Hubungan mereka hanya berlandaskan kepercayaan. Percaya tak saling mencari tahu satu sama lain. Percaya tak saling menelanjangi satu sama lain. Percaya tak saling menikam satu sama lain. Meski pada akhirnya mereka saling mengingkari. Pria Tambun yang Ragil juluki “Pak Budiman” lebih dulu melanggar aturan tak tertulis dan tak terucap di antara mereka berdua. Kini mereka sama-sama tahu identitas satu sama lain walaupun Pria Tambun belum mengetahui kalau pemuda yang dia intai ternyata menyadari pengkhianatannya.
Kebiasaan Pria Tambun sebelum mengirim uang apresiasi untuk Ragil, yang kali ini menyangkut keberhasilan penangkapan pakde Maria, Pria Tambun selalu menelpon Ragil terlebih dahulu. Mereka terhubung melalui panggilan suara. Ragil memakai ponsel khusus setiap berkomunikasi dengan Budiman. Ponsel itu dirakit oleh Tagumpay dan diselundupkan langsung dari Filipina. Begitu pula Budiman alias Pria Tambun. Dia bukan orang tolol yang tidak melakukan hal semacam itu. Pria Tambun memakai ponsel lawas yang biasanya digunakan para bandar narkoba.
“Kerja bagus. Pembakaran patung Sondang dan patung Sebastian membuat semangat nasionalisme masyarakat meningkat. Walikota sampai meminta patung-patung itu tetap di tempatnya sebagai tugu peringatan,” kata Pria Tambun di seberang telepon.
“Aku bahkan tidak yakin patung-patung itu bertahan melewati dua musim,” kata Ragil sangsi mengingat bagaimana ia bermain-main dalam proses pembuatannya.
Patung-patung itu terbuat dari tanah liat yang dikeruknya dari belakang rumah. Ragil lalu membentuk tanah liat itu mengikuti kerangka kawat yang menyerupai postur tubuh manusia. Ia membutsir dengan keterampilan apa adanya. Bagian wajah sengaja Ragil bikin polos karena itu bagian tersulit. Dia tidak mampu menyempurnakan patung itu hingga menjadi semirip wajah Sondang dan wajah Sebastian karena dia bukan seorang seniman. Dua patung sebesar manusia yang bergaya membawa papan gipsum di atas kepala kemudian dikeringkan secara sembunyi-sembunyi selama beberapa hari sebelum Ragil membayar orang untuk membakarnya di titik di mana Sondang dan Sebastian pernah bakar diri. Begitulah patung itu tanpa sentuhan akhir: gosong.
“Katanya, Walikota menyuruh Seniman dari Jogja untuk melapisi patung-patung itu dengan cat.” Pria Tambun berkata.
“Katanya?” timpal Ragil dengan nada setengah mengejek. Mengejek kenapa mereka tidak mengganti patung itu dengan yang lebih indah dan kokoh.
“Ada namamu di sana,” ujar Pria Tambun.
Jantung Ragil sempat berdegup keras mendengar ucapan Pria Tambun yang bernada seolah tahu siapa namanya. Ia bukan lupa bahwa Pria Tambun tahu dirinya. Bukan. Ia hanya lupa pernah meninggalkan tulisan “Kapak Tumpul” di papan gipsum patung-patung itu. Ragil lebih takut jika seandainya dia tak sengaja membuat banyak orang tahu sosok Kapak Tumpul yang sebenarnya. Sentakan adrenalin barusan memicu otaknya menelurkan pertanyaan tentang sampai mana Pria Tambun tahu tentang Kapak Tumpul.
“Tapi, wahai pemuda, apa kau terlibat dalam pembunuhan Sugik dan Menteri yang itu di penjara? Dua-duanya adalah kakak dan adik,” tanya Pria Tambun. Tuduhannya sama saja dengan para polisi kepada Ragil.
Tapi justru pertanyaan Pria Tambun melegakan buat Ragil karena berarti, Pria Tambun masih belum tahu bahwasanya Kapak Tumpul diperankan oleh dua pria beda kewarganegaraan. Ragil bertanya balik, “apa aku terlihat mampu melakukannya?” Dia baru memarkir mobil sedan merah bobroknya di parkiran panti jompo. Berjalan memasuki bangunan panti, Ragil menyapa seorang satpam dengan isyarat menundukkan kepala.
“Mana kutahu, Nak,” jawab Pria Tambun.
Ragil mendengus. Suara nafasnya terdengar bergemuruh di telepon. “Tentu kau tahu. Kau memasang kamera di ruang kerjaku,” ujar Ragil seperti melempar anak panah tepat mengenai titik tengah papan dart. 50 point untuk Ragil yang tak kenal basa-basi.
