"MENTARI PRAMADIPTA!”
Gue mendelik. Mama enggak pernah tanpa alasan memanggil dengan nama lengkap seperti pada antrean rumah sakit itu. Begitupun teriakannya dari arah dapur kali ini.
“Jangan lupa telepon Tante Siska dan Tante Nunik, ya!"
Sambil terus mematut diri di cermin, gue mendengkus sebal.
Sudah setua ini dan gue masih saja diperlakukan seolah anak remaja tanggung yang selalu harus diingetin setiap saat. Kalau mau dihitung-hitung, ini sudah kelima kalinya Mama menyuruh gue menelepon kedua adik perempuannya itu. Mama meminta mereka datang ke acara--yang selalu berusaha gue hindari seumur hidup karena banyaknya basa-basi--arisan keluarga!
Bukan apa-apa, pertanyaan legend yang sama selalu berulang ditanyakan setiap kali ketemu mereka. Semacam ‘Hey, mana pacarmu?’ Atau ‘Udah umur segini, masih jomlo aja.’ Atau lebih parah lagi, ‘Makanya jangan kebanyakan kerja, Mentari. Masa duda aja nggak dapet, sih?’ Dan, ‘Jangan sampai orang mengira keponakan Tante ini udah jadi pelakor atau ani-ani, ya?’
Gila!
Emang segitu desperate-nya kah hidup ini kalau belum punya pacar di usia gue sekarang? Apakah jadi jomlo itu dosa? Apa sebuah kutukan? Kekeliruan? Atau apakah jomlo itu semacam penyakit menular berbahaya yang harus segera dicarikan obat penawarnya? Kenapa pusing amat sama hidup orang, sih? Gue aja yang ngejalaninnya santuy dan masih bisa enjoy, kok.
“Iya, Mam,” balas gue pelan seperti pada diri sendiri.