Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #14

Sutejo

Haloha ditemani Kapolres Imam Budialim menemui sang penjahat keji yang dipidana seumur hidup karena telah membunuh puluhan orang, sepuluh di antaranya para tauke dan pejabat-pejabat besar. Dunia kriminal mencatat nama besarnya sebagai pembunuh paling sadis dalam sejarah Indonesia. Sangking terkenalnya Sutejo, polisi-polisi merasa hebat jika berkesempatan berurusan dengannya secara langsung.

“Pak Aris Sutejo.” Haloha menatap pria tua yang kini duduk bersila di hadapannya.

Sutejo balas menatap Haloha. Tidak galak, seperti pria tua berkarisma pada umumnya: terdapat garis wibawa di wajahnya, meski samar. Sutejo sudah terbiasa didatangi beberapa orang polisi di dalam selnya. Satu ini belum pernah menemuinya. Tapi satu yang di sana, pria kurus tua, dulu pernah berkali-kali mengurusi kasusnya. 

“Kenapa penjahat seperti dia tidak dipenjara di Nusakambangan?” bisik Haloha kepada Kapolres Imam Budialim setelah ia mengitari sel Sutejo. Selnya rapi dan bersih. Yang begini justru membuat Haloha merinding. Sutejo tinggal di sel dengan 12 napi lainnya. Keduabelas napi diminta keluar ketika Haloha dan Kapolres Imam Budialim masuk. 

“Kudengar-dengar dia dekat dengan kepala lapas yang dulu,” ujar Kapolres Imam Budialim dengan berbisik pula. 

Usai mengibaskan rasa bergidiknya, Haloha berbalik kembali menghadap Sutejo seraya mengamati isi lapas. Semua kasur lipat digulung. Sajadah, selimut, dan bantal diletakkan di atasnya. Kotak-kotak organizer ditumpuk dekat gulungan kasur sesuai area tidur pemiliknya. Haloha membuka kotak milik salah satu narapidana. Dia melihat Al-quran di dalamnya. Sekali lagi Haloha mencoba membuka kotak milik narapidana lain, ada Alkibab dan rosario. Napi-napi di sini rupanya masih mengingat Tuhan mereka. Haloha berganti mengendus gulungan kasur, menghamparkannya kemudian merabai permukaannya. Itu kasur busa yang sudah mengempis. Sepertinya tidak ada lagi tempat untuk menyimpan barang bukti pembunuhan atau narkoba selain di antara semua itu. 

“Kau harus menggulungnya kembali,” ujar Sutejo. 

“Tentu saja, Pak.” Haloha menata kasur seperti semula. 

“Apa hal yang membuatmu ingin menemuiku?” tanya Sutejo menepuk lantai, mempersilahkan Haloha duduk. 

Haloha memutuskan ikut duduk bersila, sedangkan Kapolres Imam Budialim tidak. Kapolres Imam Budialim memilih berdiri di dekat pintu sel yang terbuka.

“Sudah dua orang tewas di sel yang sama. Mereka kakak-adik. Apa yang terjadi terhadap mereka adalah pembunuhan. Kau … aku ingin mendengar pendapatmu tentang kematian mereka.” Haloha melihat ke kotak organizer milik Sutejo. Di atasnya terdapat seikat bunga lili segar dalam botol bekas minuman. Tampak Sutejo rajin mengganti bunga lilinya. 

Sutejo tersenyum. Dua kakak-adik mati di sel yang sama, hanya berbeda waktu. Sugik diberitakan mati dikeroyok, tapi sesungguhnya Sugik tidak dikeroyok. Itu perkelahian antar kecoak dengan jawara yang berakhir mengenaskan bagi kecoak. 

Lihat selengkapnya