KOMPETISI panahan berkuda kali ini merupakan ajang kejuaraan tingkat internasional. Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara acara. Sebanyak 45 atlet panahan berkuda dari 5 negara mengikutinya. Empat puluh lima itu terbagi dalam dua kelas: kelas atlet senior dan kelas atlet junior.
Saat pembukaan dimulai, semua atlet berbaris masuk ke arena sesaat sebelum perlombaan dimulai. Beberapa yang menunggang kuda mendapat tugas menjunjung tiang dengan bendera negara masing-masing. Ini adalah olahraga tradisional sehingga seluruh peserta atlet tampak mengenakan kostum ksatria yang sesuai dengan warisan budaya negaranya. Sebagai contoh, atlet Indonesia kompak memakai kostum ksatria Jawa lengkap dengan perhiasaan emas di kedua lengan tangan dan di atas kepala. Lalu atlet dari Turki memakai semacam jubah di pundaknya dengan topi ala kekaisaran Ottoman.
Maria muncul di antara para atlet yang berjalan melewati jalur lintasan lomba. Dia adalah salah satu atlet senior berpengalaman yang memenangkan banyak sekali perlombaan. Atlet-atlet dari negara lain memperhitungkannya sebagai lawan yang tangguh. Melihat atlet muda yang menunggangi kuda sembari mengibarkan bendera merah putih, mengingatkan Maria akan dirinya saat masih kecil. Kemenangan pertama Maria yakni ketika ia masih berusia dua belas tahun. Usia yang sama dengan atlet muda pengibar bendera itu.
Papa Maria amat mendukung minat dan bakat Maria sedari kecil, dan tak sekali pun absen dalam setiap perlombaan yang Maria ikuti. Lantas, papanya itu akan duduk di tribun paling depan, bersorak untuknya. Maria hampir tak pernah kesulitan menemukan papanya di antara semua penonton.
Namun, kini papanya telah tiada. Maria memilih menahan diri tidak melihat ke arah tribun. Ia lebih suka menciptakan bayangannya sendiri. Yang mana papanya sedang duduk menonton perlombaan dengan wujud transparan dan dengan senyum yang penuh kedamaian seperti seseorang dari surga yang turun sebentar ke bumi. Maria tak mungkin membayangkan papanya turun dari neraka karena neraka tak cocok untuk papanya yang baik kepadanya. Jadi, Maria, menurutmu siapa yang akan mengisi neraka jika mereka meyakini hal yang sama denganmu?
Kompetisi pun dimulai. Kecepatan kuda dan akurasi memanah menjadi poin penilaian. Satu per satu atlet mendapat giliran memperlihatkan ketangkasan mereka memanah sambil mengendarai kuda. Maria sudah bersiap di atas Bubu, membawa busur dan bekal beberapa anak panah. Pakaiannya, ksatria Jawa berwarna serba putih. Maria selalu tampak cantik dalam balutan busana apa pun. Saat nama Maria disebut, Sheila lalu menepuk pantat Bubu dan Bubu langsung berlari kencang ke lintasan. Para penonton bersorai. Itu dia, ksatria panahan berkuda jagoan mereka di atas kuda jantan yang memikat. Maria berkuda di lintasan diiringi suara sepatu kuda yang berlari kencang. Selendang putih berkibar di belakang tubuh sang ksatria.
Ada tiga kategori dalam kompetisi. Pada kategori yang pertama, Maria diharuskan memanah tiga papan sasaran seraya menunggangi kuda yang dipacu. Kategori dalam perlombaan panahan berkuda itu dinamakan Korean Trek. Tidak mudah menjaga keseimbangan di atas kuda saat anak panah mulai ditarik dan dilesatkan ke papan sasaran. Butuh fokus yang sangat baik, dan Maria sungguh terampil. Bersama Bubu, anak panah yang ia tembakkan berhasil melubangi bagian tengah ketiga papan sasaran. Tiga-tiganya. Luar biasa.
Demikian juga pada kategori kedua: Qabaq Trek. Kebanyakan atlet setuju kalau gaya Qabaq paling susah dan menantang. Mereka harus memanah pada dua target yang ada di bawah dan di ujung tiang yang tinggi. Asalkan Maria bersama Bubu, kemudahan akan selalu menyertainya. Benar saja, sampai sini posisi Maria masih mengungguli atlet-atlet lain. Kepiawaiannya tiada tanding.
Selanjutnya, Kassai Trek, hampir serupa dengan Korea Trek yang diharuskan memanah tiga papan sasaran, bedanya papan sasaran pada Kassai Trek saling berdekatan. Satu sisi menghadap depan dan dua sisi lain menghadap ke samping, membentuk bangun trapesium. Para atlet perlu menyiapkan tiga anak panah sekaligus untuk memanah sasaran yang letaknya berdekatan.
Sebenarnya mudah buat Maria. Ia bisa saja menjuarai semua kategori. Sayangnya, di Kassai Trek ini dia kehilangan sebagian konsentrasi. Tiba-tiba saja ketika tengah memacu Bubu dan menarik busurnya, ia teringat percakapannya dengan Sheila sehari menjelang perlombaan.
“Setelah kompetisi ini berakhir, aku berencana pensiun. Umurku tidak lagi muda. Kau harus menemukan penggantiku. Ada banyak atlet muda di stable ini yang bisa kau latih, Sheila,” katanya di sela waktu istirahat latihan. Ekspresi kecewa yang timbul di wajah Sheila kala itu terbang bak layang-layang di atas kepala Maria.
