Di kampus, aku tidak bisa fokus pada pelajaranku, pikiranku berkelana mengenai apa yang harus kulakukan saat pulang nanti. Runa pasti akan bertanya padaku mengenai pesan dengan Ari.
Saat tidak ada jadwal, aku tidak nafsu makan sedikitpun, lagi-lagi berpikir berbagai jawaban yang harus aku berikan pada Runa, menimbangkan berbagai jawaban yang mungkin masuk akal dan tidak akan membuat Runa marah atau pun salah paham padaku.
“Lo kenapa sih, Sar? Aneh tahu!”
Perkataan Faris membuatku tersadar. “Hah?”
“Tuh, kan. Nggak bisasanya lo begini, Sar. Untung aja tadi lo bisa jelasin tugas kita dengan benar. Gue nggak nyangka sih kalau yang dipilih untuk presentasi itu lebih dari satu mana ama Runa lagi. Untung Lo sama Reza bisa handel dengan baik.”
Aku hanya bergumam pelan. Aku tidak suka Faris berbicara seperti itu, Runa tidak salah sama sekali di sini, aku tahu dan mengerti kalau Runa paham betul dnegan apa yang dikerjakannya, dia hanya kesulitan berbicara di depan orang banyak saja, dan itu sama sekali bukan salah Runa.
“Dia pinter orangnya, Ris. Cuma kesulitan untuk bicara di depan orang banyak aja.”
Aku langsung mengalihkan panadangan pada Ari saat dia mebela Runa. Apa yang diucapkan oleh Ari sudah aku ucapkan dalam hati.
“Ari?” tanya Yudi.
Aku menoleh ke arah lain, ternyata bukan aku saja yang menatap Ari, tetapi yang lain juga.
“Omongan gue sama sekali nggak ada yang salah. Emang gitu, kan? Dia akan ngomong kalau dia memang mau, buktinya aja udah kita nikmati. Penghargaan, anak tingkat satu yang udah berhasil memenangkan festival film pendek di sekolah dan juga masuk nominasi film pendek terbaik. Masih kurang?”
Tanganku terkepal kuat di bawah meja, yang bilang Ari memang benar, tapi kenapa Ari mau repot-repot membela Runa seperti itu. Itu kalimat terpanjang Ari yang dilakukan dengan kami, minus saat membahas pelajaran atau komunitas yang didirikan olehku dan Reza.
“Udah lah, stop undrestimate orang. Semua orang punya kekurangan dan kelebihannya sendiri.”
Aku langsung berdiri dan semua orang jadi mengalihkan pandangannya padaku. Dengan cepat aku memposisikan tanganku di perut.
“Gue ke toilet dulu. Mules sumpah, kayanya pagi tadi gue salah makan.”
Dengan segera aku berlari, aku kesal mendengar Ari begitu membela Runa. Bukannya aku tak suka Runa ada yang membela seperti itu, tapi harusnya itu menjadi tugasku sebagai suaminya Runa. Saat Ari membela Runa seperti tadi, itu makin menunjukkan kalau Ari benar-benar menyukai Runa dan aku sama sekali tidak menyukai hal itu sedikitpun!
***
Matahari mulai tenggelam, namun aku masih berada di dalam mobil di tikungan sebelum ke rumah Runa, aku masih belum menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan oleh Runa.
Suara dering telepon membuatku tersadar, nama Runa tertera di sana.
“Mas di mana? Aku pulang sendiri aja atau bagaimana? Nggak biasanya Mas nggak ngabari aku.”