Kejahatan yang Sempurna

Maureen Fatma
Chapter #22

Senasib dengan Orang Utan

ORANG utan jantan duduk di ranting pohon sambil menatap awan. Tibalah waktu bagi dirinya bermigrasi ke tempat nun jauh, meninggalkan induk dan teman-teman betinanya. Semua pejantan muda seusianya sudah pergi. Tinggal dia dan pejantan-pejantan lain yang lebih muda. Yang tua tidak mungkin disuruh pergi dan yang betina terserah mau ikut migrasi dengan kekasihnya atau memilih tetap tinggal. Ah, musim buah masihlah lama. Makanan yang ada sudah semakin  menipis. Imbas dari habitat mereka yang terfragmentasi oleh keinginan manusia yang terlalu banyak. Sementara sang induk mulai galak terhadapnya. Maka ia putuskan akan pergi besok. Yah, besok, dia akan mengawali petualangannya dengan berayun dari pohon ini. Pohon yang sudah ada sejak dia dilahirkan. 

Siang tadi saat mengorek tanah mencari rayap dia bertemu dengan orang utan jantan tua berusia 61 tahun. Kera tua itu berbagi sedikit pengalaman. Katanya, jika hendak bermigrasi, hendaklah pergi ke arah Timur menuju perbukitan. Barangkali di balik perbukitan itu nanti, dapat ia temukan surga baru yang penuh pohon-pohon berbuah. Dan, jangan coba-coba pergi ke Selatan karena di sana letak perkampungan manusia—mereka suka menangkap monyet dan kera untuk dijual. Juga jangan sekali-kalinya pergi ke Utara sebab ada perkebunan kelapa sawit—dulu sebelum ditanami pohon kelapa, pernah terjadi kebakaran hebat yang sepertinya disengaja, membuat semua hewan berlarian menyelamatkan diri. Di barat, ada jalan aspal yang  jika dipijak terasa panas, biasanya dilalui banyak truk-truk besar. Tempat itu telah memakan korban. Orang utan betina yang sedang mencari anaknya pernah terlindas ban truk. Kalau di Tenggara, ada yang namanya Ibukota Baru—sedang dalam proses pembangunan. 

Apakah itu Ibukota Baru? Apakah berarti ada ibukota lama? tanya orang utan jantan muda sambil mengorek sarang rayap memakai sebatang ranting kering. Aku tidak tahu banyak tentang ambisi manusia, Nak, kata orang utan jantan tua. Malam hari semua pembicaraan mereka di siang hari berputar-putar di kepala orang utan jantan muda. Tapi dia harus cepat tidur untuk perjalanan panjangnya besok. Dia hanya perlu mengingat satu arah: Timur.

Tepat saat matahari terbit, orang utan jantan muda bangun. Dituntun oleh matahari, ia memulai perjalanannya dengan berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Hingga sampailah si orang utan di salah satu pohon di puncak bukit. Ada keanehan yang dilihatnya. Ia tidak dapat memastikan apakah keanehan itu, tapi yang jelas itu bukan hutan. Didorong rasa penasaran, mendekatlah si orang utan.

Benar, itu bukan hutan. Tidak ada pohon yang tumbuh. Tidak ada makanan. Hanya ada tanah lapang yang dikeruk dengan kejam. Orang utan jantan muda bingung. Dia merasa ditipu orang utan jantan tua. Tahu begini, ia tidak mau pergi. Lebih baik tidak usah kawin sampai musim buah datang sepuluh kali dalam setahun dan menghasilkan banyak makanan sehingga tak perlu ada lagi yang bermigrasi. Lalu terdengar suara-suara asing di telinganya. Bukan suara burung, bukan suara primata, bukan juga suara serangga. Ia menoleh dan mendapati beberapa manusia menunjuk-nunjuk dirinya. Mereka mengepung dengan membawa semacam tongkat panjang yang diarahkan kepadanya. Orang utan jantan muda merasa terpojok. 

