Meletus! Bak petir disiang bolong aku tertohok karya ku sendiri. Ini persetanan, kenapa typo selalu jadi penyakit paling menyakitkan walau cuma dua huruf.
Revisi.
Dan ini sudah yang kelima kalinya, semenjak kak Lio sudah turun jabatan. Angkatan ku lah penggantinya, membuat proposal adalah tugas sekertaris yang tentu membuatku kegilaan seantreo. Dan jika saja semua orang faham, pak ketua hanya duduk manis dan menanda tangan tidak lebih dari tiga puluh detik.
Aku tak mempermasalahkannya, jika saja orangnya bukan Rusal. Cowok yang tak segan meledek ku secara vulgar lewat otak kanannya.
'tau kaidah kebahasaan yang bener kan? Itu pelajaran SD. Kalo huruf kapital itu di pake ketentuannya bu'
Atau...
'udah SMA, bikin proposal aja belibet. Makanya jangan pake perasaan bikinnya'
Sudah. Aku hanya akan memelototinya, dan kembali mendekat kearah meja kerja rodi ku. Kenapa aku harus hidup di organisasi ini sebagai babunya Rusal?, Walau ku akui, dia pintar. Aku kalah, tapi dengarlah, aku hanya butuh pengakuan Rusal! Aku bukan butuh tendangannya yang mematahkan.
"Hei, Aliran!"
Eh, aku menatap dengan ekspresi mengingat sok imut, atau mungkin itu fakta. Cowok dengan seragam Abdina Jaya itu menatap ku ramah. Pakaiannya agak brandal, dan jauh dari itu dia tampak baik dan sopan.
"Gue Imanuel. Iman. Masa Lo lupa?"
"Iman?"
Seolah tengah mencari kaset lama yang berguna, otak ku kini menemukan rekamannya.
Imanuel itu cowok yang mengirim chat tentang kegiatan baru usulan siswa yang menjadi proker bidang kreatifitas, Salsa yang mengirim nomornya kepada ku. Dan disana Iman mengirimkan album musik ciptaan band nya.
"Wah, Iman gak nyangka bisa ketemu disini, ucapku agak malu karena sempat lupa namanya."
"Nggak, ini sengaja." Iman mengambil kaset dari balik hoodienya. Sudah ku bilang dia lebih mirip anak brandal, karena jaket itu dilarang di Abdina Jaya.
"Dengerin ya, entar kalo suka komen aja di chat!"
Aku mengangguk.
"Apaan nih" dan sepertinya kini sudah menjadi aktivitas Rusal datang tanpa salam dan ikutan nyambung tanpa aba-aba.
Iman menatap datar, Rusal bersmirik seolah menghina, tangannya di kedua saku. Dan kedua tubuh jangkung cowok itu mampu mengimbangi tinggi Iman, mereka sepantar. bisa koleb nih, ujar ku dalam hati.
"Al, coba Lo selesain dulu proposal buat lusa. Gak usah pake pedekate an di depan sekretariat. Gak elit!" Ucapnya sarkas, sembari menatap Iman yang ku tebak sudah berapi api. Aku akui, aku juga sudah sakit hati di tuduh begitu, tapi Iman tak sepertiku yang sudah kebal kena mental tiap hari.
"Al, nanti gue chat Lo. Disini ada nyamuk kepanasan. Kasian!" Ujar Iman santai dan segera berjalan pergi, tanpa memedulikan lagi kasetnya.
"Aih. Lu mau nya apa sih Supri?" Ucapku kesal, walau dengan nada pasrah dan kembali ke meja.