“BERHATI-HATILAH pada napi satu ini. Kemarin adikmu adalah korban dari kebengisan pria itu,” bisik Pengacara di dekat telinga pakde Maria selepas keduanya kembali dari sidang peninjauan kembali: sebuah upaya hukum yang diajukan pakde Maria dengan menyertakan bukti-bukti baru yang barangkali bisa untuk mengurangi hukuman. Sesaat sebelum pakde Maria dihadang dua sipir penjaga, si Pengacara buru-buru menunjukan potret Sutejo dari galeri ponselnya.
“Berapa masa hukumannya di sini?” tanya pakde Maria menamati foto yang ditunjukan pengacaranya. Pakde Maria pernah sebentar mengurusi kematian Sugik, adiknya. Nama Sutejo ini masuk dalam daftar tersangka pembunuh Sugik di penjara. Tentu sebagai kakak, ia bergantian dengan bude Maria mengurusi masalah tersebut sebelum akhirnya Kapak Tumpul juga membongkar kejahatannya melalui aksi bakar patung beberapa hari yang lalu sampai kemudian ia harus mengeluarkan banyak uang serta energi untuk lolos dari jerat hukum, meski tetap saja alat bukti yang Kapak Tumpul sisipkan di bawah kaki kedua patung terlalu kuat dan mengikat terlebih kini perhatian publik mengarah padanya akibat pembakaran patung Sondang dan patung Sebastian makin viral di media sosial. Uang dan energi sia-sia menganulir semua tuduhan terhadapnya.
“Seumur hidup! Sutejo menguasai tempat ini seumur hidup. Berhati-hatilah padanya! Tetap tenang. Cepat lambat Anda akan dibebaskan lebih awal karena berkelakuan baik,” kata Pengacara dengan suara hampir berteriak karena pakde Maria mulai dihalau masuk oleh dua sipir ke dalam lorong yang mengarah ke blok hunian para napi. Tidak tahu mengapa si Pengacara digerayangi kekhawatiran ketika melihat pakde Maria perlahan lenyap dalam lorong.
Di ujung lorong telah berdiri beberapa napi berbadan besar. Semua tubuh mereka nyaris diselimuti tato. Mereka terus mengawasi dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Tiga hari sudah mereka begitu. Kata sipir penjaga, mereka akan terus begitu kepada napi baru selama setidaknya sampai napi-napi baru bertemu dengan sesorang yang bernama Sutejo. Katanya sudah seminggu Sutejo menyendiri di kamar selnya karena sedang berpuasa. Dan biasanya tak lebih dari seminggu ia akan segera keluar.
Pakde Maria tak gentar dengan tatapan-tatapan tajam napi lain kepadanya selama dua sipir mengantarnya sampai sel. Dua sipir ini pasti telah menikmati hasil pembayaran uang yang pakde Maria berikan kepada Kepala Lapas. Nilai uang yang ia bayarkan tidak main-main. Sebab, jumlah itu termasuk pembelian kamar sel mewah, iuran bulanan selama setahun, dan biaya keamanan supereksklusif yang ditawarkan Kepala Lapas kepadanya.
Pakde Maria terlihat tidak ada cemas-cemasnya, tak ada sedih-sedihnya, tak ada sesal-sesalnya. Hari ini dia sudah dijanjikan mulai menempati sel mewah, meninggalkan sel lembab dan bau pesing yang kemarin. Katanya, di sel mewahnya nanti ada kulkas, sofa panjang yang nyaman, televisi, wifi, AC, kasur empuk, dan kamar mandi dalam. Semua penjahat kaya raya, paling banyak di antaranya adalah koruptor, membayar untuk semua itu. Tidak pernah rugi menjadi koruptor di negeri ini. Sungguh.
Tiba di pertigaan koridor tampak beberapa napi berjalan mendekat seperti sekawanan serigala. Dua sipir penjaga tiba-tiba menghimpit pakde Maria, memaksa pakde Maria mengikuti formasi berjalan mereka yang mendadak jadi aneh. Kedua sipir penjaga itu berjalan menyamping ke pinggir, menghimpitnya, bak kepiting dungu. Para napi di seberang mereka lewat begitu saja seakan dua sipir dungu ini memang sudah seharusnya memberikan mereka jalan yang lebar.
Pakde Maria yang bingung lalu celingukan. Dua sipir penjaga masih terus mempertahan formasi berjalan mereka sampai seorang napi yang jalan paling belakang selesai melewati mereka. Sebagaimana kawanan serigala berjalan, napi yang berjalan paling belakang adalah serigala alpha atau serigala pemimpin. Tatapan matanya kepada pakde Maria luar biasa menggetarkan. Napi itu membawa seikat bunga bakung warna putih. Sepertinya ia baru saja makan siang. Sederet gigi bawahnya terlihat memakai gigi palsu saat berusaha mengeluarkan sisa makanan dari sela pipi. Gigi palsunya berwarna silver mengkilap. Itulah yang menonjol dari wajah garangnya.
