Jika ada orang bertanya, apa yang paling membuat aku bahagia selama 19 tahun hidupku ini. Aku akan menjawab tanpa ragu sedikit pun 2 hal yang membuat bahagia. Pertama, lahir ke dunia dengan orangtua yang begitu menyayangiku dan kedua, berada di samping Runa dengan tangan ayahnya yang menjabat tanganku.
YA! Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Runa. Acara lamaran itu berjalan dengan sangat lancar. Aku sendiri yang bilang pada kedua orangtuanya untuk meminta Runa menjadi istriku.
Menjadikan Runa sebagai pendampingku merupakan salah satu bagian terbaik dalam hidupku.
Dan, tebak! Aku bisa melihat dengan jelas kalau Runa sangat terlihat senang sekali. Apa lagi yang lebih membahagiakan dari itu? Cinta pertamaku adalah orang yang menjadi pendampingku. Aku rasa, dia juga mencintaiku. Sungguh lengkap sekali.
Aku ingin mengajaknya bicara di pelaminan ini, namun karena rasa gugup yang luar biasanya, aku seperti kehilangan kemampuan untuk berbicara. Pita suaraku juga sepertinya telah diambil oleh Runa.
Detak jantung ini makin tidak terkendali saat aku disuruh untuk melakukan beberapa pose dengan Runa. Oh ayolah! Kakikku berasa berubah seperti jelly saat itu apalagi wajah tersipunya Runa. Sungguh! Itu membuat kecantikannya bertambah berkali-kali lipat daripada biasanya.
Acara kami selesaikan tanpa obrolan yang berarti, aku hanya mengajaknya mengobrol saat menawari dia makanan dan dia bilang iya. Sudah, tidak ada lagi obrolan lain, bukannya aku tidak ingin, namun sudah dibilang pita suara milikku telah diambil oleh Runa.
Sekarang kami sedang berada di Ehem—Kamar kami, aw! Aku malu sendiri bicaranya. Tapi ini beneran, aku sungguh gugup sekali. Runa sedang berada di kamar mandi, aku menyuruhnya mandi terlebih dahulu karena dia lebih membutuhkannya, make up dan aksesoris yang dipakainya pasti sangat mempengaruhi Runa, berbeda denganku yang tidak banyak menggunakan riasan dan hanya tambahan aksesoris jam tangan saja.
Pikiranku benar-benar kacau karena terus berkelana kesana-kemari tanpa henti. Aku pun berdiri menuju pintu toilet. Ku ketuk pelan pintu itu sambil memanggilnnya, “Runa!”
“Ya, Mas.”
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum mendengar Runa dengan sebutan ‘Mas’. Selama ini aku hanya membayangkannya saja, tapi kali ini terjadi dengan nyata.
“Aku ambil makan dulu ke luar.”
“Ya, Mas.”
Dengan senyum yang masih melebar, aku pun pergi ke luar mengambil makan untuk kita berdua. Aku bisa saja menyuruh seseorang untuk membawakan makanan, namun yang sebenarnya aku perlu menghirup udara segar terlebih dahulu untuk menjernihkan pikiran.
Sungguh! Aku benar-benar memerlukan udara segar untuk menjernihkan pikiranku yang bahaya ini. Aku mengerti dan tahu apa yang biasanya dilakukan pengantin baru di malam pertama mereka.
Aku memang tidak menonton ataupun membaca hal seperti itu, namun beberapa kali aku mendengarnya dan detik-detik sebelum pernikahan, bukannya menghapalkan qobul, tapi aku malah mencari tahu apa yang harus dilakukan seorang suami terhadap istri agar pernikahan bisa harmonis dan terus berlangsung. Dan aku menemukan hal itu!
Niat awalku mencari tahu bukan ke sana loh maksudnya. Aku benar-benar ingin menjadi suami yang baik dan bisa dibanggakan oleh Runa, tidak dengan yang lainnya. Namun hal itu ternyata ada di urutan paling atas. Pikiranku jadi terkontaminasi seperti ini jadinya.
Runa dan aku juga masih kuliah, terus umur Runa juga masih muda untuk mengandung, ya setidaknya 2 atau 3 tahun lagi lah aku akan memikirkan untuk memiliki anak.
Di tengah jalan menuju dapur aku bertemu dengan Ibuku dan dia langsung mencegahku.
“Kemana Kean?”
Aku menyengir. “Dapur. Ambil makan, aku sama Runa sama-sama belum makan, Bu.”
“Kenapa nggak telepon layanan kamar aja, kan bisa diambilin.”
“Mmmm... sengaja, Bu.. aku ingin ambil buat Runa, khusus.”
Ibu tersenyum simpul. “Yasudah, cepat ambil makannya, kalian belum makan, kan? Nggak baik juga kalau Runa ditinggal sendiri terlalu lama.”
“Nggak mungkin juga lah Bu aku tinggalin Runa lama-lama, toh cuma ambil makan aja.”
Ibu mengangguk. Aku pun pergi ke dapur untuk mengambil makan. Makanannya sudah aku pesan sebenarnya, namun aku meminta untuk membawanya sendiri jad aku tidak terlalu lama di dapur.
Setelah mengambil makanan, aku kembali bergegas untuk ke dalam kamar. Namun di tengah perjalanan, langkahku terhenti karena melihat seseorang yang aku kenal. Orang itu terlihat begitu tergesa sekali.
Aku memutuskan untuk mengikuti, bukannya aku ingin tahu dia melakukan apa. Hanya saja ini terasa ganjal. Hotel ini sudah dipesan khusus oleh keluarga Runa dan yang bisa datang hanya tamu undangan saja yang sudah diberikan tanda pengenal khusus, tidak dengan yang lainnya dan orang itu adalah teman satu kelas kami, sahabatnya Runa, Desi.
Aku dan Runa tidak mengundang teman kami satu pun, entah teman dekat atau hanya sekedar teman biasa. Tamu yang datang hampir rata-rata rekan bisnis kedua orangtua kami saja. Dan rekan bisnis kedua orang tua kami tidak memiliki anak yang kami kenal. Wajar, kan jika aku curiga?