Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #18

Tiga Trek

Kompetisi panahan berkuda kali ini merupakan ajang kejuaraan tingkat internasional. Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara acara. Sebanyak 45 atlet panahan berkuda dari 5 negara mengikuti kompetisi ini. Empat puluh lima itu terbagi dalam dua kelas, di antaranya kelas atlet senior dan kelas atlet junior. Mereka semua berbaris masuk ke arena sesaat sebelum perlombaan dimulai. Beberapa yang menunggang kuda mendapat tugas menjunjung tiang dengan bendera negara masing-masing. Ini adalah olahraga tradisional sehingga seluruh peserta atlet tampak mengenakan kostum ksatria yang sesuai dengan warisan budaya negaranya. Sebagai contoh, atlet Indonesia kompak memakai kostum ksatria Jawa lengkap dengan perhiasaan emas di kedua lengan tangan dan di atas kepala. Lalu atlet dari Turki memakai semacam jubah di pundaknya dengan topi ala kekaisaran Ottoman. 

Maria muncul di antara para atlet yang berjalan melewati jalur lintasan lomba. Dia adalah salah satu atlet senior berpengalaman yang memenangkan banyak sekali perlombaan. Atlet-atlet dari negara lain memperhitungkannya sebagai lawan yang tangguh. Melihat atlet muda yang menunggangi kuda sembari mengibarkan bendera merah putih, mengingatkan Maria akan dirinya saat masih kecil. Kemenangan pertama Maria yakni ketika ia masih berusia dua belas tahun. 

Papanya yang mendukung penuh minat dan bakatnya tak sekali pun absen dalam setiap perlombaan yang ia ikuti. Lantas, papanya itu akan duduk di tribun depan. Maria hampir tak pernah kesulitan menemukan papanya di antara semua penonton. Namun, sekarang Maria memilih menahan diri tidak melihat ke arah tribun. Ia lebih suka menciptakan bayangannya sendiri: yang mana papanya itu duduk menonton perlombaan dengan wujud transparan dan dengan senyum yang penuh kedamaian seperti seseorang dari surga yang turun sebentar ke bumi. Maria tak mungkin membayangkan neraka karena neraka tak cocok untuk papanya yang baik kepadanya. Jadi, Maria, menurutmu siapa yang akan mengisi neraka jika mereka meyakini hal yang sama denganmu?

Kompetisi pun dimulai. Kecepatan kuda dan akurasi memanah menjadi poin penilaian. Satu per satu atlet mendapat giliran memperlihatkan ketangkasan mereka memanah sambil mengendarai kuda. Maria sudah bersiap di atas Bubu, membawa busur dan bekal beberapa anak panah. Pakaiannya, ksatria Jawa berwarna serba putih. Dia selalu tampak cantik dalam busana apa pun. Saat namanya disebut, Sheila menepuk pantat Bubu dan Bubu langsung berlari kencang ke lintasan. Para penonton bersorai. Itu dia, ksatria panahan berkuda jagoan mereka. Melaju di lintasan diiringi suara sepatu kuda yang berlari kencang. Selendang putih berkibar di belakang tubuh sang ksatria.

Ada tiga kategori dalam kompetisi. Pada kategori yang pertama, Maria diharuskan memanah tiga papan sasaran. Satu dipanah dari depan, satu dari samping, dan satu lagi agak ke belakang seraya menunggangi kuda yang dipacu secepat-cepatnya. Kategori dalam perlombaan panahan berkuda satu ini dinamakan Korean Trek. Tidak mudah menjaga keseimbangan di atas kuda saat anak panah mulai ditarik dan dilesatkan ke papan sasaran. Butuh fokus yang sangat baik, dan Maria sungguh terampil. Bersama Bubu, anak panah yang ia tembakkan melubangi bagian tengah tiga papan sasaran. Ketiga-tiganya. Luar biasa. 

Demikian juga pada kategori kedua: Qabaq Trek. Kebanyakan atlet setuju kalau gaya Qabaq paling susah dan menantang. Mereka harus memanah pada dua target yang ada di bawah dan di ujung tiang yang tinggi. Asalkan Maria bersama Bubu, kemudahan akan selalu menyertainya. Benar saja, sampai sini Maria masih mengungguli atlet-atlet lain. Kepiawaiannya tiada tanding.

Selanjutnya, hampir serupa dengan Korea Trek yang diharuskan memanah tiga papan sasaran, bedanya papan sasaran pada Kassai Track saling berdekatan. Satu sisi menghadap depan dan dua sisi menghadap ke samping, membentuk bangun trapesium. Para atlet perlu menyiapkan tiga anak panah sekaligus untuk memanah sasaran yang letaknya berdekatan. Sebenarnya mudah buat Maria. Ia bisa saja menjuarai semua kategori. Sayangnya, di Kassai Trek ini dia kehilangan sebagian konsentrasi. Tiba-tiba saja ketika tengah memacu Bubu dan menarik busurnya, ia teringat percakapannya dengan Sheila sehari menjelang perlombaan.

“Setelah kompetisi ini berakhir, aku berencana pensiun. Umurku tidak lagi muda. Kau harus menemukan penggantiku. Ada banyak atlet muda di stable ini yang bisa kau latih, Sheila,” katanya di sela waktu istirahat latihan. Ekspresi kecewa yang timbul di wajah Sheila kala itu terbang bak layang-layang di kepala Maria. 