Sesudah gerombolan napi itu lewat, dua sipir berjalan seperti biasa. Pada saat itu barulah pakde Maria ingat siapa pria yang melewatinya. Sutejo. Sedikit berbeda dengan foto yang pengacaranya tunjukkan tadi. Deretan gigi silver Sutejo membuat penampilannya yang asli terlihat lebih sangar. Jadi dia yang bernama Sutejo, penguasa tempat ini, yang mungkin adalah pembunuh Sugik. Andaikan Sutejo tak memperlihatkan deretan gigi silver, dia tak ubahnya terlihat seperti penjahat tua biasa tanpa banyak tato di sana-sini. Kulitnya memang sudah keriput tapi dibalik itu, otot-otot tubuhnya bertahan dengan baik.
Sel mewah yang dijanjikan Kepala Lapas sungguh tersedia. Pakde Maria masuk, tersenyum puas sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Walau tidak seluas kamar tidur di rumahnya, tapi perabotan dan barang-barang di tempat ini terlihat baru. Catnya saja tercium seperti baru kering kemarin sore.
“Berapa unit kalian punya sel mewah?” tanya pakde Maria pada satu sipir yang mengantarnya masuk.
“Hanya ini,” jawab satu di antaranya. Kedua sipir terlihat tidak tenang. Satu berjaga di luar pintu dengan tampang waspada, satu bolak-balik melihat ke rekannya yang berjaga.
“Sungguh?” Pakde Maria tak percaya. Pengacaranya bilang hampir semua lapas punya beberapa unit sel mewah berharga fantastis untuk penjahat-penjahat kaya yang sanggup membayar. Asalkan kau kaya, di dunia ini tidak ada yang seperti neraka.
“Cepatlah!” seru sipir di luar pintu.
“Dengar baik-baik!” sipir yang berada di dalam menginterupsi keheranan pakde Maria, “sebenarnya lapas ini tidak menyediakan sel semacam ini. Keselamatanmu kini hanya ada di tangan para sipir. Kami akan mengunci kamarmu. Kau kami beri akses kunci dari dalam. Tapi ingat! Jangan membuka pintu kamarmu selain untuk kami. Napi yang iri sangat mungkin mengancam nyawamu seperti yang terjadi pada adikmu.”
Pakde Maria serta merta terkejut. “Apa? Jelaskan maksudnya? Kenapa dan siapa yang membunuh Sugik?”
“Sudahlah. Lain kali kau akan mendapatkan penjelasan.” Sipir penjaga keburu keluar dan mengunci pintu sel dari luar.
Tak lama setelah dua sipir itu pergi, datang Sutejo bersama segerombolan napi. Sutejo mengetuk pintu sel pakde Maria. Pintu itu terbuat dari baja dengan jendela kecil persegi di bagian atas. Sebatang bunga bakung diperlihatkan di kaca pintu sebagai bentuk keramahtamahan seorang tamu. Pakde Maria mendekati pintu. Para napi di luar ingin pakde Maria membukakan pintu sel miliknya untuk mereka. Namun, pakde Maria memilih menuruti nasehat dua sipir penjaga tadi. Merasa ditolak, satu hamba Sutejo kemudian menghantam pintu dengan tinju. Ia menjadi kesal dan tampaknya dia adalah serigala terbodoh dalam kawanan Sutejo.
Pagi hari semua pintu sel dibuka. Para napi, berkumpul di lapangan untuk menghabiskan waktu olahraga meskipun hanya beberapa di antara mereka yang rutin berolahraga, sisanya berjemur. Sutejo dan gerombolannya melatih otot mereka di bawah sinar matahari. Lelah olahraga, Sutejo mengambil botol minumnya di pojok lapangan. Dia melihat seorang sipir sedang menghitung uang ratusan ribu tepat di muka narapidana muda berumur sekitar dua puluh lima tahunan. Napi muda tersebut baru masuk sekitar sebulan yang lalu. Sudah salim dengan Sutejo. Tinggal napi baru kemarin yang belum. Pada hitungan ke sepuluh, si Sipir mengambil tiga lembar uang ratusan ribu sebelum dikembalikan pada napi muda. Napi Muda menghitung kembali uangnya. Tiga ratus ribu lenyap darinya, tinggal tujuh ratus ribu rupiah. Uang ini merupakan pemberian rutin dari keluarganya yang dititipkan kepada sipir yang berjaga. Tak peduli pada raut nelangsa si napi muda, sipir itu pergi begitu saja membawa uang tiga ratus ribu.