Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #12

Runi

DIA secantik malaikat itu sendiri, rupa maupun hatinya, bahkan harum tubuhnya bau wewangian surga. Sebenarnya bagaimana bau wangi surga? Mana kutahu, aku cuma menghayalkannya. Yang menciptakan konotasi itu sudah mati ribuan tahun lalu dan belum kembali ke bumi untuk menceritakan kebenaran surga dan neraka yang membuat seluruh dunia ribut dengan keyakinannya masing-masing. Jadi, biarkan aku menikmati sedikit percikan surga yang kurasa jatuh itu. 

Kakak laki-laki Runi penjudi akut, adik perempuannya suka bergaya hedon yang punya standar selebritis, sedangkan bapaknya hanya penjual kerupuk keliling, dan ibunya “tukang gali lubang, tutup lubang” memakai gaji bulanan Runi sebagai perawat di panti jompo. Mengetahui masalah keluarganya yang kompleks seketika membuatku kehilangan kejantanan. Runi sendiri, dia terlalu polos dan lembut untuk menolak membantu keluarganya. Dia pikir keluarga adalah tempat terbaik untuk menuang habis akal pikiran yang keliru ia sangka sebagai kebaikan. Jauh sebelum kejantananku terancam seperti ini, suaminya lebih dulu melarikan diri. Katanya, tak ada harapan bagi keluarga mereka. Untung, semua kebutuhan anak Runi mau ditanggung oleh mantan suaminya.

Aku berani bertaruh Runi akan lebih bahagia jika kubunuh semua anggota keluarganya yang menginfeksi hidupnya seperti parasit, kecuali pria kecil yang keluar dari rahimnya (tidak ada yang boleh memisahkan ibu dengan anaknya). Tapi, tetap saja aku bukan pembunuh sekalipun Sutejo pernah mengajariku teknik melayangkan sebuah kapak ke batok kepala manusia. Berapa lama aku terus membuang-buang waktuku? Dia, membuatku menunggu. Sedangkan aku, tidak tahu apa yang kutunggu. 

 “Jika surga di telapak kaki ibu, apa yang bisa kulakukan demi dapat mengintip surga di antara sandal dan telapak kakimu?” tanya Ragil kepada ibunya di sebuah perjumpaan. Mereka berdua duduk di ruangan dengan banyak jendela bertirai putih. Lansia lain terlihat juga bersama keluarganya. 

“Cukup kau pergi dari hadapanku sekarang?” Lastri menjawab, ketus dan jemu. Yang begini berarti kondisinya sedang tidak baik. Karena jika kondisinya baik, ia akan menjamu putranya dengan gelora rindu. 

“Ayo melihat danau, Bu!” Ragil belum ingin berpisah. Ia mendorong kursi roda ibunya menuju danau sembari berharap ia bisa bertemu Perawat Runi. 

Sepanjang rodanya menggilas lantai, Lastri hanya cemberut. Silir angin masuk dari ujung koridor. Mengisi jalur koridor dengan kesegaran bagai tabung kerongkongan yang dilewati es kelapa muda. Sesekali lewat perawat atau sesama lansia di koridor itu. Ada wanita tua yang kemudian Lastri sapa. Wanita tua itu balas menyapa Lastri.

“Ibu mengingatnya?” Ragil patut iri. Ibunya tidak lebih banyak ingat padanya. Paling banter ingatan ibunya berputar di masa lalu, masa saat ia masih muda dan menggoda. Memenangkan perhatian pria adalah kebanggaan tersendiri sebab ia tak punya hal lain yang patut dibanggakan. 

Lastri tak menjawab, hanya menjentikan ujung jarinya. 

“Apa yang Ibu ingat dari lansia tadi?” tanya Ragil sembari terus mendorong kursi roda ibunya menuju danau buatan. 

“Perawat Runi salah membacakan ingatan orang itu kepadaku.” Lastri menjawab kesal. Kesal sebab pemuda yang katanya putranya itu banyak bertanya dan ia jadi banyak menjawab. Sebenarnya Lastri hanya ingin lebih banyak diam karena semakin hari ia makin sulit mensinkronkan otak dan otot-otot di sekitar rahangnya. 

“Sudah kubilang, Bu, titipkan ingatanmu kepadaku saja.”

“Apa kamu pernah bilang begitu?”

“Ya. Aku pernah bilang begitu. Memangnya bagaimana ingatan orang tadi yang ibu ingat?”

“Dia sedih karena anak-anaknya sudah tidak lagi mengunjunginya,” ucap Lastri bingung. Mengapa harus sedih sementara dia sebal karena pemuda di belakangnya tak kunjung pulang.

“Ibu lebih beruntung darinya karena memiliki putra sepertiku,” kata Ragil. Dibalas Lastri dengan hela napas. Beruntung jidatnya peyang! 

Tiba di ujung koridor, mereka melihat hamparan taman dengan danau buatan. Lastri menghirup udara segar dalam-dalam tapi rasa-rasanya, paru-paru di dadanya sudah mengkerut, tak mampu mengembang lebih besar untuk diisi penuh oksigen. Ia melihat kepada Ragil. Sesuatu, seperti rasa syukur, senang, entahlah, singgah di hatinya. Meski tak benar-benar memenuhi seluruh rongga di paru-parunya, oksigen melimpah dari tempat ini pastilah l mencukupi kebutuhan otaknya sehingga sejenak ia dapat melupakan kekesalannya pada pemuda yang hidung dan matanya persis seperti miliknya. 

“Di sini teduh, Bu.” Ragil memilih berhenti di bawah pohon, tak begitu jauh dari dua pria tua yang tengah memancing. 

Lastri mengangkat telapak tangannya. Demikian jauh lebih mudah daripada menjawab setuju dengan pelafalan. 

Dari sini, dari bawah pohon beringin muda, Ragil melihat Runi di seberang danau berbincang dengan pria tentara berseragam dinas lengkap memakai topi hijau loreng. Dada tentara itu agak membusung seolah memperlihatkan seluruh atribut bordir yang menempel pada seragamnya. Pembicaraan mereka pasti tidak jauh-jauh seputar lansia. Hal itu dapat mudah diketahui dari sikap mereka yang sama-sama asing: penjenguk yang jarang menjenguk bertanya kondisi orang tuanya pada perawat. Meski begitu sepintas mereka tampak serasi dari kejauhan. Si cantik yang mengenakan baju perawat dan si gagah yang memakai seragam tentara. Ada saat ketika si gagah bicara dengan gesture sok jago, disambut si cantik yang terlihat salah tingkah. Mereka pikir ini panggung teater romantis berlatar belakang perang militer? Cih …. 

Lihat, angsa jantan di tengah danau itu yang muak melihat mereka! Angsa itu berpaling mengekori mereka. Tak sudi memperlihatkan paruhnya yang menawan, lehernya yang jenjang, serta bulunya yang putih memesona. Rasakan itu! Tai bisa saja keluar dari balik ekornya. 

Lihat selengkapnya