Aku masih saja diam menatap pintu di depanku. Aku masih memikirkan harus bilang apa saat di dalam nanti. Runa pasti memiliki banyak pertanyaan di kepalanya saat mengetahui kalau aku lah yang menguncinya di tempat yang terpencil ini. Dan yang paling kupikirkan adalah, bagaimana caraku mengungkapkan keputusan yang aku ambil demi kita berdua.
Aku tahu, Runa pasti akan sakit hati saat mendengarnya. Namun ini pilihan paling baik yang bisa aku pikirkan sekarang.
Berdiam lama di depan pintu benar-benar tidak membawa inspirasi sedikit pun. Aku mengambil nafas dalam, mungkin aku harus segera masuk ke dalam. Lebih lama berada di luar lebih bahaya juga kedepannya. Mengenai alasan atau apa yang harus kuucapkan, terserah nanti di dalam saja.
Kunci sudah aku putar, dengan perlahan, aku membukakan pintu dengan perlahan. Tetapi tiba-tiba aku mendapatkan sebuah pelukan erat dari Runa. Aku mempererat peganganku pada jinjingan yang ku bawa. Apa benar Runa sedang memelukku sekarang?
Aku merasa seperti bermimpi. Di pikiranku, saat pintu terbuka mungkin aku akan dihadapkan dengan wajah bingung Runa dan ribuan pertanyaan atau mungkin dengan tamparan keras. Tapi pelukan? Aku di sambut dengan pelukan!
Pelukan itu terlepas. Runa pergi ke arah belakangku dan tak lama aku mendengar suara tertutup. Aku langsung menoleh ke belakang, ternyata Runa menutup pintu bukannya kabur dan mengunciku di sini. Aku mengambil tangan Runa dan menuntunnya untuk duduk di pinggiran ranjang.
“Kamu ... tidak marah?” tanyaku dengan keraguan.
“Aku percaya Mas gak akan melakukan apa pun tanpa alasan yang jelas. Ya ... walaupun terkadang aku masih bertanya-tanya sih, tapi rasa percayaku masih lebih tinggi. Dan, bukanya dalam sebuah hubungan rasa percaya itu penting?”
Aku dibuat terdiam dengan jawaban yang Runa berikan. Kenapa Runa sangat baik sekali. Pantas saja dia tidak pernah merasakan jika sahabatnya diam-diam menusuknya. Aku tersenyum tipis dan langsung menarik Runa ke dalam pelukanku.
“Maaf,” lirihku. Klise memang, tapi kata itu lah yang pantas aku ucapkan padanya.
Aku bisa merasakan dia menggeleng dalam pelukanku dan perlahan melepas pelukannya. Aku tidak berani menatapnya, jadi aku memilih untuk menundukkan kepala.
“Mas kenapa?”
Pertanyaan yang Runa tanyakan membuatku mengangguk. Nada yang terdengar di telingaku benar-benar tidak menghakimi sama sekali, Runa benar-benar peduli. Aku tersenyum dengan gelengan kepala pelan.
“Kamu benar-benar percaya padaku?” Mungkin ini saat yang tepat.
Runa mengangguk dengan yakin, aku bisa melihatnya.
“Aku juga merasakan semua yang kamu rasa, Run.”
Runa terdiam kali ini, mungkin saja dia bingung dengan apa yang aku maksud.
“Aku yang melamarmu pada saat itu bukan paksaan dari orang tuaku, bukan keinginan orang lain, tapi ... karena aku memang mencintaimu.”
Aku sudah memutuskan, aku harus mulai untuk jujur mulai sekarang.
“Aku tidak tahu kamu akan percaya atau tidak. Jika kamu bilang ini hanya becanda, aku tidak akan memepermasalahkannya. Kamu memang pantas berpikir seperti itu karena sikap yang kutunjukkan. Tapi jika kamu percaya, mungkin aku akan lebih bahagia. Aku tahu aku bodoh, aku terlambat mengungkapkan semua ini dan caraku mengungkapkan segalanya malah lebih bodoh lagi. Aku juga sakit hati Run, saat secara sengaja atau tidak senagaja aku mengatakan atau bersikap tidak wajar terhadapmu. Dan...” Aku mengenggam tangan Runa. “Aku juga cemburu, saat kamu dekat atau ditatap oleh orang lain. Aku gak buta, Run... banyak orang yang diam-diam perhatiin kamu, iri sama kamu. Aku memang ingin memberitahukan pernikahan kita pada orang lain, aku sudah menyiapkan segalanya. Tapi kebodohan sikap Ari saat itu benar-benar udah kelewat batas Run. Bisa-bisanya dia bilang seperti itu di depan umum. Semuanya gagal dan ancur, Run. Usaha yang selama ini aku susun jadi berantakan.”
“Hal apa lagi, Mas?”
Akhirnya Runa mengatakan sesuatu juga. Aku menggeleng pelan.
“Kamu percaya padaku, kan?” Meskipun aku tahu jawabannya, aku tetap harus memastikan hal ini dengan pasti.
“Aku ingin ... ada jarak diantara kita, kamu mau melakukannya kan, Run?”
Runa terdiam, aku pun sama. Aku tahu ini sulit, bahkan sangat sulit untukku. Aku terbiasa bersama Runa dan jika tanpa Runa aku pun tidak tahu akan bagaimana. Tetapi ini yang terbaik.
“Permintaanku tidak salah Run, kita ... harus berpisah.” Aku kembali menegaskan maksudku.
Air mata Runa yang menetes membuat hatiku seperti mendapatkan tikaman yang begitu hebat. Lihatlah apa yang aku lakukan, bukannya membuat Runa senyum malah membuatnya meneteskan air mata.
“Aku tahu ini sulit, Run. Tapi percayalah, mungkin perpisahan memang jalan yang baik untuk kita. Aku sangat mencintaimu, mungkin kamu tidak tahu kalau aku mencintaimu sejak pertemuan pertama kita, saat kita berusia 7 tahun, di tengah hujan. Tapi saat ini, perpisahan memang yang terbaik untuk kita.”
“Kenapa, Mas?” tanyanya dengan suara yang bergetar dan kepala yang menunduk.
Hatiku sakit melihatnya seperti itu, namun aku harus kuat demi kita berdua. Aku mendekatkan jinjingan yang tadi aku bawa ke arah Runa.
“Ini persediaan makanan. Di dalamnya juga ada uang dan peta. Jika kamu memang ingin di sini, tinggal di sini, tetapi kalau mau pergi, pergi saja, Run.”
Bahu Runa bergetar dan perlahan mulai berirama naik dan turun, dia menangis. Aku membawa Runa dalam pelukanku.
“Maafkan aku, Run. Tapi ini benar-benar harus aku lakukan.”
Aku menghapus air mata yang ke luar dari mataku dengan kasar lalu melepas pelukanku dari Runa.