Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #13

Dark Number

“Berhati-hatilah pada napi satu ini. Kemarin adikmu adalah korban dari pria itu,” bisik Pengacara di dekat telinga pakde Maria selepas keduanya kembali dari sidang peninjauan kembali: sebuah upaya hukum yang diajukan pakde Maria dengan menyertakan bukti-bukti baru yang barangkali bisa untuk mengurangi hukuman. Sesaat sebelum pakde Maria dihadang dua sipir penjaga, si Pengacara buru-buru menunjukan potret Sutejo dari galeri ponselnya. 

“Berapa masa hukumannya di sini?” tanya pakde Maria. Dia pernah sebentar mengurusi kematian Sugik, adiknya. Nama Sutejo ini masuk dalam daftar tersangka pembunuh adiknya di penjara. Tentu ia mengurusi itu sebelum Kapak Tumpul membongkar kejahatannya sampai ia harus mengeluarkan banyak uang serta energinya untuk lolos dari jerat hukum, meski tetap saja alat bukti yang Kapak Tumpul berikan pada polisi terlalu kuat dan mengikat. Uang dan energinya sia-sia menyelamatkannya. 

“Seumur hidup! Dia menguasai tempat ini seumur hidup. Hati-hati!” kata Pengacara dengan suara hampir berteriak karena pakde Maria mulai dihalau masuk oleh dua sipir. Pakde Maria dan dua sipir masuk ke dalam lorong yang mengarah ke blok hunian para napi. Tidak tahu mengapa si Pengacara digerayangi kekhawatiran melihat pakde Maria perlahan lenyap dalam lorong itu. 

Di ujung lorong telah berdiri beberapa napi berbadan besar. Semua tubuh mereka nyaris diselimuti tato. Mereka tak hanya mengawasi tapi juga mengikuti pergerakan pakde Maria. Pakde Maria tak gentar selama dua sipir mengantarnya sampai sel. Dua sipir di sampingnya pasti telah menikmati hasil pembayaran uang yang pakde Maria berikan kepada kepala lapas. Nilai uang yang ia bayarkan tidak main-main. Sebab, jumlah itu termasuk pembelian kamar sel mewah, iuran bulanan selama setahun, dan biaya keamanan tambahan. 

Pakde Maria terlihat tidak ada cemas-cemasnya, tak ada sedih-sedihnya, tak ada sesal-sesalnya. Hari ini dia sudah dijanjikan mulai menempati sel mewahnya, meninggalkan sel lembab dan bau pesing yang kemarin. Katanya, di sel mewahnya nanti ada kulkas, sofa panjang yang nyaman, televisi, wifi, AC, kasur empuk, dan kamar mandi dalam. Semua penjahat kaya raya, paling banyak diantaranya koruptor, membayar untuk semua itu. 

Tiba di pertigaan koridor beberapa napi berjalan seperti sekawanan serigala. Dua sipir penjaga tiba-tiba menghimpit pakde Maria, memaksa pakde Maria mengikuti formasi berjalan mereka yang mendadak jadi aneh. Kedua sipir penjaga itu berjalan menyamping ke pinggir bak kepiting dungu. Para napi di hadapan mereka lewat begitu saja seakan dua sipir dungu ini memang sudah seharusnya memberikan mereka jalan yang lebar.

Pakde Maria yang bingung lalu celingukan. Dua sipir penjaga masih terus mempertahan formasi berjalan mereka sampai seorang napi yang jalan paling belakang selesai melewati mereka. Sebagaimana kawanan serigala berjalan, napi yang berjalan paling belakang adalah serigala alpha atau serigala pemimpin. Tatapan matanya kepada pakde Maria luar biasa menggetarkan. Napi itu membawa seikat bunga lili warna putih. Sepertinya ia baru saja makan siang. Sederet gigi bawahnya terlihat memakai gigi palsu saat berusaha mengeluarkan sisa makanan dari sela pipinya. Gigi palsunya berwarna silver mengkilap. Itulah yang menonjol dari wajah garangnya. 

