SEJAK awal permasalahan negeri ini adalah ketidakadilan; akar dari banyak kejahatan yang terjadi. Sudah begitu tanda-tanda ketidakadilan itu sengaja dibuat buram dengan menekan perekonomian, meninggikan pajak, membodohkan anak-anak, memelihara hedonisme dan konsumerisme sehingga sibuklah rakyat dengan keadaannya tanpa mempedulikan ketidakadilan yang menimpa orang-orang sial.
Ragil setuju bahwa para filsuf yang menuliskan pemikiran-pemikiran politik mereka ke dalam buku-buku sebetulnya amat mungkin menjadi malapetaka jika dibaca oleh orang-orang dengan bibit-bibit rakus dan keji. Buku-buku semacam itu hanya pantas dibaca oleh manusia-manusia bijak yang memahami betul pesan di dalamnya.
Para filsuf dan politikus itu adalah Karl Marx dan Niccolo Machiavelli. Teori-teori mereka hingga kini masih relevan dengan kondisi politik modern. Indonesia pernah melarang buku karya Karl Marx; serius, konyol sekali ini karena pernah betulan terjadi. Alasannya semua yang dibisikan dalam buku-buku Karl Marx banyak yang bertentangan dengan Pancasila. Sementara itu revolusi besar terjadi di Tiongkok karena terinspirasi dari teori-teori besar Karl Marx.
Oh, Marx … aku mencium bangkai di dinamika politik bangsaku. Katanya kami tidak boleh menjadi Marxisme. Namun apa yang terjadi hari ini: ideologi bangsa dikangkangi sendiri oleh pemain-pemain andal macam Machiavellianisme sejati–tak perlu kujelaskan dari mana mereka mendapat kekuasaan.
Ragil menguap. Dia sudah berada di dalam mobil seharian, keluar hanya untuk urusan perut, kemih, dan dubur. Saat dia bergerak dari toko roti menuju warung makan, Ragil melihat mobil hitam turut bergerak mengekori mobilnya. Ini terjadi pasti karena ia lupa menutup siaran langsung sehingga tanpa sengaja ia menunjukan posisi keberadaannya. Selesai makan, Ragil bergerak lagi dari warung makan ke pom bensin, hendak buang air, dan rupanya mobil hitam itu tak jua ingin kehilangannya.
Bulan depan bude Maria harus mengurus pernikahan Maria. Mengingat itu Ragil merasa berat sekali memutuskan mempercepat aksinya yang kali ini berkaitan dengan bude Maria. Sedangkan Maria kudu buru-buru menikah sebelum perutnya membesar dan memalukan. Namun, apalah daya, Ragil tak punya pilihan lain selain mempercepat aksi selanjutnya sebab dia sudah dibuntuti.
Ragil menelpon Akio, minta tolong menjemput dua orang di rumahnya. Awalnya Akio menolak, enggan campur tangan dalam aksi Ragil. Akio harus melindungi izin prakteknya sekaligus melindungi nama baik keluarganya. Tapi Ragil memohon sebagai seorang teman yang memegang banyak rahasia.
“Dua orang yang kamu maksud siapa? Wong, aku hanya melihat Maria di rumahmu,” tanya Akio melalui ponsel.
“Maria dan Tagumpay.”
“Tagumpay? Pengedar narkoba asal Filipina itu? Edan ya kamu! Kenapa dia belum juga kembali ke negara asalnya?” Akio benar-benar terdengar keberatan.
“Dia bukan pengedar. Dia baru mau pulang setelah memenjarakan dalang yang membuatnya tertembak dan difitnah.”
“Ada-ada saja kemauannya. Terus, kenapa mesti aku yang jemput bukan kamu? Jangan-jangan kau sedang diikuti?”
“Ya. Aku diiikiti beberapa orang.”
“Mampus! Kau akan lenyap seperti Widji Tukul. Sudah kunasehati dari dulu. Terus, ke mana aku bakal bawa mereka?” Akio cerewet.
“Ke rumah bapakku. Setelah ini kukirim alamatnya kepadamu.”
“Almarhum Pak Rockim?” Akio mengenal sebagian besar orang-orang di keluarga besar Djoyodikusuma.
“Bukan. Sutejo,” jawab Ragil.
“Sejak kapan kau menganggap Sutejo adalah bapakmu?” Akio menertawakan meski tawanya terdengar mengambang karena sebetulnya dia tidak sedang ingin tertawa dalam situasinya sekarang.
“Sudahlah. Drop mereka ke rumah Sutejo, sekarang!”
Akio mengiyakan sambil mencoba mengubur beberapa hal yang mengganggu pikirannya. “Kuminta satu hal, seandainya kau tertangkap, jangan sebut namaku! Aku tidak tahu apa-apa. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa.”
“Baiklah, kau tidak tahu apa-apa, Akio,” ulang Ragil.