“Sudah kusangka kau bakalan segera memutuskan pensiun sejak dekat dengan Ragil. Aku kaget karena keputusanmu lebih cepat dari yang kukira.” Dulu, Sheila adalah atlet senior di stable yang sama dengan Maria, dan Maria adalah juniornya. Sheila pensiun di usia 27 tahun karena cedera pada tulang selangka. Lebih muda dari usia Maria saat ini. Ia akhirnya memilih menikah dan menjadi pelatih. Usia Maria saat ini membuat dirinya merasa tak berhak menentang keputusan Maria.

“Tidak ada hubungannya dengan Ragil,” bantah Maria, pelan.

“Kau hamil?”

Senyap. Tak tampak tanda-tanda Maria akan menyangkal. 

“Aku pernah hamil jadi aku tahu kau hamil. Payudaramu membengkak. Selera makanmu berubah. Kau mulai suka mengenakan pakaian yang longgar. Kau juga sering mengusap perutmu saat kau ingat ada sesuatu yang harus kau jaga di dalamnya. Lagi, kau menahan Bubu berlari terlalu kencang. Karena semua itu latihanmu jadi tidak optimal.” Sheila menyiangi keheningan di antara mereka. Sebenarnya ia ingin menyambut kehamilan Maria dengan sukacita, tapi Maria seperti enggan menginjak suasana bahagia.

“Apa bayi dalam kandungan bisa merasa kalau dirinya tak diinginkan?” tanya Maria. 

Sheila mengerti sekarang. “Siapa ayahnya, Maria? Ragil atau pria lain dari klub malam?”

“Tentu saja Ragil, Sheila. Dia tidak memakai pengaman karena dia tidak pernah punya benda itu. Dia tidak pernah membelinya karena dia tidak tahu dengan siapa benda itu akan diperlukan.”

“Berarti kau yang bodoh. Kenapa bisa-bisanya bermaksiat tanpa benda itu.”

“Awalnya tidak begini. Hhh … kau takkan mengerti.” Maria menyerah. Pada apa, mana Sheila tahu. Hanya Maria yang tahu apa yang mulanya ia rencanakan. 

Kini Maria menyesali ketololannya. Ia pula mulai membayangkan wujud transparan papanya berhenti tersenyum. Panah terakhir yang seharusnya melejit mengenai sasaran malah melenceng jauh dari papan sasaran. Karena itulah Maria kehilangan banyak poin. Tapi untung, poin-poin yang sebelumnya cukup untuk menebus satu kegagalan. Di penghujung kompetisi, Maria menempati juara satu pada dua kategori dan juara dua untuk kategori yang terakhir. Medali juara mengalung di lehernya. Dia tersenyum, menjunjung piala tinggi-tinggi ke atas kepala. Matanya mengelilingi tribun penonton namun tak mendapati sosok papanya di mana pun. Dan, ia tetap meyakini bahwa arwah sejatinya memang tak terlihat. 

Ragil menepati janjinya kapan lalu. Ia sungguh menghadiri perlombaan panahan berkuda yang Maria ikuti. Hari ini, Ragil duduk di tribun paling depan. Ia memandang Maria. Selendang putih dari Maria terus berkibar ditiup angin. Maria begitu berkilau dari bangku penonton. Pakaian serba putih yang ia kenakan di bawah matahari membuatnya terlihat bagaikan malaikat bercahaya.

Akan tetapi pandangan Ragil terkesan jauh dari kekaguman. Punggungnya bersandar seperti lelah bersitegang dengan amarah. Satu kakinya menekuk, satu lagi lurus. Seminggu yang lalu ia habis memakamkan sang ibu. Belum hilang nestapa di wajahnya. Hari-hari berikutnya, Ragil lebih banyak diam dengan sorot mata tajam yang seakan tak bercelah. Orang-orang terdekatnya tak berani melipur. Ia melimpahkan kasus pembunuhan ibunya dan Runi kepada polisi. Sesekali ia mengutarakan spekulasinya kepada Haloha—polisi yang ia percaya—dan Haloha sudi memperhitungkan semua perkataannya.

Sudah tak ada lagi rasa takjub di tampang Ragil akan tubuh indah serta kemenangan Maria. Berkat anak panah yang tertinggal di mayat Runi, Ragil menaruh prasangka pada Maria. Maria adalah teman Wilsoni, biarpun Ragil belum memastikan sedekat apa pertemanan mereka, lantas sebanyak apa kontribusi Maria atas pembunuhan itu. 

Setelah Maria turun dari tangga juara, Ragil menyela sesi foto Maria dengan Sheila dan para penyemangatnya. Ragil ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada wanita itu. Mereka saling berpelukan hangat. Ragil memberikan seikat bunga lili yang indah dan segar kepada Maria, sementara di belakang kemesraan keduanya, orang-orang menunggu giliran. 

“Selamat, Maria.” Bukankah hal ini yang dahulu Ragil angan-angankan sebagai penggemar Maria. Memeluk sang atlet sambil membisikinya ucapan selamat. Oh, angan-angan itu telah menjadi kenyataan di waktu kekagumannya habis oleh syak wasangka yang belum terjawab. “Kau lapar?” bisik Ragil, lembut dan menggoda. Dia tidak pernah sehangat ini.

Lihat selengkapnya