SENIN pagi yang basah. Maria keluar untuk menyapa kabut dan mencium harum udara pagi. Tanah masih menyimpan air hujan sisa semalam. Burung berkicau syahdu, suara kesiur angin, suara daun berdesir, juga suara batang-batang pohon bambu yang berderit dan saling mengetuk, semua itu menciptakan suara alam yang mampu membawa seseorang mencapai kesadaran meditatif. Pantas rumah ini dibangun di tengah hutan bambu oleh seseorang yang menahbiskan hidupnya berseteru dengan ketidakadilan.
Maria menghirup dalam-dalam bau asiri dan bau embun yang menyentuh tanah. Sudah lama rasanya Maria tak sedamai ini. Hari ke hari ia lalui dengan begitu keras. Banyaknya bekas luka di tubuhnya menjadi catatan sejauh apa ia bertahan sejak papanya meninggal.
Pintu dibuka, Maria menoleh. Ia melihat Ragil siap berangkat kerja memakai seragam coklat dengan ikat pinggang dan sepatu warna hitam. Penampilannya rapi dan harum. Rambutnya masih setengah basah yang menguatkan aura segar, sesegar udara pagi dan hembusan angin. Maria dan Ragil hanya saling menatap beberapa detik tanpa bertegur sapa. Mobil menderu dan mereka terpisah oleh jarak.
“Bapakmu cuma terlihat waras luarnya saja,” gumam Maria kepada janinnya, menatap mobil sedan tua Ragil yang menderu pergi.
Maria masuk kembali, berniat mengais makanan di dapur dan di lemari es Ragil. Terdapat segelas susu hangat siap minum di atas meja makan. Maria mengendus. Tadinya mencurigai bau-bau kimia yang mungkin saja larut dalam susu tersebut.
“Jika kita berdua mati karena meminum susu ini, semua adalah salahmu.” Lagi, ia berbicara pada janinnya.
Maria menyalakan televisi, lanjut duduk di sofa sambil meneguk susu buatan Ragil berkali-kali. Acara berita pagi muncul pertama kali setelah televisi dinyalakan. Substansi acara pagi itu adalah pembahasan topik dari program mingguan yang dibawakan oleh Dora semalam. Pembawa acara berita pagi menilai Dora menyisipkan enigma kepentingan dalam acara mingguannya semalam. Pembawa acara berita pagi juga berpendapat bahwa Dora dan kru-kru yang terlibat semalam harus sanggup bertanggung jawab atas informasi yang mereka sampaikan bila informasi itu salah.
Dalam acara live Dora yang rutin dimulai pukul tujuh malam setiap hari minggu, Dora menggebrak seluruh media baik pertelevisian maupun media-media berita di internet. Dia mengaku telah menemukan sosok di balik akun Kapak Tumpul. Bukan Tagumpay si pengedar narkoba asal Filipina yang selama ini dikira-kira. Melainkan seorang karyawan yang bekerja di bagian rekam medik di sebuah rumah sakit pemerintah. Tak tanggung-tanggung, Dora menyebut nama lengkap Ragil.
Dora sengaja tak menyebut nama belakang Ragil yang sama dengan nama belakangnya, Djoyodikusuma. Arya Ragil, seorang pemuda berusia 28 tahun, pemuda yang membantu menghentikan pendarahan seorang warga negara Filipina yang tertembak oleh oknum polisi di tengah demonstrasi itu adalah Kapak Tumpul yang sebenarnya. Dora menilai apa yang dilakukan Kapak Tumpul sangat merugikan negara dan banyak pihak.
Kapak Tumpul telah menguntit data-data nasional dan mempergunakannya untuk mengancam pihak-pihak tertentu. Dora menghadirkan pula Pedangdut dan seorang manager bank cabang sebagai korban. Beberapa bulan yang lalu Pedangdut dan Manager Bank Cabang mengaku mendapat ancaman dari sebuah nomor yang mengaku Kapak Tumpul.
Netizen di media sosial meributkannya. Sangking ributnya, mereka yang semula tidak begitu ingin tahu tentang Kapak Tumpul sekarang ikutan berkomentar. Namun, Dora sama sekali tak pernah akan menduga jika tanggapan mereka sangat bertolak dengan kritikan tajam Dora mengenai Kapak Tumpul. Netizen memuji keberanian Kapak Tumpul. Mereka berpendapat bahwa Kapak Tumpul adalah sosok pahlawan masa kini yang memperjuangkan keadilan. Senada dengan yang disampaikan Pembawa Berita Pagi. Ada pula argumen dari netizen-netizen centil, yang menakar segala sesuatu berdasar tampilan wajah, menilai bentuk rahang tegas yang dimiliki Ragil di foto yang kini beredar luas mencerminkan pribadi pemberani dan karismatik.
Kubu-kubu pembela dan pembenci Kapak Tumpul segera terbentuk hari itu. Maria mendadak sibuk mengikuti berita-berita mengenai Ragil di televisi. Waktu terus beranjak. Susu yang Maria pegang kini sudah tandas. Kemudian terdengar deru mobil memasuki halaman. Maria berdiri. Mengintip siapa yang datang.
