang mengenalku. Satu-satunya orang yang kubawa bersama hanyalah ibuku. Menurut kalian apa sekarang aku tampak bersembunyi?”

Tiga orang yang dipanggil Kapolres Imam Budialim muncul dari pintu rooftop dan langsung memasang sikap siap menyergap. Para polisi itu sekarang berlima dengan seorang pemuda berekspresi dingin di atap gedung. 

Lihat selengkapnya