Beduk magrib menggema menandakan waktu berbuka puasa. Zora dan Meyla duduk saling berhadapan didampingi oleh dua cup kolak dan es campur buatan mereka tadi sore. Keduanya menengadahkan tangan seraya berdoa. Tiada rasa paling pantas diungkapkan melainkan rasa syukur yang teramat sangat.
Semua rutinitas telah dilalui bersama malam ini, dari berbuka puasa, salat berjamaah, makan malam bersama hingga tarawih ke masjid pun bersama-sama. Jarak dari rumah mereka ke masjid tidaklah jauh. Untuk itu, Meyla masih kuat berjalan bertumpu pada sebuah alat bantu jalan dan juga tangan Zora yang tiada pernah lepas menggandengnya.
Malam ini, sama seperti malam-malam biasanya, sunyi sepi seolah hilang keceriaan di rumah ini. Jika sudah jam sembilan malam, Meyla sudah terlelap dalam dekapan selimut bergambar bunga tulip. Sedangkan Zora, baginya, waktu masih sangat sore untuk hanya sekadar merebahkan tubuh ke pembaringan.
Ia melangkahkan kaki menuju lemari buku di ruang tengah. Lemari tempat di mana barang-barang sang ayah dan ibunya tersimpan dengan sangat rapi dan apik. Meyla sangat rajin membersihkan tempat itu, setiap hari selalu membersihkannya, meskipun tiada debu yang menempel. Membuat Zora tidak perlu repot-repot mengelap saat hendak mengambil barang yang telah usang sekalipun.
Ayah, Ibu ... seandainya kalian ada di sini. Seandainya waktu bisa berputar mundur. Zora tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu berharga bersama Ayah maupun Ibu. Zora rindu Ayah ... Zora rindu Ibu ....
Tangannya membuka satu persatu halaman pada sebuah album lama. Ada banyak kenangan di sana. Sampai pada satu titik, ekor matanya terhenti pada sebuah potret yang menambah kerinduannya. Gambar itu memperlihatkan seorang pria dewasa tengah menggendong gadis kecil. Pria itu adalah Rama, ayah Zora, dan gadis kecil di dalam potret itu tentu saja dirinya.
Pada akhirnya, bentuk dari kerinduan itu ia curahkan pada setiap bait yang ia buat sedemikian rupa. Tentu saja dibuat dengan air mata yang mengaliri pipi. Tak ayal, isakan kecil pun turut menyertai. Hampir semua tulisannya berupa kerinduan, kehampaan dan juga perjuangan yang tiada henti.
Ingin rasanya ia menulis tentang kebahagiaan dan cerita remaja pada umumnya. Namun, kisahnya sendiri rasanya belum habis lagi ia tumpahkan. Rasanya belum selesai ia torehkan dalam bait-bait penuh penghayatan. Entahlah, kapan semua ini bisa ia akhiri dengan cerita penuh suka cita.
***
"Ra, ngelamun terus, deh. Ke perpus, yuk!" ajak Andin pada Andin yang masih termenung menatap kosong pada dinding.
Zora masih bergeming. Pandangannya masih asik menerawang jauh entah ke mana. Rautnya begitu kusut. Tatapan nanar itu tidak mau enyah dari sorot kuyu wajah ayunya. Andin merasa kasihan, namun tidak tahu mesti berbuat apa. Perjalanan hidup sahabatnya itu benar-benar membuatnya bersimpati.
"Ra ...," panggilnya lagi, namun tidak ada balasan. "Kejora!" serunya dengan nada sedikit naik.
"Eh, iya. Kenapa? Ada apa?" tukas Zora tergopoh saat namanya disebut secara lengkap.
"Dipanggil Pak Munaf, tuh!" kelakarnya.
"Hah! Yang bener? Emangnya ada apa?" Zora percaya saja dengan kelakar Andin.
Andin terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. Ia pun menjelaskan bahwa ia hanya iseng dan mencandai Zora. Sontak saja Zora menjadi gusar dan menarik jilbab Andin ke belakang, sehingga kepala remaja bertubuh sedikit tambun itu terpundur ke belakang.
"Jahat banget, deh. Becandanya nggak lucu!" cibirnya dengan mimik muka dibuat semenyebalkan mungkin.
"Lagian, kamu ngelamun terus." Andin membalas dengan wajah ditekuk.
Zora menyadari, pikirannya masih kalut. Belum lama ini, pihak TU memanggilnya untuk meminta kejelasan tentang tunggakan yang belum dibayar selama dua bulan ini. Sedangkan ibunya mengirimkan uang hanya tiga bulan sekali, itu pun hanya sebagian. Sebab, memang permintaan dari Zora sendiri. Ia tidak mau, kerja keras ibunya habis semata-mata untuk dirinya saja.
Jam terakhir diisi oleh mata pelajaran penjas orkes, Zora sudah berganti pakaian dengan pakaian olahraga. Meskipun waktu sudah sangat siang, tapi semangat para murid tidak terpecah oleh terik mentari yang membias panas. Apalagi jika guru yang mengajar masih terlihat muda dan sangat tampan. Zora saja dibuat terkesima dengan wajah bening seperti itu.