LISTRIK padam dua kali tadi malam pukul setengah tujuh. Dua kali itu pula Satpam panti jompo meninggalkan posnya demi menghidupkan generator, letaknya di belakang gedung. Si Satpam kira petir tanpa hujan yang memecah langit tadi malamlah penyebabnya. Suaranya menggelegar dan dalam sedetik segalanya menjadi terang. Namun, hanya sedetik. Mungkin memang petir itu penyebab listrik mati. Bukankah petir tak harus datang bersama hujan dan mitos tentang petir yang tak mungkin menyambar dua kali di tempat yang sama tidaklah benar. Semalam gedung betul-betul disambar petir sebanyak dua kali.
Tepat saat petir menyambar, Runi melihat rupa pembunuhnya. Semula Runi baru saja keluar dari kamar Lastri setelah memastikan ibu Ragil menenggak obat. Seseorang yang awalnya tak tampak jelas karena memakai jaket hitam lengkap dengan memfungsikan tudung di kepalanya, berdiri di depan pintu kamar membawa pelontar panah beserta anak panah. Runi kaget sekaligus bergidik. Lalu seseorang itu berkata pada Runi kalau ingin bertemu dengan Lastri. Runi tak mengizinkan sebab jam kunjungan telah usai dan semua lansia harus sudah beristirahat. Seseorang itu lantas berbalik pergi. Runi masih berjaga di depan kamar memastikan orang aneh itu benar-benar pergi. Belum juga jauh, orang itu tiba-tiba berhenti melangkah. Berbalik dan bersiap menembakkan anak panahnya ke arah Runi. Saat itulah kilat menyambar gedung. Semua menjadi terang dan jelas di penglihatannya. Bagaimana anak panah itu meluncur di udara dan tepat mengenai jantungnya secepat kilatan cahaya di awan. Sejak itu Runi tidak lagi terlihat. Demikian juga Lastri. Darah tercecer di lantai-lantai panti jompo seolah pembunuhnya bingung menyeret mayatnya untuk dibuang ke mana.
Esoknya karyawan panti jompo jejeritan melihat darah di lantai. Darah-darah itu berasal dari salah satu kamar lansia. Penghuninya entah ke mana. Perawat mencarinya tapi tak ketemu. Lalu menghubungi keluarga lansia yang menghilang. Barangkali keluarganya yang membawa.
Ragil yang dikabari bahwa sesuatu telah terjadi pada ibunya segera menuju ke panti jompo. Sesampainya ia di sana, polisi lebih dulu tiba untuk melakukan penyisiran area. Sementara para lansia terlihat diungsikan di taman depan bersama para perawat dan ditanya oleh petugas polisi secara bergiliran. Satu perawat menunjuk Ragil yang baru datang. Berkata bahwa Ragil adalah keluarga lansia yang hilang. Ragil pun ikut ditanya perihal kepergian ibunya. Sungguh sebuah kebetulan, petugas polisi yang menanyai adalah Haloha.
“Kemarin aku membawa ibuku mengunjungi Sutejo. Aku lalu memulangkannya bersama Perawat Runi. Apa yang terjadi, Haloha?”
Haloha menjelaskan bahwa sesuatu terjadi semalam. Seorang lansia dan seorang perawat menghilang. Tak berselang lama dari penjelasannya yang sontak mengejutkan Ragil, rekan Haloha mendekat untuk mengajaknya melihat rekaman CCTV di ruangan Kepala Panti. Haloha dengan segera mengikuti rekannya.
Tak lama Haloha meninggalkan Ragil, ponsel di saku celana Ragil berdering. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal membuat kegelisahan Ragil membiak. Ragil menerima panggilan masuk itu.
“Kamu Ragil?” Seorang pria bertanya lewat telepon. Suaranya terdengar asing.
“Yah,” jawab Ragil mengernyitkan kening. Ibunya hilang ditambah identitasnya sebagai Kapak Tumpuk diketahui oleh beberapa orang. Kini kepalanya penuh kemungkinan yang berserakan seperti kertas-kertas di jalan raya setelah malam pesta kembang api.
“Apa Runi bersamamu?” tanya pria itu. Disusul tangis anak laki-laki. Ragil langsung dapat mengenali tangisan itu.
“Tidak. Siapa ini?”
“Aku ayah Leo. Nenek Leo mengabariku Runi tidak pulang semalam. Barusan Leo bilang, kemarin kalian pergi bersama.”
“Runi tidak bersamaku. Datanglah ke panti jompo! Sesuatu terjadi semalam. Jangan bawa Leo kemari!” kata Ragil. Ia menutup telepon dan bertanya ke siapa pun yang ada di dekatnya.
“Siapa perawat yang menghilang?” Ragil bertanya pada Satpam yang ikut berkumpul di taman. Berharap perawat yang menghilang bukan Runi. Tapi Satpam menjawab sebagaimana yang ia dengar dari banyak perawat.
“Perawat Runi. Kata perawat lain, seharusnya dia tidak jaga malam di minggu ini tapi mereka sempat melihatnya tadi malam.”
“Apakah ada pembesuk yang kau biarkan masuk semalam?” tanya Ragil.
Satpam menggeleng. Dengan tegas ia berkata, “Mas, jika jam besuk sudah berakhir, maka aku tidak mungkin membiarkan orang asing masuk.”
Namun, Ragil tahu pintu gerbang panti tidak pernah dikunci. Siapa saja bisa keluar-masuk asalkan tidak ketahuan oleh penjaga.
“Berapa kali kau meninggalkan pos jaga semalam?” tanya Ragil lagi. Satpam terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan menyelidik Ragil yang khas selayaknya petugas polisi.
“Untuk apa aku menjawabmu? Kau bukan polisi.”
“Lansia yang hilang itu ibuku!” sentak Ragil, memelotot seraya mencengkram pundak Satpam seolah tak segan-segan menumbuk wajahnya jika masih tak kooperatif.
“Du-dua kali. Dua kali listrik padam. Jadi, dua kali aku meninggalkan pos jaga karena harus menyalakan generator di belakang gedung. Dua kali, Mas. Aku melewati koridor dan danau. Tidak ada apa-apa sebelumnya.” Satpam menjawab gemetar. Bocor sudah rasa cemas yang ia tahan sekuat hati. Cemas sebab seharusnya ia tak pernah meninggalkan pintu gerbang dalam keadaan sedikit terbuka.
Sejurus kemudian Ragil bertolak meninggalkan Satpam. Ia hendak menerobos masuk ke dalam gedung. Tapi dua orang polisi langsung menghalanginya di pintu masuk. Ragil sempat berdebat dengan kedua polisi itu sebelum akhirnya Haloha keluar.
“Biarkan aku masuk dan membantumu,” ujar Ragil pada Haloha.
Haloha bersedekap. Ia merasa tak perlu bantuan dari seorang warga sipil.