Suara alarm di atas nakas membuat bising ruangan kecil itu. Dengan sigap, tangan Zora meraihnya dan menekan tombol off. Langit masih gelap, namun ia mesti segera terjaga untuk membantu ibunya di dapur. Gadis itu terduduk di tepi ranjang, tangannya dengan lincah mengikat rambutnya yang semrawut. Beberapa kali mulutnya terbuka untuk menguap, dengan cepat pula ia menutup dengan telapak tangan.
Sudah tiga bulan ia hidup dalam kubangan rasa bersalah. Keceriaannya seolah hilang, berganti dengan sosok baru semenjak kemalangan itu merenggutnya. Zora menjadi remaja pendiam. Tidak pernah membantah, dan selalu melakukan apa yang orang lain perintahkan. Tidak peduli siapapun orangnya. Ia hanya merasa takut kehilangan.
Semenjak kepergian sang Ayah, perekonomian keluarganya merosot drastis. Gaji terakhir, juga bantuan dari berbagai kolega sudah hampir tandas, untuk keperluan tahlil dan sodakoh atas nama Rama. Sudah sebulan ini, ibunya mencoba peruntungan dengan usaha kecil-kecilan. Keterampilan Rama dalam hal mengolah makanan, menular pada sang istri, Elina. Ia membuat berbagai macam kue kering, dan menjajakannya ke setiap warung.
"Sudah sholat tahajjudnya, Nak?" Zora mengangguk, kemudian duduk di samping sang ibu yang tengah mengolah bahan makanan.
"Bibi Mey?" tanyanya lagi.
"Badan bibi demam, jadi nggak Zora bangunin. Kasian," tukas Zora.
"Pegang ini, ibu mau liat Meyla." Zora mengangguk dan mengambil alih pekerjaan ibunya, ia menuntaskan beberapa makanan yang tinggal sedikit lagi dicetak.
Meyla adalah adik satu-satunya Rama. Baginya, Meyla adalah puteri sulungnya. Memiliki fisik yang tidak sempurna, membuatnya semakin menjaga dan melindungi dari mata manusia yang mencemoohnya. Meyla sangat sulit untuk bisa berbaur dengan orang lain. Kecuali, Elina, kakak iparnya sendiri. Wanita berparas lembut itu pintar mengambil hati Meyla. Sehingga kedekatannya bukan lagi seperti adik dan kakak ipar, melainkan seperti ibu dan anak. Padahal, usia mereka tidak terpaut sangat jauh.
"Mey, Sayang, kamu demam. Mbak kompres, ya!" Tanpa menunggu persetujuan Meyla, Elina sudah meletakkan handuk kecil yang sudah dicelupkan ke air hangat.
"Mey nggak apa-apa, kok, Mbak. Cuma pusing sedikit," kata Meyla dengan suara lemah.
Elina mengusap kepala Meyla, memijitnya perlahan, berharap rasa pusing yang mendera adiknya itu segera enyah. Akan tetapi, tangan Meyla menghentikan pijatan itu. "Sudah, Mbak. Mey cuma butuh istiraha aja. Nanti pas bangun udah enakan, kok!"
"Besok, setelah mbak pulang dari pasar, kita ke dokter, ya!" bujuk Elina mengelus lengan Meyla.
"Nggak perlu, Mbak. Ini udah baikan, kok!" tolaknya sehalus mungkin. Ia tahu, kakak iparnya sedang dalam kepayahan, sebisa mungkin dirinya tidak terlalu membebani.
"Ya, udah. Mey istirahat aja. Nanti kalau sudah azan subuh, mbak bangunkan, ya!" Meyla mengangguk perlahan.
Elina kembali ke dapur, mempersiapkan dagangannya untuk dijajakan di pasar kecil. Sebagian akan dibawa oleh Zora dan dititipkan ke kantin sekolah. Remaja itu tidak pernah menolak apapun yang diperintahkan oleh ibunya, bahkan, ia rela tidak jajan saat waktu istirahat. Tak ayal, ia selalu berpuasa demi menghemat keuangan ibunya saat ini.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat, tinggal menunggu beberapa menit lagi azan akan segera terdengar dari masjid di kampung mereka. Ketiga perempuan tangguh itu sudah terbiasa bangun lebih awal. Mereka tidak mau terlalu berpangku tangan pada setiap bantuan yang datang. Menurut mereka, ini adalah perjuangan yang sesungguhnya.
***
Zora termenung di kursi panjang dekat kantin. Di tangannya terdapat beberapa lembar uang lima ribuan dan dua ribuan. Sangkek yang selalu ia bawa, sudah kosong melompong. Seharusnya ia senang, sebab dagangannya hari ini laris manis. Namun, ada hal yang mengganjal isi hatinya. Kepalanya pun tak luput dari rasa pening yang menyergap tiba-tiba.
Minggu depan ada ujian semester, Zora tidak akan bisa mengikuti ujian itu jika tunggakan bulanannya belum dibayar. Ia berniat untuk keluar dari sekolah, dan bekerja saja ke luar kota. Ia ingin membantu memperbaiki perekonomian keluarganya yang mulai anjlok.
Ia juga berkeinginan membelikan bibinya sebuah alat bantu berjalan. Tongkat milik Meyla patah dua minggu lalu, karena tertimpa tangga saat ada tukang yang membenarkan atap tumah yang bocor. Hatinya merasa tergores tatkala melihat wanita yang sudah pantas memiliki dua atau tiga anak itu, berjalan menyeret kakinya sambil berpegangan pada dinding.
"Ra, pulang sekarang, yuk!" ajak Andin menarik tangan Zora.
Zora bergeming, sehingga tarikan tangan Andin terlepas begitu saja. "Kenapa?" Andin ikut terduduk di samping Zora. Matanya yang sipit, melirik tajam pada sahabatnya itu.
"Aku belum mau pulang," Zora berdalih.