AKU bermimpi melihat seekor kupu-kupu terbang di atas hamparan alang-alang dan di bawah langit malam tanpa bintang. Bulan terlihat sepuluh kali lebih besar. Oh, malam yang gilang gemilang. Cahayanya yang jatuh berwarna oranye. Dalam mimpiku, saat ini sedang musim semi. Musim tumbuhan alang-alang berbunga. Bentuk bunganya seperti ekor tupai: putih, bersih, dan lembut. Betapapun cahaya bulan telah memulas warna putihnya menjadi keoranye-oranyean.
Aku mengejar kupu-kupu itu hingga ke tengah hamparan alang-alang setinggi panggul. Tidak ada alasan khusus kenapa aku ingin mengejarnya. Kukejar begitu saja. Lalu aku mendengar suara busur melenting dan suara anak panah melesat di udara. Pats! Aku mengenal betul suara-suara itu sebagaimana keseharianku mendengar suara air. Namun, akhir-akhir ini, aku merasa terusik oleh suara yang dihasilkan dari gaya pegas antar busur dan panah. Entah mengapa hatiku resah tanpa alasan padahal hampir setiap hari aku amat dekat ddengan alat berburu itu.
Sebuah anak panah melesat mengenai kupu-kupu di hadapanku. Ia gugur meninggalkan sepasang sayap yang terlepas dari tubuh mungilnya. Ujung anak panah membawa tubuhnya entah berakhir di mana. Seketika aku kehilangan tujuanku di tempat ini. Seketika.
Kemudian seorang bocah laki-laki muncul membawa anak panah yang menghilang di balik rimbun alang-alang. Bocah itu mendatangiku, menatapku dengan sepasang mata yang pernah kukenal; sepasang mata yang kubenci. Tumbuhan alang-alang tumbuh setinggi lehernya. Dia akan tenggelam jika kakinya tersandung. Bocah laki-laki itu lalu berhenti melangkah, membuat jarak denganku. Dia berkata, “Sialnya aku,” seraya melihat ke perutku seolah dari sana dia berasal ….
Maria terbangun. Pipinya menyentuh karpet berbahan wol dengan sedikit rembesan darah dari kepalanya. Hal pertama yang dilihatnya sesaat setelah membuka mata adalah pemandangan di bawah kolong sofa yang membalam. Sesaat setelah ia mampu melihat dengan jelas di bawah kolong sofa, ia menemukan pecahan gelas yang tersembunyi atau yang tak terjangkau oleh sapu. Maria ingat pernah membuat perangkap kecil untuk Ragil menggunakan pecahan gelas itu. Sepertinya perangkap itu tidak berhasil sebab malah menjorong masuk dalam kolong. Maria bahkan telah melupakannya. Saat ia mencoba bangkit, ia sadar kaki dan tangannya diikat kencang-kencang ke belakang. Tubuhnya telungkup tak berdaya di lantai yang untungnya beralaskan karpet.
Sepasang kaki berjalan menghampirinya. Pemilik kaki itu lalu duduk di sofa panjang. Tapi, Maria tak mau bicara dengan sepasang kaki sekali pun kaki itu punya mulut pada tungkainya. Ia juga malas mendongak karena kepalanya sangat sakit saat coba digerakan. Maria hanya yakin siapa lagi pemilik sepasang kaki itu kalau bukan orang yang mengikatnya seperti babi.
“Masih lapar, Maria?” tanya Ragil sudah duduk di sofa sambil membawa ponsel pintar punya Maria. Ragil butuh sandi atau wajah Maria untuk dapat melihat semua isi aplikasi di dalam ponsel pintar itu.
“Lepaskan aku,” ujar Maria.
“Tunjukan wajahmu!”
“Tidak.” Maria menyembunyikan separuh wajahnya.
“Aku tak ingin menyakitimu. Tunjukan saja wajahmu!” perintah Ragil.
“Kau sudah menyakitiku! Kau memukul kepalaku! Aku bersumpah akan memasukkanmu ke penjara dan membunuh kau dan bapakmu di sana.” Maria memaki.
Ragil sudah mencoba. Yang terpenting adalah “sudah mencoba” bersikap baik. Lantas ia merenggut dagu Maria dengan kuat dan kasar hingga Maria mengerang kesakitan. Batok kepala Maria mungkin sudah retak atau lebih buruk lagi: otaknya tumpah. Guncangan kecil saja membuat sakit kepala Maria semakin berdenyut-denyut.
Agaknya perkiraan Maria berlebihan. Otaknya tidak sampai keluar. Ragil lalu mendekatkan layar ponsel ke depan muka Maria. Pria itu lantas mendapatkan apa yang ia mau, yakni terbukanya kunci layar ponsel Maria bonus air liur pemiliknya. Maria meludahi wajah Ragil tepat ketika Ragil membungkuk untuk mendapatkan wajahnya.
