Pernikahan yang kuimpikan mendadak sirna karena hal aku bicarakan dengan Runa di malam pernikahan kita. Sekarang sudah lebih dari 2 tahun kami menjalani rumah tangga. Runa menjagaku, menjalankan kewajibannya sebagai istriku, namun aku masih saja merasa jika Runa melakukan itu semua di bawah tekanan.
Kata andai waktu bisa di ulang menjadi sahabat baikku selama 2 tahun ini. Dia selalu saja datang saat aku berpura-pura memejamkan mata. Kami tidur bersama, namun nyatanya, tidurku tidak pernah nyenyak sama sekali.
Setiap malam, aku selalu menunggu Runa tidur terlebih dahulu dan setelah merasakan kalau Runa sudah tidur, aku berbalik memunggunginya, bukan membenci Runa, bukan! Tidak mungkin bagi seorang Kaesar membenci Runa, melainkan mencoba menahan rasa sakit karena merasakan keterpaksaan Runa.
Tak lama aku memunggungi Runa lalu aku pergi ke ruang tamu, berbalas pesan dengan orang asing. Aku tak tahu siapa mereka, yang aku tahu mereka selalu berhasil membuatku tersenyum, mereka mengerti posisiku, tak jarang ada juga yang menghujat. Tapi aku memahaminya dan menjadikan itu sebagai pelajaran.
Mereka adalah pembaca setiaku di salah satu flatform menulis online. Aku selalu menulis kisahku dan Runa, mengabadikannya dalam tiap-tiap karya yang mungkin akan menjadi sebuah kenangan nantinya. Aku bilang kisah yang dibuat itu hanya fiksi, namun nyatanya kisah itu nyata, bahkan detail kecil yang kurasakan pun, selalu dituliskan di sana, yang fiksi hanya namanya saja.
Aku senang membalas komentar mereka, itu membuatku lebih bahagia, lebih bisa menutupi rasa sakit yang kuraskan karena rasa sakit milik Runa yang dikarenakan olehku. Kadang mereka juga menjadi guruku, mengajarkanku bagaimana harus bersikap lebih baik pada Runa.
Semalaman aku habiskan dengan membalas beragam pesan megenai ceritaku dan Runa. Aku selalu kembali ke kamar di tengah malam atau mungkin lewat tengah malam. Itu sudah menjadi kebiasaanku.
Tapi jika memang benar aku bisa memutar waktu, aku tidak ingin mengucapkan hal itu pada Runa. Aku akan rela Runa menderita karena dia mengetahui kenyataan orang terdekatnya adalah orang yang menyakitinya. Aku akan mencoba menghibur Runa sebisaku. Jika seperti itu, setidaknya, aku tidak akan merasakan keterpaksaan Runa.
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Seperti pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus kuat menjalankan apa yang direncanakan selama ini. Aku sudah mengetahui inti permasalahannya, mengapa Desi begitu membenci Runa dengan sangat.
Aku hanya tinggal menunggu momentum untuk menyelesaikan segalanya lalu menjelaskan semua yang ku alami selama ini pada Runa. Dengan begitu, bukanlah hal yang sulit untuk kami bisa bahagia. Untuk membuat impianku tentang pernikahan yang tengah dijalani ini menjadi indah.
Sampai ke kamarku, aku langsung berbaring dan memeluk Runa dengan penuh kasih sayang, tidur Runa benar-benar sangat lelap sekali di jam-jam seperti ini. Apa dayaku? Aku bisa melakukan apa yang ingin aku lakukan saat Runa sedang tidur seperti ini.
Suara adzan awal mulai berkumandang, barulah aku melepaskan pelukanku dari Runa, tidurku memang tidak pernah begitu terlelap, aku bisa bangun karena suara kecil saja, kalaupun aku terkadang sulit untuk dibangunkan, bisa saja itu karena rasa capai yang benar-benar membuatku begitu tertekan.
Aku tak langsung tidur lagi hari ini, rasa kantuk itu sama sekali tak ada jadi yang kulakukan hanya memandangi Runa yang sedang terlelap. Damai rasanya melihat Runa yang sedang tertidur seperti ini, hal ini selalu berhasil membuatku tersenyum dengan bebas.
Melihat geliatan Runa, dengan segera aku langsung pura-pura menutup mata. Dapat kurasakan goyangan di kasur, mungkin saja itu Runa yang turun dari kasur, tak lama terdengar suara adzan berkumandang. Aku sudah menyiapkan diriku, Runa pasti akan membangunkanku sebentar lagi.
“Mas...”
Aku berpura-pura mengerjapkan mata beberapa kali hingga akhirnya mataku terbuka dengan sempurna. Senyumku mengulas dengan tipis.
“Selamat pagi,” sapaku. Ini selalu menjadi kebiasaanku.
“Pagi,” balas sapanya dengan senyum yang sangat lebar.
Dia menarik selimut yang menutupi tubuhku lalu melipatnya, aku bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Saat aku hendak ke luar dari kamar mandi, Runa selalu menyambutku di luar kamar mandi dengan sarung dan peci, oh ya, sebelumnya aku sudah mengenakan pakaian koko yang selalu sudah disiapkan oleh Runa di dalam kamar mandi.
Runa benar-benar selalu menjadi seorang istri yang terbaik, aku saja yang slaah karena memberikan masa depan yang abu-abu padanya. Aku mengerti jalan takdir ini, aku tahu aku salah karena mengatakan hal itu pada Runa di malam pernikahan kami, tapi kenapa Runa masih saja bersikap dengan sangat baik padaku.
Kebaikan dan tanggung jawab yang dia lakukan selalu berhasil membuatku jatuh berkali-kali. Membuatku mengutuk diriku sendiri, hingga akhirnya aku kembali menyalahkan waktu yang tak akan pernah pernah bisa diulang lagi.
Pulang dari masjid, aku langsung tertidur kembali, kali ini benar-benar tertidur, aku sungguhan mengantuk, untungnya jadwal kuliah hari ini siang.
“Mas ...”
Panggilan Runa membuatku langsung tersadar dari tidur, namun aku tidak langsung membuka mata. Aku masih ingin mendengar suara Runa saat membangunkanku.
"Mas ... bangun loh, ini udah siang. Jam 10, kamu belum sarapan juga."
Aku bisa merasakan tangan Runa yang mulai menggoyangkan badanku, aku hanya bergumam untuk membalasnya.
"Baiklah kalau memang kamu belum mau bangun, aku bakal siapin dulu makanan dan baju buat kamu. Saat ke sini, kamu belum bangun juga. Siap-siap aja, Mas ...."