“Hm ….” Orang yang sudah tua selalu bisa mengelola keterkejutan mereka dengan cara yang elegan. Pria Tambun tak menunjukkan gelagat canggung sama sekali setelah mengetahui pemuda di ujung telepon menyadari aksi sembunyi-sembunyinya. “Benar, aku menyuruh polisi mencari tahu tentangmu. Bapakmu dipenjara. Ibumu di panti jompo. Kau bekerja sebagai pegawai rekam medis di rumah sakit,” lanjut Pria Tambun.
“Untuk apa mengkhianatiku? Kau berencana membalaskan dendam putramu?” bisik Ragil sambil mengisi buku kunjungan di meja resepsionis.
Tidak ada jawaban langsung dari Pria Tambun.
“Aku bertemu putramu beberapa minggu yang lalu di klub. Cara dia memandangku, cara dia tersenyum padaku, dia ingat siapa orang yang memvideokan wajahnya di internet. Nasehati dia, lebih baik menyerahkan diri ke polisi daripada terus bersembunyi!”
“Bagaimana aku akan menasehatinya? Semenjak putraku viral di internet karenamu, dia tidak lagi pulang dan aku tidak lagi melihatnya.”
“Sebab dia tidak percaya pada ayahnya yang berteman dengan polisi,” cibir Ragil. Kelak cibiran itu mendorong Pria Tambun bercita-cita menjadi sosok ayah yang bisa diandalkan oleh sang anak. Sayang sekali Ragil telah mengatakannya.
“Sampai mana kita sekarang?” tanya Pria Tambun. Hubungan mereka tidak lagi menyenangkan.
“Sampai sini.” Ragil tidak peduli pada uang apresiasi. Jumlahnya memang banyak, tapi perasaan menang melawan ketidakadilan untuk menghukum penjahat tidak bisa diukur dengan rupiah, dolar, maupun mata uang negara mana pun. Telepon dimatikan. SIM card dibuang di tong sampah di bawah kakinya. Ragil selesai menyingkirkan musuh dalam selimut.
Resepsionis bilang, ibu Ragil baru saja menerima tamu dari beberapa orang. Sekarang mereka berada di ruangan bertirai putih. Siapa saja? Resepsionis tahu dari Perawat Runi bahwa satu di antara orang-orang yang datang adalah keponakan Ibu Lastri. Maria? Ya, itu atlet yang sempat viral karena bapaknya ternyata koruptor.
Ragil berjalan cepat menuju ruangan dengan banyak jendela dan tirai warna putih. Tempat itu serupa aula yang dialihfungsikan menjadi ruang kunjungan. Sofa-sofa berderet, membentuk kubu-kubu yang biasanya diisi satu keluarga untuk setiap kubu kursi. Pada jendela sisi barat aula tersebut, pemandangan danau buatan bagaikan lukisan alam menyegarkan.
Empat orang terlihat mencoba bicara dengan ibu Ragil didampingi Perawat Runi. Ketika Ragil mendekat, semua orang berganti menoleh. Wajah Maria berseri ketika Ragil muncul. Namun, tatapan Ragil hanya sebentar memandang Maria. Lalu memandang ibunya, lalu memandang budenya, lalu memandang dua pria yang tidak dikenalnya, dan terakhir memandang Runi cukup lama dan sendu. Kemarin Ragil mendapat tamparan keras dari perawat itu. Perihnya sampai hari ini.
Runi yang berusaha tak berkontak mata dengan Ragil memutuskan pamit. Ia rasa meninggalkan Ibu Lastri setelah Ragil datang tidak masalah. “Kalau begitu, saya tinggal dulu.” Runi menatap wajah para tamu sekilas sebelum meninggalkan ruangan. Namun, setiap kali Runi melihat Maria yang berpenampilan percaya diri, Runi selalu merasa kerdil. Lekuk tubuh Maria sangat indah, wajar karena belum pernah mengandung dan melahirkan. Wangi parfum mahal menguar lembut di sekeliling tubuh atlet panahan berkuda itu. Belum lagi kulit Maria yang bening berkilauan seperti perhiasan yang dikenakan wanita tua di sampingnya. Tidak mengherankan, pria sedingin Ragil terpikat oleh pesona seorang Maria.
“Runi?” panggil Ragil sesaat setelah wanita itu memutar tubuhnya.
“Ya?” jawab Runi ringan seperti daun kering yang gugur.
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Ragil.”
Apakah begini serunya menjadi pelakor? batin Maria melihat Ragil dan Runi yang seakan ditiup angin dari kutub bumi. Maria menahan tawa di balik bibirnya yang ingin robek. Ia perlu segera mengatasi keseruan yang merundungnya. Lantas Maria meraih telapak tangan Lastri. Teringat ia akan masa lalu wanita itu: pelakor.
Urat-urat tangan Lastri menonjol. Kurus. Kering. Keriput. Kurang kolagen dan vitamin E, atau hanya pengaruh faktor usia. Entahlah, karena telapak tangan bude Maria juga begitu hanya sedikit lebih berisi dan lebih enak dilihat seperti ceker ayam yang kemarin Maria tambahkan ke dalam mangkuk mie ayam.