“Tidak ada air di bumi yang pantas buatmu. Bahkan ludahku. Monyet! Sialan!” pekik Maria lanjut berteriak sekencang-kencangnya. Berharap ada pencari rebung atau pemikat burung yang lewat di dekat rumah penyihir ini. Padahal malam sudah membungkus setengah bumi.
Usai mencuci wajah, yang terkena semburan ludah Maria, Ragil duduk kembali dengan tenang. Dalam hati, dia pantas mendapatkannya karena menyekap seorang wanita. Akan tetapi jika wanita itu terus meludah seperti kobra menyemprotkan racun, Ragil berjanji akan menginjak kepala Maria sebagaimana dia pernah menginjak kepala ular.
Belum tahu, juga belum ada rencana bagaimana Ragil membereskan semua ini. Apakah ia akan melenyapkan Maria atau melepaskannya pulang dengan berbekal ancaman. Hantu-hantu penunggu pohon bambu sejauh ini belum pernah berani membisikinya macam-macam. Yang pasti, pertama, dia perlu menyeka darah Maria di karpetnya. Kedua, dia harus menyumpal mulut Maria dengan sesuatu.
Namun dua langkah itu bisa menunggu nanti. Ragil dikeroyok rasa penasaran. Ia ingin fokus pada ponsel Maria lebih dulu mumpung ponsel itu belum terkunci otomatis. Biarkan wanita itu berteriak sebentar. Rasa-rasanya teramat tidak mungkin ada warga yang masuk ke hutan malam-malam begini. Dimulai dengan melihat riwayat panggilan, mengamati aktivitas seluruh sosial media milik Maria kemudian menggeledah isi pesan-pesan masuk. Sesekali dari tempat duduknya, Ragil melihat ke Maria dengan tatapan marah.
“Kau memberitahu semua orang ke mana kau pergi hari ini,” ujar Ragil sambil berkutat dengan ponsel yang berwarna serba pink.
Maria tertawa. Meringis sakit setelahnya sebab kepalanya tetap berdenyut walau saat tertawa. Besok digelar peringatan HUT Palang Merah Indonesia di halaman gedung PMI yang diikuti oleh staf dan relawan. Ragil segera mengetahui hanya dari membaca isi pesan Maria dengan sesama relawan PMI. Maria selaku duta kemanusiaan tahun ini sudah pasti diundang di acara itu. Rekan-rekan relawannya pasti mencarinya andai sampai ia absen tanpa kabar.
Hanya perlu memutar sedikit otaknya, Ragil dengan menggunakan ponsel Maria lalu mengirim pesan ke orang-orang itu, dan ke lebih banyak orang yang terindikasi mencemaskan Maria. Mengatakan kepada mereka bahwa tubuhnya ingin beristirahat barang seminggu di sebuah hotel karena jadwal latihan ketat sebelum perlombaan kemarin telah membuatnya kelelahan.
Dua jam lewat, Ragil melewatkan makan malamnya. Masih sibuk ia dengan ponsel Maria. Sekiranya ia dapat menemukan sesuatu yang menguatkan dugaannya tentang keterlibatan Maria dalam pembunuhan ibunya dan Runi. Hampir saja Ragil terkecoh oleh ketiadaan nama Wilsoni di riwayat panggilan, pesan, maupun media sosial punya Maria. Sebelum kemudian terpikir olehnya untuk melepas case karet ponsel pintar itu dan, aha! Ragil menemukan SIM card lain.
Ia menelusuri semua isi pesan pada SIM card tersembunyi itu dengan menghubungkannya pada laptop. Terdapat satu percakapan di dalamnya yang begitu panjang. Ragil bertahan membacanya satu per satu. Isinya tentang informasi mengenai kebiasaannya, nama kenalan-kenalannya, dan banyak hal lain tentang dirinya. Celakanya Maria tahu segalanya, tapi masalah paling besar terjadi ketika Maria membocorkan segalanya itu pada sebuah nomor tanpa nama.
Membaca pesan-pesan di dalam SIM card tersembunyi itu bagaikan mencari jawaban dalam sebuah narasi yang panjang. Ragil semakin lupa waktu. Ia membaca dan terus membaca. Pada akhirnya sebuah pesan bernada kesal kelincutan menyebut nama seseorang. Terjawab sudah siapa gerangan yang berkontak dengan Maria. Wilsoni si genangan rawa.
