KEJORA

Lebah Bergantung
Chapter #8

Penolong Misterius #8

Sudah hampir dua mingu pasca pesan terakhir yang dikirimkan sang ibunda. Zora masih berharap setiap harinya, akan ada notifikasi dan kabar baik datang dari negeri unta tersebut. Ia masih menanti, meskipun harapannya semakin hari semakin menipis. Apalagi sponsor yang membawa ibunya pergi pun ikut raib tiada kabar berita.

Setiap malam, ia menyempatkan diri untuk bergumul dalam harapan semu di balik jendela kamarnya. Menatap para bintang yang bersinar terang, yang membawakan sejuta cahaya untuk mengisi kekosongan hatinya. Bagai malam-malam sebelumnya, ia selalu mencemaskan orang-orang terkasihnya. Sang ibu nun jauh di sana. Juga sang bibi, yang dekat namun sangat butuh perhatian.

Malam-malam sunyi ini selalu ia harapkan segera enyah dari kehidupannya. Tanpa sang ibu, harinya seolah begitu lambat. Adakalanya, gadis itu mencengkram pena dengan gusar dan melukai telapak tangannya. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi. Rasanya dunia sudah bukan lagi miliknya, tidak lagi berpihak kepadanya.

Seperti malam ini, ia kehilangan kantuk lantaran terpenuhi oleh emosi yang terus melanda jiwanya. Lagi-lagi, sang bibi menonton berita tentang hilangnya TKI di negeri Arab. Ia terus menangis, meratapi nasib Elina yang entah bagaimana keadaannya. Apakah semua baik-baik saja? Ataukah ada yang benar-benar hilang?

Bukannya Zora tidak kalut, bukan pula acuh pada berita tersebut. Sesungguhnya, hatinya pun merasakan degup yang sangat kencang. Cemasnya sudah merasuk ke rongga kalbu. Begitu dahsyatnya, sehingga ia hanya bisa terdiam. Memendamnya sendiri, entah sampai kapan itu akan berhasil di tahan.

Di usia yang masih terbilang belia, ia harus dihadapkan oleh situasi dan kondisi di luar batasannya. Ia menjadi lebih dewasa dari usia sesungguhnya. Ia jadi perempuan tangguh melebihi wanita-wanita dewasa pada umumnya. Oleh sebab itu, ia juga mampu meredam emosi sang bibi yang dilanda cemas berlebihan pasca menonton berita tersebut.

"Ra ...."

Terdengar lirih suara sang bibi memanggil dirinya. Zora yang masih mencemaskan keadaan Meyla segera menghampiri. Saat pintu terbuka, ia mendapati sosok itu masih memejamkan mata, namun dengan mimik wajah amat menyedihkan. Wajahnya yang sembab menambah aura kesedihan itu kembali menghantam dinding perasaan gamang yang terdalam.

Zora hanya tertegun saat melihat Meyla beberapa kali mengigau, menyebut namanya juga ibunya. Hatinya bagai teriris, perih. Ia tahu betul, bagaimana sang bibi bisa mengalami trauma terhadap kehilangan. Ia tahu, betapa sulit kehidupannya melebihi dirinya. Kehilangan yang ia alami, adalah yang ke sekian kalinya dialami oleh Meyla.

***

Pekan ini, Zora tidak berniat untuk berbelanja ke pasar seperti hari-hari sebelumnya. Entah kenapa, hatinya yang semakin lusuh tidak mau diajak ke mana pun. Ia memutuskan untuk berbelanja di toko Koh Kemal.

"Bagaimana keadaan Meyla?" Pertanyaan itu rasanya mengusik kalbu Zora, terlebih saat ini sang bibi masih dirundung kesedihan.

Zora hanya mengangguk, lantas berkata, "Baik."

"Alhamdulillah, senang dengarnya. Oh, ya. Jika berkenan, Koh Kemal mau mengundang Zora dan juga Dik Meyla. Minggu depan, kami sekeluarga besar akan mengadakan buka bersama."

"Koh Kemal harap, kalian akan akan datang," lanjutnya. Terlihat wajah itu menunjukkan pengharapan.

"Insya Allah, Koh. Zora dan Bibi Meyla akan datang, semoga nggak ada halangan," jawabnya dengan seulas senyum.

Zora kembali pulang setelah mendapatkan bahan-bahan yang dicarinya. Ekor matanya sempat melihat sekeliling. Ada banyak pemuda yang dengan asyiknya menyulut rokok di siang bolong pada bulan ramadhan. Gadis itu berdecak kesal lantaran mengetahui sebagian dari mereka adalah tetangganya. Yang notabenenya juga beragama Islam.

Terlihat juga beberapa dari mereka meminum air di pinggir jalan. Dengan tanpa ragu apalagi malu. Rasa toleransi rasanya sudah tiada lagi di benak mereka. Menghiraukan mata-mata yang memandang dengan risih terhadap mereka.

Zora mempercepat langkah. Ia juga merasa risih akan perilaku tidak sopan para pemuda itu. Lagipun, ia kerap digoda. Jadi, ia selalu mawas diri untuk segera menghindari orang-orang semacam itu.

Lihat selengkapnya