Moodku yang biasanya selalu bisa aku atur kini mendadak lepas kendali begitu saja, sebuah kebenaran yang baru saja aku temui benar-benar membuatku hancur luar dan dalam.
Aku masih kesal dengan kedekatan yang Ari dan Runa yang begitu mendadak untukku, namun ternyata itu masih belum seberapa dengan apa yang aku temukan saat aku tiba di rumah.
Aku sungguh tidak menyangkanya saat menemukan hal itu, aku pikir selama ini semuanya baik-baik saja, namun ternyata tidak. Hatiku sungguhan hancur saat menemukal pil kontrasepsi di tas milik Runa.
Runa tahu dan mengerti betul kalau aku menginginkan seorang anak dan selalu mendambanya, tetapi tanpa berdiskusi terlebih dahulu, Runa menggunakan pil tersebut, itu berarti Runa tidak menginkannya dariku.
Aku yang sudah sangat yakin kalau Runa sangat mencintaiku kini mulai meragu, karena tidak mungkin rasanya jika dia mencintaiku tetapi dia tidak ingin mengandung anakku, padahal Runa tahu betul aku begitu menginginkannya, sangat menginginkannya.
Karena rasa kecewa dan sedih, aku benar-benar tidak bisa menghadapi Runa dengan langsung, aku tidak tidur setelah menemukan obat itu dan memilih untuk langsung pergi dari rumah dengan meninggalkan catatan untuk Runa kalau aku pergi dahulu ke kampus karena ada urusan.
Mau bagaimana lagi, aku memang sedih dan kecewa dengan Runa, tapi aku juga mencintainya, aku tidak ingin membuatnya kebingungan melihatku yang tidak ada saat bangun di pagi hari, jadi biarlah dia berpikir kalau aku pergi pagi-pagi sekali karena ada urusan walaupun yang sebenarnya aku sudah pergi dari malam hari.
Aku tidak pergi ke rumah siapa pun, karena tidak ada tempat untukku bisa pergi dan berbagi tanpa harus menjaga batasan sampai mana aku bisa bercerita.
Mobil dan jalan raya adalah satu-satunya tempat yang bisa aku datangi dengan bebas. Semalaman, hanya suara kendaraan yang menemani curahanku yang tidak pernah bisa aku ungkapkan pada orang lain, bahkan orang tuaku sendiri.
Aku benar-benar bermalam di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan raya. Sinar matahahari yang menyrot membuatku terbangun dari tidur. Mataku begitu berat sekali untuk bisa terbuka, malam tadi adalah malam terburuk yang pernah ada dalam hidupku selama ini.
Aku bangkit dan bercermin di kaca yang ada di mobil, penampilanku benar-benar kacau. Aku mengambil handphone untuk melihat jam, 06.55. Aku melewatkan Subuh begitu saja. Aku mengambil handphone dan memasan pakaian untuk bisa kugunakan hari ini, aku masih harus kuliah.
Rumahku hari ini adalah mobil, aku mengganti pakaian dan mandi di toilet umum, lalu makan di dalam mobil. Aku sebenarnya tidak ingin pergi kampus, tapi aku makin tidak ingin melihat Runa kebingungan karena aku yang tidak ada di kampus.
Tetapi hal yang aku dapatkan saat di kampus benar-benar membuat kondisiku malah makin memburuk. Saat melihat Runa kembali, rasa kecewa itu malah datang lagi, ditambah dengan sikap Runa dan Ari yang begitu akrab. Itu makin menurunkan kadar kepercayaan diriku pada Runa. Aku makin tidak yakin tentang dia yang mencintaiku.
Apa lagi yang bisa aku simpulkan selain itu?
Pulang kampus, aku ingin menghindari Runa lagi, kali ini tidak peduli dia mau bingung atau apa, tapi lagi-lagi aku tidak bisa, Ibuku memanggil kami berdua untuk datang ke rumah sehingga mau tak mau aku harus pulang bersama dengan Runa.
Suasana di mbil benar-benar hening, aku enggan untuk membuka suara, bahkan sadar kalau Runa ada di sini saja sudah membuatku kesal dan sedih dalam waktu yang bersamaan. Aku membenci hal itu.
"Mm ... Ibu memanggil kita?" Mendengar suaranya membuat perasaanku tak karuan lagi. Suaranya saja bisa membuatku jatuh cinta, tapi ada sisi yang mengingatkan kalau Runa telah berbeda.
"Ya." Aku menjawab dengan singkat dan nada sedingin mungkin. Aku tidak ingin mengobrol sekarang.
"Karena hal apa ya, Mas?" Dia sepertinya mencoba memecahkan suasana.
"Tidak tahu."
"Kamu kenapa sih, Mas?" Aku bisa mendengar nadanya yang mulai kesal, namun aku lebih kesal sekarang.
"Gak kenapa-kenapa."
"Terus kenapa sikap Mas jadi berbeda seperti ini? Tadi aja Mas balas pertanyaanku dengan ketus."
"Aku bilang nggak ya, nggak!"
Meledak semuanya, emosiku sudah berada di puncaknya. Suasana menjadi hening, aku sedikit menoleh pada Runa untuk mengetahui kondisinya, dia diam sambil menatap ke luar jendela, aku merasa bersalah namun emosiku masih belum stabil sekarang, jika aku berbicara, aku takut hal lain yang akan keluar dari mulutku dan itu akan membuat semuanya makin kacau.
Mungkin suasana yang hening seperti ini cocok untuk kami berdua untuk sekarang.
Saat hampir sampai rumah, emosiku hampir stabil kembali. Sampai di rumah, aku menghentikan mobil. Dengan cepat Runa melepaskan seatbelt dan hendak ke luar namun dengan cepat aku langsung mengunci pintu secara otomatis.
Runa mencoba membukanya, namun pintunya sudah terkunci dan hanya aku yang bisa membukanya. Runa memilih diam dengan tubuh yang menghadap ke luar.
.
Aku membuka pintu mobil dengan segera, namun belum juga pintu mobil terbuka, dia langsung menguncinya secara otomatis begitu saja. Aku masih menghadapkan tubuh ke arah luar.
"Runa," panggilku lembut.
Mungkin aku kelewatan dengan membentak Runa tadi, dia bersikap baik, namun aku malah membentaknya. Dia hanya mengangguk kecil.
"Runa.” Aku memanggilnya lagi.
Kali ini dia berdeham.
"Runa." Aku mempertegas panggilanku, namun tidak meninggikan nadaku.