“Ya, aku memang tidak tahu apa-apa.” Segera saja setelah itu, Akio mengemudi menuju rumah Ragil: rumah di tengah hutan bambu yang menyeramkan terlebih saat malam mulai menggerogoti senja.
Tiba di sana, cepat-cepat Maria dan Tagumpay dihalau keluar oleh Akio dari dalam rumah Ragil untuk kemudian meninggalkan rumah Ragil menggunakan mobilnya. Tugas Akio tinggal mengikuti arahan navigasi yang Ragil berikan.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah lama Sutejo, malam seolah memburu mobil hitam Akio. Akio memegang kemudi dengan tangan bergetar. Kakinya selalu bernafsu menginjak pedal gas meski saat dihadang lampu merah.
“Bisakah kita tidak terus-terusan menerobos lampu merah, Akio?” kata Maria yang duduk tepat di belakang Akio. “Kau malah membuat kita terlihat semakin mencurigakan di pantauan CCTV lampu merah,” tambahnya seraya mengusap perutnya.
Mobil tiba-tiba berhenti mendadak tepat di lampu merah berikutnya. Perut Maria nyaris menghantam kursi depan. “Sial!” umpat Maria menempeleng kepala Akio dari belakang. Akio mengaduh. Sementara Tagumpay meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.
“Maaf-maaf,” ujar Akio, bergetar suaranya dan seluruh tubuhnya. Maria benar. Mobilnya akan dicurigai karena berkali-kali menerobos lampu merah. “Dia kenapa?” Akio melirik Tagumpay.
“Entahlah tapi sepertinya kau harus segera menolongnya. Wajahnya semakin pucat dan tubuhnya mulai menggigil,” kata Maria.
“Tahan! Sebentar lagi kita sampai dan aku akan mencoba membantunya,” ujar Akio. Matanya bolak-balik mengamati kaca spion, berharap tak ada yang mengikuti mereka.
“Kemana kamu membawa kami?” tanya Maria.
“Ke rumah bapaknya Ragil.”
“Di mana Ragil saat ini? Untuk apa kami ke sana?”
“Aku tidak tahu. Jangan banyak tanya! Aku tidak tahu apa-apa.” Akio menjawab seperti pengecut.
Memasuki jalan sempit yang terbentuk dari dua gedung besar yang saling berhimpitan, sampailah ketiganya di sebuah rumah. Rumah itu terletak di ujung jalan buntu. Sebuah rumah lama lengkap dengan dua jendela kotak-kotak klasik di samping pintu masuk. Halaman depannya luas dengan pagar tembok setinggi pinggul orang dewasa.
Pada halamannya yang luas, tumbuh sebatang pohon mangga yang tingginya melebihi tinggi rumah itu sendiri. Daunnya rindang. Asri dipandang. Di antara cabang-cabangnya yang kokoh terdapat bekas rumah pohon. Sudah reyot, riskan ambruk.
Dua pria kekar tampak berjaga di depan pagar. Satu di bawah pohon mangga. Maria menjerit, tak mau turun padahal Akio sendiri pun belum tentu berani keluar dari mobil. Lebih dulu Akio menghubungi Ragil guna memastikan siapa gerangan dua preman yang disebut-sebut Maria sebagai antek Malik Kembul. Siapa pula Malik Kembul? Akio merasa sejauh ini dia benar-benar tak tahu apa pun, dampak dari tidak mau tahunya itu.
Ragil melalui telepon yang terhubung dengan Akio menjawab benar bahwa dua preman yang mereka lihat adalah anak buah Malik Kembul. Malik Kembul sendiri adalah pimpinan dari sekelompok preman yang menguasai wilayah parkir di Pasar Ikan. Kenapa jauh sekali pria culun sepertimu sampai mengenal sekumpulan preman? ucap Akio. Dijawab Ragil, Malik Kembul adalah kawan bapakku.
“Jadi hubungan bapak dan anak kini sudah membaik?” Akio mendengus. “Sekarang bisa kutinggalkan Maria dan Tagumpay di sini? Aku mau pulang. Kupastikan ponselku tidak lagi bisa kau hubungi.”
“Tidak, Akio.” Ragil menghalangi.
“Kenapa? Apa lagi?” teriak Akio marah.
“Kalian bertiga lebih aman di dalam rumah itu. Malik Kembul akan menjaga kalian. Orang-orang yang mengikutiku, aku tahu siapa mereka.”
“Siapa?”
“Mereka Haloha dan Kapolres Imam Budialim. Aku tidak menjamin Haloha tak tahu apa-apa tentang komunitas kita. Haloha terlalu hebat untuk diremehkan. Untuk berjaga-jaga tinggallah di rumah itu sementara waktu,” terang Ragil didengar oleh Maria dan Tagumpay.
Akio melirik kepada Maria. Bertanya, bagaimana ini? Akan tetapi, direspon berbeda oleh Maria.