Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #20

Anjing Djoyodikusuma

HALOHA melihat-lihat desain interior di dalam rumah Ragil yang berkonsep terbuka. Tidak ada sekat antar ruangan, kecuali kamar tidur dan kamar mandi. Kebetulan  ia dan suaminya sedang mencari-cari konsep baru untuk merenovasi rumah lamanya. Sepertinya rumah Ragil berhasil menginspirasi.

Tadi pemilik rumah berkonsep industrial itu telah mempersilakannya masuk. Ia datang berdua saja dengan Kapolres Imam Budialim. Mereka mendatangi rumah Kapak Tumpul dengan begitu bersemangat. Besar sekali rasa ingin tahu mereka melihat markas Kapak Tumpul. 

Serupa rumah artistik kebanyakan. Semua elemen amat diperhatikan. Mulai dari pemilihan warna dinding yang netral, pencahayaan alami, furnitur dengan aksen logam dan kayu reklamasi, sampai dengan penataan balok-balok beton yang menonjol sehingga menciptakan kesan berani dan percaya diri. Benar-benar menggambarkan sang pemilik. Sekilas tidak ada yang patut dicurigai dari rumah Ragil selain kebersihan dan kerapiannya. Dan … ada tas busur di sebelah sofa. Haloha pernah melihat model yang sama, sayangnya dia lupa. Bukannya Haloha tidak memperdulikan benda itu. Seraya memandang hunian Ragil, Haloha rupanya sedang mengingat-ingat di mana ia pernah melihat tas busur yang sama. 

Untuk ukuran seorang pria tanpa istri, rumah Ragil terlampau bersih, rapi, dan wangi. Haloha sampai tertantang untuk menemukan tumpukan debu di beberapa perabot. Seanjing-anjingnya Haloha, lubang bekas anak panah di lemari Ragil luput terendus olehnya. Tapi meja kecil di dekat jendela membuat Haloha sejenak termangu.

“Kau tak ingin meletakan sesuatu di sini? Seperti vas bunga atau akuarium ikan?”

“Sebelumnya pernah ada akuarium ikan di situ.”

“Lalu?”

“Pecah. Aku tak sengaja menjatuhkannya,” jawab Ragil. Padahal akuarium itu pecah karena panah nyasar dari Maria. 

Sementara buat Kapolres Imam Budialim, wangi karbol pada lantai rumah Ragil menumbuhkan rasa curiga di benaknya seolah-olah ada bau yang coba disamarkan dengan menggunakan karbol. Apa pun itu, Kapolres Imam Budialim berusaha terlihat tenang seraya memperhatikan karpet dan kulit sofa di sekitarnya. Jika ia melihat setetes saja darah, ia tak akan segan-segan membekuk Ragil. 

Dari meja dapur, Ragil menjerang air, menunggu panas mendidihkan air itu sambil menakar kopi dan gula, ia pula memperhatikan setiap langkah Haloha yang tengah melihat-lihat interior rumahnya. Hanya ada satu pintu kamar tidur di rumah ini yang berarti itu adalah kamar Ragil, yang berarti juga Maria ada di dalam sana. Ragil bertahan tetap tenang. 

“Ada mobil lain di luar. Kamu kedatangan tamu selain kami?” tanya Kapolres Imam Budialim sedikit curiga. 

“Ya.” Ragil menjawab singkat lantas segera mendaratkan dua cangkir kopi ke meja tamu. Berharap Haloha yang sedang menggali banyak inspirasi segera duduk dan menyeruput kopi.

Pintu kamar mandi di dekat dapur terbuka, Akio muncul. Ia berpura-pura terkejut, selebihnya dia berupaya menyapu rasa gugup. Terang saja Haloha dan Kapolres Imam Budialim mengenal Akio. Seringnya mereka saling menyapa saat bertemu di LFK (Laboratorium Forensik Kepolisian). 

“Nah, kalian berteman?” tanya dan sapa Haloha pada Akio yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Akio tersenyum mendekat ke sofa, tapi sebenarnya jantungnya berdebar-debar seakan profesinya dipertaruhkan dalam sebuah persidangan. Membuat kelenjar ekrin di seluruh tubuhnya terus memproduksi keringat. Dengan terburu-buru ia mengelap tangannya yang basah oleh keringat sebelum Haloha mengajaknya berjabat tangan. 

“Kami bekerja di satu rumah sakit,” sahut Ragil, kemungkinan besar dia tahu perasaan Akio sekarang. Jangankan menjawab, menarik nafas saja sudah pasti berat. 

“Aku tahu.” Haloha membalas senyum Akio. Ia tidak suka berjabat tangan dengan lelaki karena ia selalu melihat suaminya tidak pernah mencuci tangannya setelah kencing.

“Apa yang ingin kamu serahkan pada kami?” Kapolres Imam Budialim mengawali babak selanjutnya. Kemarin Ragil memberinya petunjuk yang akhirnya membuatnya sukses menangkap pelaku serta mengamankan bukti-bukti kuat dalam operasi tangkap tangan. Hari ini, katanya, pemuda itu mau memberinya bukti lain terkait pembunuhan dua wanita di panti jompo. 

Akio gemetaran. Seharusnya dia tidak ikut berada di sini, menyerahkan Maria. Dua polisi itu adalah polisi-polisi hebat yang bergerak berdasar insting yang kuat. Konon, uang sekalipun tak mampu mengalihkan fokus mereka. Lalu, terdengar suara pintu berderit. Semua orang menoleh ke muasal suara. 

Terjawablah siapa pemilik tas busur di samping sofa yang Haloha coba ingat. Maria keluar. Hanya mengenakan kaos kedodoran dan celana dalam. Tak satu pun pria di rumah ini yang berani melihat warna celana dalamnya. Maria melangkah gontai menuju meja-meja dapur. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dingin dari lemari es. Menenggak habis setengah liter isi di dalamnya. Semua orang masih melongo.

“Apa saksi juga alat bukti?” tanya Ragil menggugah semua orang. Sebetulnya Ragil sudah tahu jawabannya, tapi ingin tetap bertanya pada polisi-polisi ini. 

“Iya,” jawab Kapolres Imam Budialim. 

“Kalian bisa menggali kesaksiannya. Dia pernah melihat Wilsoni di klub malam.”

“Oh, ya, kalian sepupu.” Haloha baru ingat. 

“Ya, kami sepupu,” kata Ragil singkat, kemudian diimbuhi oleh Maria jawaban di luar perkiraan. 

“Kami akan menikah. Aku akan segera melahirkan anak kami sebelum atau sesudah menikah,” kata Maria. Bibirnya yang sepucat mayat tersenyum. Dia seperti hantu wanita di pohon-pohon bambu. Ragil bergidik di tempat duduknya. 

“Kupikir kekasihmu adalah perawat yang meninggal itu,” kata Haloha. Senyuman Maria mengelabui banyak orang. Sebagian wanita memakai banyak sekali polesan di kulit wajah mereka untuk menciptakan beragam efek yang mampu menipu mata. Baik Haloha maupun Kapolres Imam Budialim mengira begitulah tampilan Maria bila tanpa riasan. Pucat. Mereka tidak tahu wanita hamil itu habis disekap di kamar mandi semalaman.

Lihat selengkapnya