Dugaan Ragil tak meleset. Tak pernah meleset kalau Wilsoni-lah pelaku yang mengeksekusi ibunya dan Runi. Sementara Maria berperan sebagai sumber informasi dan penyedia. Jadi benar, Maria meminjamkan busur dan anak panah kepada Wilsoni demi melancarkan aksi pembunuhan itu. Semua tercatat dalam pesan-pesan yang terkirim. Busur kesayangan Maria paling tidak, pernah digunakan untuk membunuh orang meski satu kali. Demikian angan-angan tergelap seorang atlet pemanah lewat isi pesannya begitu tahu busurnya dipinjam untuk mengeksekusi seseorang.
Ragil menatap Maria seperti penyihir melihat ke penyihir yang lebih gila. Sejak kapan tepatnya ia masuk dalam perangkap Maria? Ragil langsung mendapatkan jawaban itu sesaat setelah ia menggulir isi pesan selanjutnya. Tepatnya, sejak Maria datang pertama kali ke panti jompo dan berpura-pura menjenguk ibunya. Lalu semakin berambisi ketika Maria merasa berhasil memikat Ragil. Dilanjutkan dengan keberhasilan Maria mengajak Ragil ke klub malam. Di sana, di malam itu, Maria ternyata sudah membuat janji temu dengan Wilsoni. Dan kepada Wilsoni, Maria menunjukan betapa hebat dirinya mampu menggiring ikan besar ke ceruk. Ikan besar itu adalah dirinya.
Ragil tertunduk sebentar. Gemetar tubuhnya karena menahan diri dari tidak menghajar seorang wanita. Juga menahan diri dari tidak gegabah pergi mencari Wilsoni malam ini. Ragil berencana akan menyerahkan bukti-bukti ini kepada Haloha dengan syarat jika Wilsoni tertangkap, maka Wilsoni harus satu penjara dengan Sutejo. Karena menurut Ragil, jika hanya memenjarakan Wilsoni rasanya kurang sebanding. Tapi, mengirim Wilsoni kepada Sutejo mungkin ide yang … bahkan bapak tirinya itu akan berterima kasih.
“Jangan lagi berteriak, Maria! Berteriak pun, tak ada yang akan datang ke rumah ini. Hematlah energimu sebab hari ini dan besok, atau sampai kau mati, tidak ada makanan untukmu.”
“Bude pasti mencariku kemari,” teriak Maria.
“Dia tidak mungkin mencarimu,” respon Ragil.
“Aku tidak pernah tidak pulang begini. Bude pasti mencariku. Dia lebih menyayangi keponakannya ketimbang anak-anaknya. Jangan bandingkan aku denganmu!” Maria mendengus, “kau seperti aib. Keluarga Djoyodikusuma selalu memangkas aib dari tubuh mereka. Kau tahu, Ragil, sebenarnya kami mengira selama ini ibumu bekerja menjadi pelacur untuk menyambung hidup.” Sudah begitu Maria tertawa walaupun untuk tertawa ia harus merasakan sakit di kepalanya, tapi itu dirasa setimpal.
Ragil perlu membersihkan rembesan darah di karpetnya yang sudah bau kencing. Langsung saja ia menyeret Maria, memindahkannya ke dalam kamar mandi berukuran 2x2 meter persegi yang terletak di dekat dapur. Ia melakukan semua itu dengan kasar lantaran terpicu umpatan Maria. Ragil pikir, akan lebih mudah membersihkan wanita itu nanti jika wanita itu dipindahkan ke kamar mandi. Bukankah Maria sengaja mengompol, sebentar lagi tinja juga akan keluar dari bokongnya. Beruntung Ragil punya dua kamar mandi di dalam rumahnya. Tak lupa caranya balas dendam, Ragil menyalakan shower. Dinginnya air di malam hari akan mengajari Maria bagaimana menjadi tahanan yang baik.
“Dengarkan aku, Bude tidak akan mencarimu karena dia sudah kabur ke luar negeri dengan kekasihnya yang seumuran denganku. Besok kau akan mendengar beritanya,” kata Ragil, lalu menutup pintu. Yang kemudian terdengar hanya bunyi gedoran pintu sepanjang malam mengalahkan suara gemericik air.
***
Esoknya Maria duduk di depan meja makan. Ikatan pada tangan dan kakinya sudah dilepas meski pakaiannya masih basah kuyup. Tetes-tetes air terus jatuh dari ujung pakaiannya. Tak cuma air yang menetes dan menggenangi lantai di bawah kursi berkaki tinggi yang tengah ia duduki, terdapat pula lelehan berwarna merah dari selangkangannya yang kemudian bercampur dengan genangan air. Maria tidak menyadarinya sebab kesadarannya hanya seputar tubuhnya yang menggigil karena semalaman Ragil mengikatnya di bawah guyuran air shower.