Sesudah gerombolan napi itu lewat, dua sipir berjalan seperti biasa. Pada saat itu barulah pakde Maria sadar siapa pria yang melewatinya. Sutejo. Jadi dia yang bernama Sutejo, penguasa tempat ini, yang mungkin adalah pembunuh Sugik. Andaikan Sutejo tak memperlihatkan deretan gigi silver yang membuat wajahnya makin sangar dan menatapnya, dia tak ubahnya terlihat seperti penjahat tua biasa tanpa banyak tato di sana-sini. Kulitnya memang sudah keriput tapi dibalik itu, otot-otot tubuhnya bertahan dengan baik.

Sel mewah yang dijanjikan kepala lapas sungguh tersedia. Pakde Maria masuk, tersenyum puas sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Walau tidak seluas kamar tidur di rumahnya, tapi perabotan dan barang-barang di tempat ini terlihat baru. Catnya saja tercium seperti baru kering kemarin sore. 

“Berapa unit kalian punya sel mewah?” tanya pakde Maria pada dua sipir yang mengantarnya. 

“Hanya ini,” jawab satu di antaranya. Kedua sipir terlihat tidak tenang. Satu berjaga di luar pintu dengan tampang waspada, satu bolak-balik melihat ke rekannya yang berjaga. 

“Sungguh?” Pakde Maria tak percaya. Pengacaranya bilang hampir semua lapas punya beberapa unit sel mewah berharga fantastis untuk penjahat-penjahat kaya yang sanggup membayar. Asalkan kau kaya, di dunia ini tidak ada yang seperti neraka. 

“Cepatlah!” seru sipir di luar pintu. 

“Dengar baik-baik!” sipir yang berada di dalam menginterupsi keheranan pakde Maria, “sebenarnya lapas ini tidak menyediakan sel semacam ini. Keselamatanmu kini hanya ada di tangan para sipir. Kami akan mengunci kamarmu. Kau kami beri akses kunci dari dalam. Tapi ingat! Jangan membuka pintu kamarmu selain untuk kami. Napi yang iri sangat mungkin mengancam nyawamu seperti yang terjadi pada adikmu.”

Pakde Maria serta merta terkejut. “Apa? Jelaskan apa yang terjadi pada Sugik, kenapa dan siapa yang membunuh Sugik?” 

“Sudahlah. Lain kali kau akan mendapatkan penjelasan.” Sipir penjaga keburu keluar dan mengunci pintu sel dari luar.

Tak lama setelah dua sipir itu pergi, datang Sutejo bersama segerombolan napi. Sutejo mengetuk kaca pintu sel pakde Maria. Seikat bunga lili ia perlihatkan sebagai bentuk keramahtamahan seorang tamu. Pakde Maria mendekati pintu. Para napi di luar ingin pakde Maria membukakan pintu sel miliknya untuk mereka. Namun, pakde Maria memilih menuruti nasehat dua sipir penjaga tadi. Satu hamba Sutejo kemudian menghantam kaca pintu dengan tinju. Ia menjadi kesal dan tampaknya dia adalah serigala terbodoh dalam kawanan Sutejo.

Pagi hari semua pintu sel dibuka. Para napi, berkumpul di lapangan untuk menghabiskan waktu olahraga meskipun hanya beberapa di antara mereka yang rutin berolahraga. Sutejo dan gerombolannya melatih otot mereka di bawah sinar matahari. Lelah olahraga, Sutejo mengambil botol minumnya di pojok lapangan. Dia melihat seorang sipir sedang menghitung uang ratusan ribu tepat di muka narapidana muda berumur sekitar usia putra Sutejo. Pada hitungan ke sepuluh dikurangi tiga, uang ratusan ribu itu kemudian sipir berikan pada napi muda. Napi muda menghitung kembali uangnya. Tiga ratus ribu lenyap darinya, tinggal tujuh ratus ribu rupiah. Uang ini pemberian rutin dari keluarganya yang dititipkan kepada si sipir. Sipir itu pergi meninggalkan napi muda yang nelangsa. 

Lihat selengkapnya