"Jadi, siapa korban lo kali ini?"
Anne menggeser kursi dan duduk di seberang meja kerja gue. Sepertinya baby Vania, puteri semata wayang Anne, sudah kembali ke pangkuan baby sitter-nya, makanya Anne bisa leluasa ngerecokin gue lagi, setelah perdebatan random gara-gara uban sebijik di rambut yang tadi jadi bikin gue ngamuk-ngamuk dan menimbulkan kecurigaan Anne untuk menginterogasi lebih lanjut.
Gue pura-pura enggak dengar. Tetep asyik corat-corat desain gaun malam pesanan klien di atas kertas sketsa.
"Tar," panggil Anne, mulai terganggu kecuekan gue. Gue cuma angkat alis sedikit, tapi mata tetap fokus sama coretan pensil di tangan. "Siapa cowok nekat itu?"
Enggak tahan mendiamkan lebih lama, akhirnya gue jawab juga pertanyaan enggak penting Anne dengan balik nanya, "Cowok apaan?"
Anne mengikik kecil. Sial*n. Gue pikir dia udah tobat ngeledekin gue.
"Terakhir lo ngeributin uban, lo jadian sama Romi." Gue mendelik. "Ngaku aja lo udah punya gebetan, kan?"
Anne mendesis sok tahu. Udah kayak detektif yang nemu barang bukti aja dia.
Gue menarik napas, meletakkan pensil di atas kertas yang masih berserakan di meja, terus pasang tampang paling bete sedunia.
"Emang masalah buat lo, kalau gue punya cowok?"
"Oh tentu saja tidak, my darling!" Mata Anne berbinar-binar kayak baru habis menang lotre. "Justru gue ikut senang. Lo jadi ada yang bisa dibawa-bawa ke arisan keluarga."
Oh, gue lupa bilang, ya, kalau Anne ini selain sahabat dan teman kuliah gue, dia juga--sialnya-- adalah sepupu gue dari Mama. Jadi, kalau gue bilang dia tahu gue luar dalem, itu bukan cuma isapan jempol Vania aja. Tapi memang dia tahu semuanya. Termasuk keluarga gue, terutama Mama yang udah ngebet banget gue punya suami.
Gue mendecak.
"Dia ganteng, nggak? Hmm? Macho? Kaya? Anak bangsawan?" Anne menaikkan alisnya berulang-ulang, bikin gue pengin tarik itu alis saking gemas.
“You mention it."
"Gue kan cuma ngulang kriteria lo, Nyet!" protesnya saat melihat gue mendengkus. "So?"
Anne menarik kursi dan pindah ke sebelah gue.
“So, what?”
Gue pura-pura memelototi Anne.
"Gue baru sebulan kenal sama nih cowok." Akhirnya gue enggak tahan juga. Anne sampai enggak kedip nungguin lanjutan cerita gue.
"Dia Personal Trainer di Silver Gym," sebut gue sambil nyomot kertas baru dan mulai nyoret-nyoret lagi. Gue heran tiba-tiba kayak gerak sendiri, tangan gue bukannya bikin sketsa baju, malahan ngegambar muka orang.