Dewan federasi memanggilmu. Mereka memintamu menjelaskan masalah prestasimu yang terus menurun. Di tengah acara pemakaman pakde Maria yang digenangi belasungkawa kemarin, Sheila dengan tanpa keragu-raguan membisikan kalimat itu di samping telinga Maria saat mereka sedang khusyuk berdoa. Oh, Sheila. Dia bergentayangan seperti arwah penasaran.
Ritual pemakaman pakde Maria diurus oleh budenya. Keluarga pakdenya, dari istri sampai anak-anaknya dan para menantu, tak satu pun dapat diandalkan. Mereka sibuk dengan pengacara keluarga masing-masing demi hak waris. Maria mengamati kebingungan mereka ketika acara berlangsung. Memalukan. Para tamu memilih mengungkapkan dukacita mereka pada Maria dan budenya. Banyak orang-orang penting hadir. Semua yang dulu datang ke pemakaman papanya datang pula ke pemakaman pakdenya. Termasuk Ragil bersama ibunya.
Lalu esok hari, Maria yang berniat memenuhi panggilan dewan Federasi Panahan Berkuda keluar dari kamarnya dan berhenti di ruang tamu. Ia mendapati budenya mondar mandir sambil menggigit kuku-kukunya yang dua hari telat dipotong. Semenjak pakdenya dipenjara, budenya tidak mau berangkat bekerja. Budenya selalu tampak gelisah setiap hari dengan visa dan sekoper pakaian yang telah siap di sisinya. Anak-anaknya tidak ada yang peduli dengan kegelisahannya. Hanya Maria yang sekali waktu bertanya sambil membuatkan teh hijau untuk budenya itu. Budenya sama saja dengan papanya: memilih tidak cerita. Tapi Maria sudah tahu dari mendengar percakapan budenya saat bicara dengan seseorang di telepon. Sepertinya orang di seberang telepon itu Pak Gumam, sekertaris budenya.
Tak lama ketika Maria berhenti dan berdiri memandang kasihan ke arah budenya, pembantu rumah mempersilakan masuk seseorang dari teras rumah. Pria itu masuk, menginjakkan sepatu kulitnya ke lantai granit. Maria mengenalnya. Dia Pak Gumam. Bude Maria langsung menyambar kedatangan Pak Gumam seolah-olah sudah lama menunggu.
“Siapa dia? Apa informasi yang kau dapat tentangnya? Apa Pria Tambun yang mempekerjakannya?” tanya bude Maria tak sabaran.
Pak Gumam menahan jawabannya begitu melihat Maria di sekitar mereka. Informasi ini tak boleh didengar sembarang orang, demikian sikapnya menunjukkan. Maria tersenyum menyapa. Pak Gumam balas tersenyum.
“Bagaimana kabar Om?” sapa Maria. Tak perlu ingin tahu informasi apa yang dinantikan budenya dari Pak Gumam, Maria sudah mengetahui banyak hal. Termasuk Kapak Tumpul yang ternyata adalah Ragil. Mengenai Pria Tambun yang sempat budenya sebut, Maria mengetahui bahwa budenya dan Pria Tambun sebatas saingan bisnis; kelihatannya Maria mencium bau peperangan. Pria Tambun yang Maria tahu adalah ayah Wilsoni, punya bisnis media, sama seperti bude Maria. Hanya saja ayah Wilsoni itu tak terjun dalam politik. Sejauh media memberitakan tentang sosoknya, Pria Tambun jauh dari prasangka hukum. Entah kebal, entah memang dia bersih. Dan lagi, ayah Wilsoni sangat menyayangi Wilsoni karena teman clubbing-nya itu anak tunggal, harapan keluarga.
“Aku sangat sehat, Maria. Bagaimana dengan kegiatan memanahmu?” Pak Gumam meluangkan waktunya berbasa-basi dengan Maria.
“Kau sangat berarti bagi perusahaan, Om. Semoga kau selalu sehat.” Maria tersenyum. Dia tak menggubris pertanyaan Pak Gumam.
“Terima kasih, Maria. Kau mau pergi ke mana?” tanya Pak Gumam mendapat pelototan tajam dari Bude Maria agar menyudahi basa-basi dengan Maria.
“Aku mau menemui pelatihku.”
Bude Maria menginterupsi, “lekas pergilah, Maria. Jangan terus-terusan bolos latihan. Mau jadi apa kamu setelah papamu tidak ada? Ingat, bude juga bisa pergi sewaktu-waktu!” Bude Maria mengomel. Beberapa hari yang lalu Sheila yang merasa putus asa pada nasib atletnya mengadukan Maria.
Sheila berharap bude Maria dapat memberi nasihat dan mengarahkan jalan hidup atletnya kembali sedia kala. Namun, bude Maria yang banyak pikiran tak ada waktu mengurusi prestasi keponakan tercinta. Bude Maria sendiri kalang kabut menutupi bisul-bisul bernanah dalam perusahaan. Sudah ingin kabur saja wanita tua itu ke luar negeri. Padahal belum tentu juga Kapak Tumpul menargetkannya.
***
Maria dengan didampingi Sheila memasuki ruangan pengurus. Mereka bertemu dengan para anggota dewan. Satu jam lebih pertemuan itu menghasilkan kesepakatan menarik bagi Maria. Seharusnya begitu, karena Dewan setuju memperjuangan Bubu pulang asalkan Maria bersungguh-sungguh memenangkan kompetisi selanjutnya dan seterusnya. Maria meleleh mendengarnya. Betapa ia rindu pada Bubu, kuda kesayangannya. Juga betapa federasi sangat menyayangi atlet-atlet mereka.
“Aku senang hari ini.” Sheila menghempaskan dua lengan tangannya ke depan dan ke belakang setelah mereka keluar dari ruangan pengurus. Dia hampir melompat-lompat kegirangan seperti pegawai yang diperbolehkan merangkap cuti tahunan menjadi dua minggu penuh. Senang sekali.
“Sama.” Maria merespon biasa.
“Tanggal 5 di bulan depan, kau diikutkan lomba internasional. Kau dilarang keras clubbing selama latihan hingga menjelang perlombaan. Aku begitu bersemangat, Maria! Kita mulai latihan sore ini atau besok pagi?” Sheila melihat jadwal.
“Minggu depan,” kata Maria dengan entengnya tanpa peduli perasaan Sheila.
Dua alis tebal Sheila langsung menyatu. Ia memukul lengan tangan Maria. Seketika Maria membungkuk, mengerang kesakitan.
“Apa sakit? Apa aku terlalu keras? Maafkan aku, Maria. Kau sih menyebalkan. Lagian kapan terakhir kau berolahraga? Lenganmu penuh lemak dan lembek.” Sheila merasa bersalah tapi dia tidak bisa tidak mengomel. Padahal pukulannya tidak bertenaga. Ia berharap Maria bercanda, tapi Maria terus mengerang, memegangi perutnya.
“Perutku sakit.”
“Kenapa? Ada apa? Kau telat makan? Kau datang bulan? Maria, mau kubawa ke dokter?” Sheila cemas.
Maria menggeleng. “Aku lapar,” rintihnya, membuat Sheila bingung.
Apa Maria bercanda atau dia berusaha bercanda? Cengkraman tangannya pada Sheila begitu kuat. Maria terlihat benar-benar kesakitan.
“Anjrit! Kalau gitu ayo makan!”
“Tidak. Antar aku ke satu tempat. Aku ingin makan masakan seseorang.”
“Ragil?” terka Sheila. Semenjak atletnya dekat dengan Ragil, beginilah atletnya sekarang.
“Humb.”