Kucuran air keran mengalir menghantam jemari yang tengah menengadah di bawahnya. Meluruhkan sisa-sisa minyak dan tepung yang menempel. Mata itu menatap kosong pada air yang jatuh. Berharap setiap yang jatuh dan larut kemudian menghilang itu adalah rasa sedihnya. Harapnya setiap hari masih sama. Masih tentang rasa kehilangan.
Ini adalah tahun kedua semenjak kepergian sang ayah, juga hampir genap dua tahun ibunya berada di negeri nun jauh di sana. Zora dan Meyla masih bertahan dengan kehidupannya yang sederhana, cenderung lebih sulit. Apalagi dengan naiknya harga bahan-bahan kue, semakin melambung tinggi nyaris tak terkendali olehnya. Di usia yang masih terbilang remaja, ia berusaha memutar otaknya agar bisa kembali menstabilkan pengeluaran dan pemasukan.
Gadis itu sudah hampir delapan belas tahun sekarang. Tinggal menunggu beberapa bulan lagi akan melaksanakan ujian kelulusan sekolah. Namun, perangainya masih serupa seperti dua tahun silam. Menyendiri adalah kebiasannya saat ini. Ia tidak lagi memedulikan apapun, kecuali tentang sang bibi dan juga sahabatnya, Andin.
Dengan gesit, gadis itu membereskan bungkusan-bungkusan kue yang hendak dibawa ke sekolah seperti biasanya. Lalu mencuci alat dapur yang dipakai untuk bertempur. Meyla yang duduk di kursi begitu cekatan mengangkat beberapa kue dari oven. Ketelitian serta kehati-hatiannya membuat semua kue buatannya tidak ada yang gagal.
“Kamu mandi aja, Ra! Sudah jam enam, nanti telat berangkat ke sekolah,” perintah Meyla setelah menarik ekor matanya dari memandang jam dinding.
“Iya, Bi!” Zora segera bersiap ke kamar mandi, setelah selesai menyusun para kue cantik itu.
Di dalam kamar, gadis dengan postur tubuh kurus tinggi langsing itu menilik ponselnya sekejap. Berharap ada panggilan masuk untuknya dengan kode negara Saudi Arabia. Ia kembali meletakkan benda pipih persegi panjang itu ke atas nakas. Menatapnya sekilas dengan wajah sebal, kemudian bersiap.
Baru setahun yang lalu ia membeli sebuah ponsel yang cukup terjangkau harganya. Ia merasa sungkan dan kurang nyaman saat harus selalu meminjam ponsel ayah Andin untuk menghubungi ibunya. Meskipun ia tahu, ayah Andin adalah teman baik ayahnya, tetapi tetap saja rasa sungkan itu selalu menjalari isi hatinya.
“Sepulang sekolah nanti, Zora langsung ke Pasar Tugu ya, Bi.” Zora mengambil sangkek berisi penuh dengan beberapa kue basah dan kering.
“Ya, udah. Hati-hati ya, Sayang!”
“Assalamu’alaikum, Bi ....”
“Wa’alaikum salam,” balasnya.
Di gardu tidak jauh dari rumahnya, sudah ada Andin yang juga sudah bersiap untuk pergi. Tinggal menunggu angkutan kota yang melintas, yang akan membawa mereka ke tujuan yang sama pada setiap harinya. Andin membantu Zora yang nampak kerepotan membawa dua sangkek sekaligus. Juga tas yang di dalamnya penuh dengan buku-buku, ikut membebaninya setiap hari. Gadis itu tidak mengeluh barang sedikit pun.
Tepat pukul tujuh pagi, Zora dan Andin memasuki area sekolah yang masih terbilang sepi. Tujuan pertama mereka adalah kantin sekolah, sebab kedua sangkek itu mesti segera dihantar pada Bu Darmi, sang pemilik kantin. Setelahnya, barulah mereka menuju kelas masing-masing.
Di dalam kelas, Zora masih saja belum mendapatkan amunisi semangat seperti sebelumnya. Jika biasanya ia akan semangat saat melihat ponselnya yang berisi pesan dan juga ucapan penuh semangat dari ibunya, kini, ia hanya memainkan pulpennya ke kanan dan ke kiri.
Sudah beberapa har ini, sang ibu tidak menelpon atau sekedar mengirimkan pesan untuknya. Ada rasa cemas melanda, juga was-was yang senatiasa menyergap kepercayaan hatinya untuk menanti kepulangan sang ibunda. Rasanya, penantian ini sungguh menyesakkan dada. Terlebih, orang yang dinanti tiada kunjung memberikan kabar.
Kegiatan belajar yang seharusnya dipenuhi semangat yang tinggi, kini terpapas oleh cemas. Sampai pada bel istirahat berbunyi, pelajaran yang disampaikan oleh Bu Tina sepertinya tidak ada yang nyantol. Zora hanya sibuk melamun, telinga dan mata mungkin tertuju pada sang guru, namun, fokunya terbang ke awang entah ke mana.
Seperti biasa, Zora selalu menghampiri sahabat kental manisnya. Langkahnya terburu-buru sampai tidak memperhatikan jalan. Ia malah menabrak seseorang yang juga tengah berjalan dengan terburu-buru. Seketika, beberapa kertas pun berhamburan dan terjatuh ke lantai.
“Aduh, maaf ya, Pak! Saya nggak sengaja!” mohon Zora sembari ikut membereskan lembaran yang berserak itu. Ia nampak sibuk sekali.
“Nggak apa-apa, lain kali hati-hati, ya!” balas seorang guru muda itu.