Dia secantik malaikat itu sendiri, rupa maupun hatinya, bahkan harum tubuhnya bau wewangian surga. Sebenarnya bagaimana bau surga? Mana kutahu, aku cuma sedang menghayal. Yang menciptakan konotasi itu sudah mati ribuan tahun lalu dan belum kembali ke bumi untuk menceritakannya. Jadi, biarkan aku menikmati sedikit percikan surga yang kurasa jatuh itu.
Kakak laki-lakinya penjudi akut (jiwanya sudah tak tertolong), adik perempuannya suka bergaya hedon (standar selebritis, dompet kempis), padahal bapaknya hanya penjual kerupuk keliling, dan ibunya “gali lubang tutup lubang” memakai gaji bulanan Runi sebagai perawat di panti jompo untuk menutup biaya hidup mereka. Mengetahui masalah keluarganya yang kompleks seketika membuatku kehilangan kejantanan. Runi sendiri, dia terlalu polos dan lembut untuk menolak membantu keluarganya. Dia pikir keluarga adalah tempat terbaik baginya untuk belajar sebuah pengorbanan. Jauh sebelum kejantananku terancam seperti ini, suaminya lebih dulu melarikan diri. Katanya, tak ada harapan bagi keluarga mereka. Untung, semua kebutuhan anak Runi mau ditanggung oleh mantan suaminya.
Aku berani bertaruh Runi akan lebih bahagia jika kubunuh semua anggota keluarganya yang menginfeksi hidupnya seperti parasit, kecuali pria kecil yang keluar dari rahimnya (tidak ada yang boleh memisahkan ibu dengan anaknya). Tapi, tetap saja aku bukan pembunuh sekalipun Sutejo pernah mengajariku teknik melayangkan sebuah kapak ke batok kepala manusia. Berapa lama aku terus membuang-buang waktuku? Dia, membuatku menunggu. Sedangkan aku, tidak tahu apa yang kutunggu.
“Jika surga di telapak kaki ibu, apa yang bisa kulakukan demi dapat mengintip surga di bawah sandalmu?” tanya Ragil kepada ibunya di suatu perjumpaan. Mereka berdua duduk di ruangan dengan banyak jendela bertirai putih.
“Cukup kau pergi dari hadapanku sekarang?” Lastri menjawab, ketus dan jemu. Yang begini berarti kondisinya sedang tidak baik. Karena jika kondisinya baik, ia akan menjamu putranya dengan kasih sayang.
“Ayo melihat danau, Bu!” Ragil belum ingin berpisah. Ia mendorong kursi roda ibunya menuju danau sembari berharap ia bisa bertemu Perawat Runi nanti di danau.
Lastri cemberut sepanjang rodanya menggilas lantai koridor. Silir angin masuk dari ujung koridor. Mengisi jalur koridor dengan kesegaran bagai tabung kerongkongan yang dibanjur es kelapa muda. Sesekali Lastri menyapa perawat atau sesama lansia yang lewat. Ada wanita tua yang Lastri panggil. Wanita tua itu balas menyapa Lastri.
“Ibu mengingatnya?” Ragil patut iri. Ingatan ibunya sudah tak menentu, lebih banyak tak ingat padanya.
Lastri tak menjawab, hanya menjentikan ujung jarinya.
“Apa yang Ibu ingat dari lansia tadi?” tanya Ragil sembari terus mendorong kursi roda ibunya menuju ujung koridor.
“Perawat Runi salah membacakan ingatan orang itu kepadaku.” Lastri menjawab kesal. Kesal sebab pemuda yang katanya putranya itu banyak bertanya. Sebenarnya Lastri hanya ingin lebih banyak diam karena semakin hari ia makin mengalami kesulitan bicara.
“Sudah kubilang, Bu, titipkan ingatanmu kepadaku saja.”
“Apa kamu pernah bilang begitu?”
“Ya. Aku pernah bilang begitu. Memangnya bagaimana ingatan orang itu tadi?”
“Dia sedih karena anak-anaknya sudah tidak lagi mengunjunginya,” ucap Lastri bingung. Mengapa harus sedih sementara dia sebal karena pemuda di belakangnya selalu datang mengganggu akhir pekannya.
“Beruntungnya ibu karena memiliki putra sepertiku,” kata Ragil. Dibalas Lastri dengan hela napas. Beruntung jidatnya peyang!
Tiba di ujung koridor, mereka melihat hamparan taman dengan danau buatan. Lastri menghirup udara segar dalam-dalam tapi rasa-rasanya, paru-paru di dadanya sudah mengkerut. Ia melihat kepada Ragil. Sesuatu, seperti rasa syukur, senang, entahlah, singgah di hatinya. Oksigen melimpah dari tempat ini pasti telah mencukupi kebutuhan otaknya sehingga sejenak ia dapat melupakan kekesalannya pada pemuda yang hidung dan matanya persis dengan miliknya.
“Ibu suka di sini?” Ragil memilih berhenti di bawah pohon.
Mengangkat telapak tangannya jauh lebih mudah bagi Lastri daripada menjawab pemuda itu dengan pelafalan.
Dari sini, dari bawah pohon beringin muda, Ragil melihat Runi di seberang danau berbincang dengan pria tentara berseragam dinas lapangan lengkap dengan topi hijau lorengnya. Dada tentara itu agak membusung seolah memperlihatkan seluruh atribut bordir yang menempel. Pembicaraan mereka pasti tidak jauh-jauh seputar lansia. Hal itu dapat mudah diketahui dari sikap mereka yang sama-sama asing: penjenguk yang jarang menjenguk bertanya kondisi orang tuanya pada perawat. Meski begitu sepintas mereka tampak serasi dari kejauhan. Si cantik yang mengenakan baju perawat dan si tampan yang memakai seragam tentara. Ada saat ketika si tampan bicara dengan gesture sok jago, dan ada saat ketika si cantik terlihat salah tingkah. Mereka pikir ini panggung teater romantis berlatar belakang perang militer?
Lihat, angsa jantan di tengah danau itu saja muak melihat mereka! Angsa itu berenang memutar, mengekori mereka. Tak sudi memperlihatkan paruhnya yang gagah, lehernya yang jenjang, serta bulunya yang putih memesona. Rasakan itu! Tai bisa saja keluar dari balik ekornya.