MARIA mulai mempertanyakan dirinya yang mungkin keliru. Sejak awal jika Ragil seorang pembunuh maka seharusnya dia sudah membusuk tanpa jantung di tengah hutan bambu, atau lebih nahas dari itu, mayatnya tidak pernah ditemukan karena habis disantap komunitas kanibal. Tapi itu tidak terjadi, pun hari ini ia tak jadi dilempar ke sungai.
Ragil masih terus dan mungkin akan terus membiarkannya hidup. Tidak ada percikan hasrat membunuh di mata pria itu setiap kali mereka bertengkar sekalipun Ragil mengucap sumpah hendak membunuhnya. Hanya terpantul kebencian dan kekecewaan yang mendekam erat pada kedua bola mata pria itu.
Maria berjalan di atas jembatan tanpa alas kaki dengan rambut awut-awutan. Sepatu sandalnya tertinggal di kamar mandi Malik Kembul sebab tadi ia terburu-buru lari untuk mengekor pada Ragil. Sepanjang jalan orang-orang menatapnya kasihan sambil menyayangkan mengapa wanita secantik dirinya bisa menjadi gila. Maria tak peduli. Biarlah orang menganggapnya gila.
Kepalanya penuh kemungkinan, hatinya penuh kesalahpahaman, perutnya penuh cairan ketuban. Maria menghela nafas berat. Betulkah ia yang keliru? Yakinkah ia bahwa Ragil sebetulnya cuma bermaksud menghukum papanya, bukan membunuhnya?
Namun seandainya memang dirinya keliru, dengan cara apa ia meminta maaf. Otaknya tak terbiasa mengolah kalimat permintaan maaf. Lidahnya, apalagi. Tak bakal seorang pun mengerti betapa sulit bagi Maria untuk mengucapkan kata ajaib. Maria ingat betul bagaimana ibunya memanipulasi orang-orang di sekitar mereka dengan mengeksploitasi empat kata ajaib: maaf, terima kasih, tolong, dan permisi. Sampai-sampai Maria hafal kebiasaan ibunya dan ia menjadi satu-satunya orang yang kebal dengan segala macam akal keling sang ibu.
Demikian membuatnya tumbuh tanpa pernah ingin memahami keistimewaan empat kata ajaib. Sepele saja, ia tak suka kata “maaf” karena ibunya mudah sekali berpura-pura tolol, dan minta maaf sebagai upaya klasik ibunya tapi sebenarnya lebih merupakan defleksi yang menggambarkan bahwa ibunya tak ingin bertanggung jawab atas perilakunya yang merugikan. Maria juga tak suka kata “terima kasih” sebab ibunya selalu mengatakannya dengan nada angkuh hanya karena orang memujinya. Maria tak pula suka kata “tolong” karena ibunya pandai memelas. Dan, Maria tak suka kata “permisi” karena ibunya tersenyum di depan banyak orang tapi menikam mereka dari belakang. Pokoknya Maria benci kemunafikan yang dibalut empat kata ajaib. Maria benci seluruh hal yang erat dengan kebiasaan sang ibu. Ia cenderung mencontoh papanya yang egois, ambisius, dan percaya diri akut. Kebingungan melanda ketika sekarang dia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf pada Ragil.
Setiba Maria di depan rumah budenya, terlihat mobil sedan tua warna merah milik Ragil parkir di halaman. Maria lekas masuk lalu mendapati Ragil, budenya, dan anak-anak budenya berkumpul di ruang tamu. Betulan saja, Ragil langsung menemui budenya.
“Lihat siapa yang datang, Maria!” pekik anak laki-laki dari bude Maria, Frans. Usia Frans 2 tahun lebih tua dari Maria, bergelut di industri fashion, belum berkeluarga, dan sepertinya mempunyai semacam penyimpangan seksual.
“Ragil akhirnya datang! Lama sekali tak jumpa dengannya. Ternyata aku punya sepupu yang tampan dan manis,” sahut anak perempuan bude Maria, Dora. Lugu wajahnya tapi tak lebih hanya topeng belaka. Padahal baru dua hari yang lalu Dora habis menabrak seorang wanita hingga tewas di jalan raya. Tentu saja bude Maria dengan wewenang dan kuasanya membungkam media. Alhasil kasus Dora tidak sampai bocor di berita-berita televisi. Sesekali muncul di sosial media tapi tak banyak mendapat perhatian, terbenam oleh konten-konten buzzer.
“Ya, Tuhanku! Dari mana saja kamu, Maria?” Bude Maria berdiri. Raut mukanya sama sekali tak hirau dengan penampilan Maria yang memprihatinkan saat ini. Bude Maria lebih kepada bangga karena Maria berhasil membuat Ragil datang atau lebih tepatnya berserah diri. Entahlah istilah mana yang tepat untuk kedatangan Ragil. Yang jelas informasi dari Maria mengenai Tagumpay memberi ide cemerlang buat menaklukan Ragil.
“Sekarang aku mau pulang.” Ragil pamit. Suara dan gestur tubuhnya mengambang. Sudah sejam dia di ruang tamu itu.
Bude Maria tersenyum mempersilakan Ragil pulang. Tampak sudah dapat apa yang ia mau.
“Tenang saja, Gil. Temanmu orang Filipina itu pasti bebas. Apa yang tidak bisa mamaku lakukan untuk membantu keluarga.” Dora memeluk Ragil.
“Benar, serahkan semua pada Mama.” Frans menimpali.
Situasi menjadi aneh di mata Maria. Dora dan Frans tidak pernah seramah ini. Jangankan pada Ragil, sepupu terbuang, pada Maria saja mereka menganggapnya sebagai rival.
“Jika ingin cepat menyingkirkan Pria Tambun lekas bebaskan rekanku,” kata Ragil kepada bude Maria seraya melepas rangkuman Dora dari bahunya. Rumah ini dan seluruh penghuninya membuatnya kesulitan bernapas.
“Tentu, Nak. Beberapa hari ke depan temanku akan bebas.” Bude Maria menepi. Baru saja ponselnya terhubung dengan seorang kenalan di kantor Kejaksaan.
“Palingan cuma semalam. Tanyakan pada Dora berapa lama Bude dapat membebaskan temanmu,” ujar Maria memandang ke arah Dora. “Butuh waktu berapa lama bude membebaskanmu, Dora?” tanyanya pada Dora kemudian.
“Come on, Maria! Aku sudah mau melupakannya.” Dora melirik Maria sinis.
“Ini baru semalam dan kau sudah melupakan orang yang kau bunuh.” Ada yang berbeda dari diri Maria ketika ia mengatakan kalimatnya seolah ia bukan bagian dari penghuni rumah ini.
“Diam kau, Maria! Itu masalah Dora.” Frans membela adiknya.
“Apa?” Ragil memastikan pendengarannya tak salah dengar dan otaknya tak salah cerna. Ia lalu menatap penuh ke Dora. “Kamu habis membunuh orang? Siapa yang kamu bunuh?”