Ragil menghisap sebatang rokok di atas gedung rumah sakit tempatnya bekerja. Jam kerjanya berakhir satu setengah jam yang lalu. Sekarang dia menyendiri di sini sambil menatap awan macam orang utan jantan muda di atas pohon. Rencananya, Ragil akan pulang setelah senja surut. 

Dari sebungkus rokok yang didapatnya dari Akio saat mereka bersua di depan instalasi pemulasaran jenazah, baru dua batang yang dihisapnya. Masih tersisa banyak. Ia belum terpikir mau dihabiskan sekalian atau disimpan untuk nanti-nanti. Oh, baik sekali takdir mempertemukan senja dengan sebungkus rokok gratisan. 

Tak ada alasan khusus kenapa Ragil begitu menyukai langit di waktu senja. Ragil ingat ibunya pernah bercerita tentang dirinya ketika masih usia 4 tahun. Sesuka itu Ragil pada semburat warna oranye di langit sampai-sampai ia dengan mudah ditemui di atap rumah tiap sore. Waktu itu bapak kandungnya masih hidup dan mereka punya rumah tiga lantai. Ragil suka sekali dengan rumah mereka, dengan harta mereka. Bapak kandungnya tahu kebiasaan Ragil, maka suatu waktu pergilah mereka ke Santorini, tempat paling spektakuler untuk menikmati senja. Di sana Ragil dapat melihat langit senja dipenuhi beragam warna, membuatnya bertanya-tanya dari mana warna merah muda yang muncul bersama warna jingga di langit Desa Oia sebab ia belum pernah melihat ada warna lain selain Oranye di waktu matahari terbenam. Damn! Ragil bahkan masih ingat nama desa yang terletak di atas kaldera gunung berapi bawah laut itu. Untuk telinga anak kecil seperti dirinya saat itu, nama Oia sangat mudah diingat. 

 Momen itu adalah kenangan paling menakjubkan yang Ragil ingat bersama bapak kandungnya. Ia duduk di punggung bapak kandungnya. Senja yang indah. Takkan terlupa selamanya. Suatu hari Ragil ingin kembali ke sana, ke Santorini. 

Lalu dimulailah masa terpuruk itu. Sebulan setelah mereka habis berpergian ke Santorini,  bapak kandungnya meninggal kena serangan jantung di waktu sunup, dua bulan berikutnya ia dan ibunya terusir dari rumah tiga lantai mereka. Katanya rumah ini seharusnya jadi milik istri sah bapaknya. Semakin jungkir baliklah hidup Ragil tatkala ibunya memutuskan menikah dengan Sutejo dan pindah ke rumah preman itu: rumah satu lantai yang kecil. Sebal sekali Ragil dengan rumah Sutejo. Kabar baiknya, Sutejo punya pohon mangga di halaman rumah. Ragil menamai pohon itu “Oia”. Di dahan tertinggi Oia, Ragil duduk nyaris setiap sore. Sutejo tak masalah. Malahan Sutejo yang mengajari Ragil teknik memanjat dan bergelantungan seperti orang utan. 

“Apakah kau sudah berkenalan dengan wewe gombel penunggu pohon mangga itu?” tanya Sutejo di suatu waktu saat hendak memanggil Ragil kecil untuk berbuka puasa. Rupanya, preman itu kenal bulan Ramadan. Dia berhenti memukuli orang hanya di bulan puasa. 

“Memangnya ada?”

“Ada. Mengabdilah padanya supaya diangkat jadi anak biar ibumu tak lagi lelah mengurusmu.” Sutejo tertawa. 

“Mbok, ya, diamput!” Ragil kecil mendesis. Demikianlah anak-anak. Sering kali mereka belajar mengumpat juga dari orang tuanya. Dalam kasus Ragil kecil, ia sering mendengar Sutejo mengumpat dalam berbagai versi. Kalau Sutejo habis bertengkar dengan orang Jawa Timur, dia akan bawa pulang kata makian baru seperti “diamput” atau “jancok”. Kalau lagi, Sutejo bertengkar dengan orang minang, dia bawa pulang kata “pukimak” dan “pantek”. Ragil jadi punya semacam glosarium berisi macam-macam umpatan dalam berbagai bahasa daerah berkat Sutejo. 