Akio turun terburu-buru dari mobil hitamnya dan masuk ke dalam rumah Ragil begitu saja. Kata sandi pintu tak jadi halangan. Ia habis menerima sebuah mandat dari Ragil untuk segera membereskan hal-hal kotor mereka di dapur rumah Ragil sebelum polisi merespons acara Dora semalam.
Betapa terkejutnya Akio saat bertatap muka dengan Maria yang termangu di dekat jendela sambil membawa gelas susu.
“Gusti Pangeran! Aku kaget, Maria.”
“Apa yang terjadi? Di mana Ragil?”
Akio mengatur nafas sebelum menjawab. “Di kantor. Dia dipanggil kepala kepegawaian. Entahlah, sepertinya dia akan dipecat,” katanya sambil mengenakan sarung tangan nitril.
Maria bingung tapi Akio tak menggubris kebingungan Maria. Akio segera menggeledah semua lemari dapur Ragil. Pencariannya berbuah ketika ia berhasil menemukan kamera perekam. Memeriksanya sebentar, memastikan ia mengambil kamera yang benar. Dan, sepertinya memang tidak ada kamera lain. Hanya itu kamera yang sama yang Ragil gunakan untuk merekam di dapur. Akio lanjut mencari sesuatu di dalam lemari es. Mengambil sebanyak dua buah jantung beku yang sudah di-wrapping rapi.
Perut Maria mual. Akio curiga Maria tahu jantung apa ini.
“Kau sudah tahu?”
Maria menggeleng bohong.
“Kalau sudah tahu, diam baik untuk keselamatanmu.” Akio berkata. Nadanya terkesan bukan seperti dirinya yang biasanya. Suaranya datar dan dingin, ekspresinya serius. Ia tak mau membahayakan reputasinya sebagai dokter patologi yang disegani. Akio lanjut membungkus semua temuannya dalam kantung hitam. Tak luput memeriksa lubang pembuangan wastafel dan menamati satu per satu pisau milik Ragil. Jangan sampai ada noda darah atau serat-serat jantung yang tertinggal.
“Apa Ragil akan pulang cepat?” tanya Maria lagi.
“Aku tidak tahu, Maria. Aku tidak tahu apa pun yang dia rencanakan.” Akio mencangking kantong hitam berisi rahasia dirinya dan Ragil untuk dibawa pergi.
***
Wohoho! Orang-orang meneriakinya. Ragil tak menduga bahwasanya dia akan kembali ke apartemen Malik Kembul dengan masih mengenakan seragam kerja yang sudah tak karuan. Wajahnya seperti habis disiram seember peluh belum lagi rambutnya yang selalu rapi kini awut-awutan.
Pukul setengah enam, menjelang maghrib tadi, Ragil baru keluar dari hutan dengan kapak di tangan kanannya tanpa menenteng hasil buruan seperti pemburu yang sedang sial. Ragil menyerah karena petang melanda. Kemudian tibalah dia kini di markas besar Malik Kembul. Disambut heboh oleh orang-orang Malik Kembul sebab identitasnya sebagai Kapak Tumpul sudah beredar luas hanya dalam hitungan jam.
“Bantu aku mencari seseorang yang bersembunyi di dalam hutan,” kata Ragil di depan Malik Kembul yang terbengong.
“Kapak Tumpul tak sanggup?” tanya Malik Kembul senada saat ia memberi pertanyaan pada istrinya yang ingin dibukakan tutup botol.
“Aku belum pernah naik gunung.”
Seisi ruangan terpingkal.
“Hidup atau mati?” tanya Malik Kembul.
“Hidup dengan lima jari terpotong.”
“Lalu?”
“Buang dia di depan kantor polisi. Aku akan merekamnya dari kejauhan,” jawab Ragil. Peluh belum mengering.
“Terus, lima jari yang kau mau?”
“Berikan padaku.”
“Aku penasaran untuk apa?” tanya Malik Kembul.
“Untuk kumakan.” Ragil tak bercanda. Dia tak pernah mau menganjak preman bercanda.
Lagi, satu ruangan terbahak kecuali Ragil.
“Dasar rakus!”
“Terserah.” Ragil tetap tak mengendurkan muka seriusnya sambil terengah-engah.
“Kau sungguh-sungguh?”
“Aku biasanya hanya makan jantung penjahat. Tapi, karena aku tak mau kehilangan kesempatan memakan penjahat ini karena mungkin saja keluarganya tak mau mengotopsi jenazahnya nanti, maka aku ingin jari-jari tangan kanannya lebih dulu,” terang Ragil. Tenang dan dingin.
“Dia serius, Bang,” gumam seorang penjahat ke samping telinga Malik Kembul.
“Sinting betul kelakuannya,” bisik yang lain.
“Dia anak si sinting Sutejo. Pantas saja jika dia sinting,” kata Malik Kembul kepada anak buahnya.
Ragil diam menunggu mereka selesai bergosip. Dirasa memakan waktu lebih dari sepuluh menit, Ragil berdeham. Dan, mereka segera tersadar.
“Kami hanya belum pernah menemui manusia gila macam dirimu yang suka makan apa itu, jantung manusia. Tapi, baiklah. Buatlah kami setampan mungkin dalam rekamanmu!” Malik Kembul memutar tubuhnya, menghisap rokok terakhirnya. Begitu saja semua begundal tahu mereka harus segera bergerak mempersiapkan perlengkapan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya personil.
***