"Terima kasih banyak sudah membantu sejauh ini, Pak!" Zora menghela napas dalam-dalam lantas menutup panggilan telepon dan meletakkan ponsel di meja rias, dan beranjak pergi.
Gadis berusia delapan belas tahun itu melangkahkan kakinya menuju dapur. Di sana ada sang bibi yang sedang menata kue kering pesanan beberapa tetangga tidak jauh dari rumahnya. Meyla Sarah namanya. Seorang gadis berusia tiga puluh tahun dengan fisik kurang normal.
"Bi, sini, biar Zora aja yang antar ke rumah Bu Susi." Zora mengambil dua susun kue tersebut.
"Yang pita merah punya Bu Susi, yang pita kuning punya Bu Ratih ya, Neng!" ingatkan Mey pada susunan yang ternyata memiliki warna berbeda.
Zora menganggukkan kepalanya paham. Dia segera pergi dan meninggalkan sang Bibi yang tengah memperhatikannya dalam. Ada gurat kepedihan terlukis dari wajah yang sudah tidak lagi muda itu. Mendamba rindu segera menemui ujungnya. Tapi entahlah, meski keadaan berangsur membaik, nyatanya rasa kehilangan itu masih membekas.
Hanya memakan waktu sepuluh menit saja, Zora sudah kembali datang. Dengan wajah semringah, ia memberikan lima lembar uang bergambar Presiden pertama Republik Indonesia. Senyum itu ia gambarkan serinci mungkin, agar Meyla tidak bertanya hal-hal yang tak ingin ia jawab.
"Alhamdulillah, semoga ini cukup untuk besok." Meyla mendekap uang itu ke dalam dadanya.
Hampir saja Zora kelepasan menitikkan air mata. Rasanya sangat bersyukur hidup bersama sang Bibi yang teramat sabar dan juga pejuang tangguh. Meskipun satu kakinya tidak sempurna, tetapi tidak menyurutkan perjuangannya demi meringankan beban keponakan cantiknya, Zora.
"Zora ke kamar dulu ya, Bi!" Meyla mengusap bahu Zora dengan sayang, seraya mengangguk perlahan.
Di kamar dengan luas tiga kali tiga ini, Zora merebahkan tubuhnya di atas peraduan. Menatap langit-langit rumah tanpa plafon itu. Terlihat seperti ada bintang di balik asbes yang menjadi atap. Padahal, itu bukti bahwa atap yang masih bertengger di sana sudah tidak layak dan mesti segera diganti. Namun, bukan itu yang menjadi pokok kemelut yang menggerogoti hatinya kini. Melainkan kerinduan juga sesal tanpa ujung yang selalu membelenggunya.
Matanya menerawang jauh menembus angan. Pikirannya melayang melanglang buana. Deru napasnya pun terdengar sangat tidak baik. Ada sesak menguasai, juga gelora yang mempengaruhi. Dunia seolah runtuh seketika, saat sekelebat bayang tentang kenangan pahit itu tiba-tiba muncul dalam angan.
Tanpa terasa, tetesan air bening nan hangat sudah mulai rembes dari setiap ujung mata gadis berwajah oriental tersebut. Matanya yang biasa menatap tajam, seolah sirna. Berganti dengan sendu dan ruang hampa tanpa cerita indah di dalam sana. Yang ada hanya kehilangan dan juga kepahitan. Tiga tahun sudah ia merasakan hidup seperti ini, namun, di depan sang Bibi ia mencoba untuk menutup lukanya dengan keceriaan.
***
Pagi itu begitu merepotkan bagi Zora. Akibat lupa menyetrika seragamnya kemarin, ia jadi tergopoh-gopoh saat jarum jam di kamarnya beranjak melewati angka tujuh. Ia akui, kemarin gadis itu sangat ceroboh dan terlampau menyepelekan hal ringan selayaknya tadi.
"Makan dulu, Nak." Elina, ibu Zora segera menyiapkan dua buah roti tawar yang sudah diolesi selai cokelat. Ia juga menuangkan segelas susu. Wanita itu meletakkannya tepat di hadapan sang putri satu-satunya.
Tanpa ba-bi-bu, Zora segera memakannya. Tak lagi memperhatikan sekitar dan melupakan sesuatu. Rasanya, ia ingin segera menghabiskan sarapannya, lantas segera pergi ke sekolah. Hari ini ada ujian tengah semester, ia tidak ingin terlambat sampai ke sekolah.
Belum juga terkunyah, deheman dari kursi samping menghentikannya seketika. "Bismillah dulu dong, Sayang!" Terdengar suara Rama, Ayah Zora, dengan nada yang lembut dan penuh wibawa.
"Eh, iya, Yah. Bismillahirrahmanirrahim ...." Zora kembali melanjutkan aksi mengunyahnya, setelah memberikan cengiran ciri khasnya saat kepergok seperti tadi.
"Allah tidak menyukai hambanya yang tergesa-gesa. Jadi, makannya pelan-pelan aja ya, Nak!" pinta Rama pada gadis remaja itu. Tak lupa ia mengusap kepala Zora yang berbalut hijab berwarna putih.
Lagi-lagi Zora hanya mengangguk dan menampilkan ekspresi serupa seperti tadi. Tapi ternyata, gelagat super ribetnya pagi ini terbaca oleh Ayahnya. Rama mengambil satu roti kemudian menambahkannya di piring Zora.
"Habiskan ya! Biar cepat besar!" katanya kemudian menyesap kopi hitam buatan istri tercinta.
"Yah, Ayah ... kok ditambahin lagi sih? Zora udah telat ini!" timpal Zora menekuk wajahnya.
"Masih jam tujuh kurang, kok. Memangnya telat ngapain?" tutur Rama membuat Zora mengangkat kepalanya, kaget.
"Masih jam tujuh kurang?" Ia mengulangi perkataan sang Ayah.