Rasa malas lagi-lagi menghinggapi diriku, kali ini karena masalah yang sedang aku dan Runa alami. Ini bukanlah hal kecil, aku dan Runa sama-sama emosi dan itu yang membuat masalah ini menjadi besar, apalagi kita belum berbicara lagi.
Saat berangkat ke kampus pun, kami seperti 2 orang asing yang terpaksa bersama di dalam satu mobil. Namun Runa memilih turun saat ke luar dari komplek perumahan orangtuaku. Aku yang masih dilanda kesal pun menurutinya.
Ketika dosen masuk dan berbicara aku malah menghiraukannya, aku sungguh ingin sendirian saja kali ini, tidak ingin mendengar atau melihat apa pun. Namun saat aku mendengar nama lengkap Runa seketika kesadaranku ditarik kembali ke dunia nyata.
Runa yang sedang berjalan ke depan pun menjadi pusat perhatianku, sampai di depan, aku melihat kalau ternyata Ari juga ada di depan dan Runa berdiri tepat di samping Ari.
“Kita sudah dapat pemeran utamanya pebih cepat daripada biasanya. Jadi, apakah ada yang keberatan dengan kedua peran utama di kelas ini?”
Mendengar dosen mengatakan itu, darahku seketika mendidih. Bagaimana bisa Ari memilih Runa untuk menjadi lawan perannya! Dosen telah mengirimkan naskahnya padaku beberapa minggu yang lalu karena untuk drama yang akan datang aku ditunjuk memegang naskah. Aku tahu betul apa isi dalam naskah itu.
Aku hendak mengangkat tangan untuk mengutarakan keberatan, namun baru tanganku mau di angkat aku melihat Reza sudah mengangkat tangannya terlebih dahulu dan itu membuatku kembali menurunkan tangan dan mengepalnya dengan kuat.
“Ari, kamu sering bilang anti dengan yang seperti ini, selama ini selalu suka di balik layar atau jadi pemeran yang tidak dominan, menghindari sentuhan fisik atau berkomunikasi dengan orang. Kamu bilang dosa kalau main peran dengan orang yang belum sah, apalagi dalam drama kali ini, bukan hanya pegangan tangan, ada peluk bahkan cium juga, walaupun di kening. Saya bertanya ini karena mementingkan kenyamanan seseorang, seperti yang pernah Ibu bilang, kenyamanan dalam memainkan peran akan menghasilkan peran yang baik. Lalu apa alasan kamu mengajukan diri seperti ini? Dan mengapa Rauna yang dipilih, selama ini dia orang yang paling diandalkan di bagian sutradara karena kepintarannya memilih dan memilah adegan.”
Antara kesal dan senang aku mendengar Reza mengatakan hal itu. Aku tidak buta, aku tahu Reza memiliki perasaan pada Runa, Reza sendiri bahkan pernah bilang padaku secara langsung kalau dia menyukai Runa namun sayangnya Runa sudah menikah.
“Benar, saya tidak nyaman dengan adegan seperti itu. Tapi ... itu jika dengan orang lain, dengan orang yang sudah sah tidak apa kan?”
Rangkulan yang Ari lingkarkan pada Runa membuatku makin emosi, namun dengan sekuat tenaga aku mencoba menahannya.
“Tidak akan menimbulkan dosa. Dan masalah kenyamanan, gak perlu di ragukan lagi.”
Pegang janjiku ini, aku pasti akan menonjok Ari setelah kelas berakhir. Perkataan dia tadi menimbukan suasana riuh di kelas.
“Saya yang meminta Runa menyembunyikan semuanya selama ini. Dan, tidak untuk sekarang. Saya selalu kesal saat melihat ada orang yang sembunyi-sembunyi menatap Runa.”
Kedua tanganku sudah terkepal dengan kuat melihat Ari dan Runa yang berada di depan, apalagi Runa tidak membantahnya sedikitpun.
“Runa malu teman-teman. Dia bilang, kenapa di bongkar dengan cara seperti ini.”
Batinku berperang, apa aku harus menghentikan ini semua atau tidak. Aku makin dekat dengan tujuanku, dan jika semua ini terbongkar, maka tujuanku akan semakin jauh. Tetapi jika aku tidak membongkarnya maka aku yang akan jauh dengan Runa dan semua orang.
“Jadi, ingin adegan yang mengharuskan sentuhan langsung pun tidak apa-apa. Asal jagan sampai kelewatan juga, gak mungkin kan privasi kita malah jadi tontonan semua orang.”
Aku berdiri dengan menggebrak meja, aku tidak tahan lagi dengan semua ini, persetan dengan Desi. Yang terpenting sekarang adalah hubunganku.
“Ada apa Kaesar?”
Aku betulan ingin meninju wajah Ari yang bertanya dengan santai seperti itu. Apa dia tidak punya rasa malu dengan mengaku-ngaku sebagai suami Runa di depan orang banyak?
Aku maju ke depan dan berhenti tepat di depan Ari. “Jangan banyak berbohong Ri, cukup.”
Aku masih mencoba menyelesaikannya baik-baik dengan Ari, dia temanku, dan memakinya di depan semua orang akan berdampak buruk baginya.
“Berbohong atau menipu?” Bukannya berhenti, Ari malah menjawabnya dengan pertanyaan dengan volume yang keras. Aku yang memang sudah kesal, jadi ikut kesal juga.
“Aku peringatkan cukup, Ri!”
“Heh!” teriak Ari dengan memundurkan tubuhnya sedikit. “Runa istriku, milikku!” teriaknya makin kencang.
Aku langsung melepas pegangan tangan Runa di tangan Ari dengan kasar dan beralih menjadi aku yang mengenggam tangan Runa dengan kuat.
“Jangan berbohong, sejak 2 tahun yang lalu suaminya Runa masih sama. Dan dia adalah aku!”
Aku sungguh tidak peduli lagi dengan bagaimana keadaan Ari yang akan dianggap apa oleh teman-teman kelas kami. Aku beralih menatap Runa.
“Kita pulang sekarang.” Tanpa menunggu persetujuan Runa, aku langsung menariknya ke luar dari kelas.
Sepanjang perjalanan, banyak orang yang melihatku dan Runa pergi, mungkin karena aku yang menarik Runa agar segera pergi. Aku membawa Runa masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobil itu.