Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #21

Black Umbrella Protest

PARA pebisnis berbisnis dengan rezim. Oligarki di sini ugal-ugalan! Yakin hukum tak mungkin menyentuh kelompok kaya, bisik seseorang di  luar lingkaran permainan. 

Baru saja bisikannya didengar segelintir orang, dia ditemukan menggelembung dan terombang-ambing di tengah lautan.

Kita menuju keruntuhan demokrasi, kata si Labubu di kubu oposisi.

Rampung pesta demokrasi, si Labubu yang kalah dibungkam dengan diberi jatah kekuasaan. 

Bau-baunya, pejabat bakal bikin surganya sendiri di tanah air karena sudah tidak ada oposisi, begitu teriakan pemuda di antara massa mahasiswa. 

Dan, baru saja dia turun dari panggung orasi, dia dan teman-temannya digeruduk petugas keamanan bersenjata lengkap. Digebukin. Katanya, para demonstran ini bawa arit, dua meter panjangnya. Tentu saja tidak ada.

Ayo, melawak! Dengarkan hiburan-hiburan gratis dari pelawak-pelawak kita yang berbakat. Mereka punya bahan lawakan yang renyah, gurih, asin, pedas-pedas pahit tentang negeri ini. 

Sudahlah, tinggalkan saja dakwah yang pendakwahnya senang jual agama, yang masih dikombongi feodalisme!

Sesekali melawaklah saat ngopi bersama teman di warung.

Melawaklah saat setelah makan malam keluarga. 

Melawaklah sesudah salat bersama para ulama yang senang mencerdaskan bangsa. Bukan yang doyan humor jorok! Tidak! Itu menjijikan, Kawan!

Melawaklah tentang negeri ini! 

Sebuah negeri yang digadang-gadang menuju keemasan. 

Kecemasan? 

Jangan bertengkar! 

Melawak saja bersama. 


Hari ini hari Kamis, Ragil diizinkan cuti kerja. Pengajuan cutinya kemarin terkesan mendadak tapi syukurlah ternyata dia diperbolehkan. Lima jam sudah ia berkendara menuju ibukota seorang diri. Rencananya, dia akan menghabiskan dua malam di ibukota. Rencananya, dia akan bertemu dengan Tagumpay. Rencananya, besok dia dan Tagumpay akan ikut unjuk rasa. Rencananya, dia akan mengambil satu-dua foto di tengah keramaian. Rencananya, dia pula akan mengabadikan foto itu di halaman akun Kapak Tumpul biar jutaan pengikutnya bertanya-tanya. Tapi dari sekian banyak rencana itu, ada hal yang bertamu dalam perjalanannya. 

Belum tiba di penginapan, saat tengah melewati Istana Negara, Ragil terhenti. Ia melihat tiga orang tua berdiri sambil membawa payung hitam. Ketiganya membentangkan spanduk bertuliskan kalimat-kalimat protes. Ragil langsung tahu sedang apa ketiga orang tua itu di sana. Dia pernah mendengarnya, dia pernah membacanya. Sebuah gerakan kolektif yang dihadiri para korban, para penyintas, para aktivis, dan para relawan untuk menekan pemerintah supaya segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. 

“Anak Muda, siapa namamu?” tanya seorang wanita tua berpakaian hitam dengan suara yang bergetar di bawah langit sore yang gerimis, dan di bawah payung hitam yang ia bawa. Payung itu tertulis “Adili para Pelanggar HAM”.

“Ragil.”

“Aku tak ingat kau pernah datang kemari.”

Ragil merespon hanya dengan senyuman. Memangnya mau seberapa hebat otaknya mengingat orang-orang yang pernah datang.

“Oh, Nak, untungnya kau datang. Aku baru akan berhenti jika yang datang cuma 3 orang. Sekarang empat orang denganmu.” Wanita tua trenyuh membayangkan bagaimana jika satu dari tiga orang tua di sini mati. 

“Aksi ini tidak boleh berhenti,” kata Ragil. 

“Dari mana asalmu?” tanya wanita tua. Seluruh rambutnya berwarna putih. Ia menggeser sedikit payung hitamnya agar setengah payung menaungi Ragil dari gerimis manja ibukota. 

“Aku dari kota yang jauh,” jawab Ragil tanpa memalingkan wajahnya dari bangunan putih dengan enam pilar di depannya. 

Wanita tua itu terus memandang Ragil seakan menjejalkan wajah Ragil ke dalam ingatannya. Dia wanita tua yang teguh, tegas, dan tegar. Terlihat dari bagaimana kemudian ia mengakhiri tatapannya pada Ragil dengan senyuman lembut lantas kembali menatap Istana Negara. Tidak ada keputusasaan pada bola matanya. Mungkin pernah ada, tapi tak pernah berhasil menyurutkan usahanya mengejar keadilan bagi putranya. 

“Tidak pernah sedikit orang yang datang. Ini masih jam empat kurang. Lihatlah! Orang-orang yang mulai menepi itu. Mereka semua pulang dari bekerja. Setiap hari Kamis mereka sengaja mengenakan pakaian hitam atau membawa jaket hitam dari rumah untuk menemani kami dalam aksi Kamisan. Niat sekali,” kata pria tua di sebelah wanita tua, lalu menyapa satu per satu orang yang datang. Pria tua itu, Ragil pernah mendengar kisah hidupnya yang malang. Dia pernah dituduh komunis, lantas ditangkap, dikurung, dan disiksa oleh aparat dalam tragedi 1965 tanpa pernah diadili. 

Betulan saja, jam empat persis puluhan orang hadir. Banyak dari mereka adalah orang tua yang masih terus mempertanyakan keberadaan anak-anak mereka yang hilang diculik aparat pada tahun 1998. Secara bergantian menyuarakan sindiran untuk pelaku-pelaku pelanggaran HAM yang hingga kini masih bebas berkeliaran, bahkan diberi kehormatan dan jabatan. 

Wanita tua yang lain, yang ini memilih mewarnai ubannya dengan semir rambut warna hitam berkata, “Kudengar besok akan ada unjuk rasa di alun-alun demokrasi. Apa lebih baik kita bergabung?” Dia istri Munir, salah satu dari tiga orang penggagas aksi Kamisan. Luar biasa keberaniannya dalam mencintai aktivis HAM tersebut hingga kini.

Lihat selengkapnya