Listrik padam dua kali tadi malam. Dua kali itu pula Satpam panti jompo meninggalkan posnya demi menghidupkan generator, letaknya di belakang gedung. Si Satpam kira petir tanpa hujan yang memecah langit tadi malamlah penyebabnya. Suaranya menggelegar dan dalam sedetik segalanya menjadi terang. Namun, hanya sedetik. Mungkin memang petir itu penyebab listrik mati. Bukankah petir tak harus datang bersama hujan dan mitos tentang petir yang tak mungkin menyambar dua kali di tempat yang sama tidaklah benar. Semalam gedung betul-betul disambar petir sebanyak dua kali.
Tadi malam, tepat saat petir menyambar, Runi melihat rupa pembunuhnya. Semula Runi baru saja keluar dari kamar Lastri setelah siang tadi menemani perjalanan wanita tua itu ke penjara. Seseorang yang awalnya tak tampak jelas karena memakai jaket hitam lengkap dengan memfungsikan tudung di kepalanya, berdiri di depan pintu kamar membawa pelontar panah beserta anak panah. Runi kaget sekaligus bergidik. Lalu seseorang itu berkata pada Runi kalau ingin bertemu dengan Lastri. Runi tak mengizinkan sebab jam kunjungan telah usai dan semua lansia harus sudah beristirahat. Seseorang itu lantas berbalik pergi. Runi masih berjaga di depan kamar memastikan orang aneh itu benar-benar pergi. Belum juga jauh, orang itu tiba-tiba berhenti melangkah. Berbalik dan bersiap menembakkan anak panahnya ke arah Runi. Saat itulah kilat menyambar gedung. Semua menjadi terang dan jelas di penglihatannya. Bagaimana anak panah itu meluncur di udara dan tepat mengenai jantungnya secepat kilatan cahaya di awan. Sejak itu Runi tidak lagi terlihat. Demikian juga Lastri. Darah tercecer di lantai-lantai panti jompo seolah pembunuhnya bingung menyeret mayatnya untuk dibuang ke mana. Tak hanya bekas mayat yang terseret di lantai. Pembunuh juga berlari-lari dengan mendorong kursi roda dalam kegelapan.
Esoknya karyawan panti jompo jejeritan melihat darah di lantai. Darah-darah itu berasal dari salah satu kamar lansia. Penghuninya entah ke mana. Perawat mencarinya tapi tak ketemu. Lalu menghubungi keluarga lansia yang menghilang. Barangkali keluarganya yang membawa.
Ragil yang dikabari bahwa ibunya menghilang segera menuju ke panti jompo. Sesampainya ia di sana, polisi lebih dulu tiba untuk melakukan penyisiran area. Sementara para lansia terlihat diungsikan di taman depan bersama para perawat. Mereka ditanya oleh petugas secara bergiliran. Satu perawat menunjuk Ragil yang baru datang. Ragil ikut ditanya perihal ibunya. Yang menanyainya adalah Haloha. Sungguh sebuah kebetulan mereka kembali bersua.
“Kemarin aku membawa ibuku mengunjungi Sutejo. Aku lalu memulangkannya bersama Perawat Runi. Apa yang terjadi, Haloha?”
Haloha menjelaskan bahwa sesuatu terjadi semalam. Seorang lansia dan seorang perawat menghilang. Lalu rekan Haloha menghampiri Haloha, berbisik. Haloha diajak ke ruangan Kepala Panti untuk melihat rekaman CCTV di sana. Haloha dengan segera mengikuti rekannya.
Tak lama Haloha meninggalkan Ragil, ponsel di saku celana Ragil berdering. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal membuat kegelisahan Ragil membiak. Ragil menerima panggilan masuk itu.
“Kamu Ragil?” Seorang pria bertanya lewat telepon. Suaranya terdengar asing.
“Yah,” jawab Ragil mengernyitkan kening. Ibunya hilang ditambah identitasnya sebagai Kapak Tumpuk diketahui beberapa orang. Kepalanya penuh kemungkinan yang berserakan seperti kertas-kertas di jalan raya setelah malam pesta kembang api.
“Apa Runi bersamamu?” tanya pria itu. Disusul tangis anak laki-laki. Ragil mengenali tangisan itu.
“Tidak. Siapa ini?”
“Aku ayah Leo. Leo mengabariku Runi tidak pulang semalam. Kemarin Leo bilang, kalian pergi bersama.”
“Runi tidak bersamaku. Datanglah ke panti jompo! Sesuatu terjadi semalam. Jangan bawa Leo kemari!” kata Ragil. Ia menutup telepon dan bertanya ke siapapun yang ada di dekatnya.
“Siapa perawat yang menghilang?” Ragil bertanya pada Satpam.
“Perawat Runi. Kata perawat lain, seharusnya dia tidak jaga malam di minggu ini tapi mereka sempat melihatnya tadi malam.”
“Apa ada pembesuk yang kau biarkan masuk semalam?” tanya Ragil.
Satpam menggeleng. Dengan tegas ia berkata, “Jika jam besuk sudah berakhir, maka aku tidak mungkin membiarkan orang selain karyawan masuk, Mas.”
Pagar tidak pernah dikunci. Siapa saja bisa masuk dan keluar asalkan tidak ketahuan oleh satpam.
“Berapa kali kau meninggalkan pos jaga semalam?” tanya Ragil lagi. Satpam terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Ragil.
“Untuk apa aku menjawabmu? Kau bukan polisi.”
“Lansia yang hilang itu ibuku!” sentak Ragil. Dia memegang pundak satpam, meremasnya kencang.
“Du-dua kali. Dua kali listrik padam. Jadi, dua kali aku meninggalkan pos jaga karena harus menyalakan generator. Dua kali, Mas. Aku melewati koridor dan danau. Tidak ada apa-apa sebelumnya.” Satpam menjawab gemetar. Tatapan mata Ragil kepadanya seolah tak segan-segan menumbuk wajahnya.
Sejurus kemudian Ragil bertolak meninggalkan Satpam. Ia hendak menerobos masuk ke dalam gedung. Tapi dua orang polisi langsung menghalanginya. Ragil sempat berdebat dengan kedua polisi itu sebelum akhirnya Haloha keluar.