Rumah kecil itu kini kosong. Sebetulnya beberapa kali Ragil pernah lewat. “Oia” di halaman masih sering berbuah. Buahnya selalu masam. Codot tak suka tapi dulu Sutejo sangat suka. Orang gila memang suka menyiksa diri sendiri.

Sutejo tak mungkin menempati lagi rumah itu karena ia bakalan hidup di penjara sampai mati, sedangkan Ragil mewarisinya. Belakangan ini Ragil mulai memikirkan rumah kecil itu. Dia punya tabungan—sebenarnya tabungan pernikahannya dengan Runi—Ragil bisa mengalihkan uang itu untuk merombak rumah lama Sutejo menjadi layak baginya tinggal. 

Pikiran itu muncul gara-gara foto insiden penembakan Tagumpay tersebar di media sosial. Wajah Ragil ikut terekspos. Bagaimana tidak, ia ada di sana mencoba menghambat pendarahan Tagumpay. Polisi memberi klarifikasi kalau penembakan itu terjadi akibat Tagumpay menodongkan pistol ke petugas. Ada pistolnya, diperlihatkan ke seluruh awak media dalam keadaan dibungkus kantong kertas. Polisi juga mengungkap bahwa Tagumpay adalah penduduk warga negara Filipina.

Tak lama kemudian muncul unggahan video saat kejadian. Diposting oleh seorang mahasiswa pemberani yang saat kejadian sedang merekam aktivitas unjuk rasa. Unggahan  itu lantas direspon oleh jutaan orang. Dalam unggahan yang terus dibagikan, Tagumpay tidak tampak membawa senjata. Oknum itulah yang tiba-tiba muncul, menodongkan senjata, dan menembak Tagumpay. Besoknya, polisi pun meralat kembali ucapannya tanpa permintaan maaf. Sekarang Tagumpay ganti dituduh membawa narkoba. Telah dihadirkan dalam persidangan barang bukti berupa sekantong plastik sabu-sabu seberat dua kilogram. Tapi bukannya percaya, masyarakat justru muak. 

Oknum aparat yang membawa senjata api saat bertugas di lokasi unjuk rasa saja sudah salah menurut standar prosedur kepolisian. Tapi, kenapa masih bertele-tele. Ditambah dua kilogram sabu-sabu ditunjukan sebagai barang bukti, terkesan mengada-ada. Kasihan yang ditembak. Untung tidak mati. Hanya sial. Sial yang berkepanjangan. 

Masyarakat mulai membangun spekulasi. Dicetuskan pertama kali oleh netizen yang punya bakat cocokologi. Dibuatlah kisah kalau Tagumpay adalah Kapak Tumpul. Mengingat postingan Kapak Tumpul selalu berbahasa Inggris, buruk pula bahasa Inggrisnya. Lalu, siapa pemuda lain yang bersama Kapak Tumpul dan membantunya menghambat pendarahan? Menurut netizen dialah informan dalam negeri yang bekerja sama dengan Kapak Tumpul. Hebatnya netizen. Mereka mengungkap identitas yang mereka anggap sebagai informan itu beserta pekerjaannya.

Karena itu, Ragil sampai dipanggil ke ruang kepala bagian kepegawaian. Dia terancam dipecat jika terbukti terlibat dalam kasus Tagumpay. Masalahnya, setiap tahun Ragil harus membayar sewa tanah untuk rumahnya. Andai kata dia benar-benar dipecat dari pekerjaan, maka sudah pasti rumah Sutejo menjadi pilihan terakhir. 

Asap mengepul dari hidung dan mulut Ragil. Ia membayangkan asap rokoknya terbang dan menyaru sebagai awan. Lalu, terdengar dering ponsel dari dalam saku celananya. Ragil merogoh untuk mengeluarkan benda persegi panjang yang orang utan pasti tidak punya. Nama Haloha muncul di layar ponsel. Ragil menghela. Tadinya dia tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

Lihat selengkapnya