“Sudah kusangka kau bakalan segera memutuskan pensiun sejak dekat dengan Ragil. Aku kaget karena keputusanmu lebih cepat dari yang kukira,” ucap Sheila tampak tak begitu terkejut. Dulu, Sheila adalah atlet senior di stable yang sama dengan Maria, dan Maria adalah juniornya. Sheila pensiun di usia 27 tahun karena cedera pada tulang selangka. Lebih muda dari usia Maria saat ini. Sheila akhirnya memilih menikah dan menjadi pelatih. Dengan Sheila mengingat umur Maria saat ini justru membuat ia merasa tak berhak menentang keputusan Maria.
“Tidak ada hubungannya dengan Ragil,” bantah Maria, pelan.
“Kau hamil?” pertanyaan Sheila lebih terdengar seperti tuduhan.
Senyap. Tak tampak tanda-tanda Maria akan menyangkal.
“Aku pernah melahirkan anak jadi aku tahu kau hamil. Payudaramu membengkak. Selera makanmu berubah. Kau mulai suka mengenakan pakaian yang longgar. Kau juga sering mengusap perutmu saat kau ingat ada sesuatu yang harus kau jaga di dalamnya. Lagi, kau menahan Bubu berlari terlalu kencang. Karena semua itu latihanmu jadi tidak optimal.” Sheila menyiangi keheningan di antara mereka. Sebenarnya ia ingin menyambut kehamilan Maria dengan sukacita, tapi Maria sendiri sepertinya enggan menginjak suasana bahagia.
“Apa bayi dalam kandungan bisa merasa kalau dirinya tak diinginkan?” Bertanya Maria. Hatinya bersedih membayangkan bagaimana rasanya tidak diinginkan terutama oleh papanya.
Sejurus itu Sheila mengerti beberapa kerunyaman yang terendus belakangan. “Siapa ayahnya, Maria? Ragil atau pria lain dari klub malam?”
“Tentu saja Ragil, Sheila. Dia tidak pakai pengaman karena dia tidak pernah punya benda itu. Dia tidak pernah membelinya karena dia tidak tahu dengan siapa benda itu akan diperlukan.”
“Terus, tahu begitu kau tetap melakukannya dengan kesadaran penuh? Dasar bodoh! Dari dulu otakmu memang tidak lebih baik dari keledai.”
“Awalnya tidak begini. Hhh … kau takkan mengerti.” Maria menyerah menjelaskan. Ia keburu putus asa. Buat apa pula berusaha menjelaskan kalau apa yang awalnya ia rencanakan gagal dari awal.
Kini Maria menyesali ketololannya. Ia pula mulai membayangkan wujud transparan papanya berhenti tersenyum. Panah terakhir yang seharusnya melejit mengenai sasaran malah melenceng. Karena itulah Maria kehilangan beberapa poin. Tapi untung, poin-poin yang sebelumnya cukup untuk menebus satu kegagalan.
Di penghujung kompetisi, Maria menempati juara satu pada dua kategori dan juara dua untuk kategori yang terakhir. Medali juara mengalung di lehernya. Dia tersenyum, menjunjung piala tinggi-tinggi ke atas kepala. Matanya mengelilingi tribun penonton berharap menemukan arwah papanya. Tapi, yah, dia tak mendapati sosok papanya di mana pun. Dan, ia tetap meyakini bahwa arwah sejatinya memang tak terlihat.
Ragil menepati janjinya kapan lalu. Ia sungguh menghadiri perlombaan panahan berkuda yang Maria ikuti. Hari ini, Ragil duduk di tribun paling depan, selalu terdepan. Ia memandang Maria di atas podium juara. Selendang putih tiada henti berkibar ditiup angin. Dilihat dari bangku penonton, efek sinar matahari menjadikan Maria begitu berkilau dengan busana serba putih dan medali emas.
Akan tetapi pandangan Ragil terkesan jauh dari kekaguman. Punggungnya bersandar seperti lelah bersitegang dengan amarah. Satu kakinya menekuk, satu lagi lurus. Seminggu yang lalu ia habis memakamkan sang ibu. Belum hilang nestapa di wajahnya. Hari-hari berikutnya, Ragil lebih banyak diam dengan sorot mata tajam yang seakan tak bercelah. Orang-orang di kantornya tak berani melipur. Ia melimpahkan kasus pembunuhan ibunya dan Runi kepada polisi, menuruti kemauan Haloha. Sesekali ia mengutarakan spekulasinya kepada Haloha, dan Haloha sudi memperhitungkan semua perkataannya.
Sudah tak ada lagi rasa takjub di tampang Ragil akan tubuh indah serta kehebatan Maria menaklukan gelanggang panahan berkuda. Berkat anak panah yang tertinggal di mayat Runi, Ragil menaruh prasangka pada Maria. Bukankah Maria adalah teman Wilsoni, biarpun Ragil belum memastikan sedekat apa pertemanan mereka, lantas sebanyak apa kontribusi Maria atas pembunuhan itu.
Setelah Maria turun dari tangga juara, Ragil menyela sesi foto Maria dengan Sheila dan para penyemangatnya. Ragil ingin selekasnya mengucapkan selamat kepada wanita itu. Mereka saling berpelukan hangat. Ragil memberikan seikat bunga bakung yang indah dan segar kepada Maria, sementara di belakang kemesraan keduanya, orang-orang membicarakan kedekatan mereka.
“Selamat, Maria.” Sebagai penggemar Maria, dahulu Ragil amat ingin memeluk sang atlet sambil mengatakan ucapan selamat. Oh, sayang sekali angan-angan itu menjadi kenyataan di waktu kekagumannya telah habis oleh syak wasangka.
“Terima kasih sudah datang.”