Anne ngakak kenceng banget pas gue selesai cerita, bersamaan dengan berakhirnya coretan di kertas sketsa gue. Udahannya, gue yang bengong. Kenapa muka tengil si gerobak cireng yang nongol di situ?
"Cinta amat lo sama dia, sampai bisa gambarin mukanya sejelas itu!" Anne nyenggol bahu gue sambil ngikik kuda. Gue pelototin gambar muka yang diduga keras Anne adalah milik Aksa. Coretannya emang belum sempurna. Tapi, lekuk dan pahatan wajahnya jelas itu muka dia. Gue aja bingung kenapa secepat gitu bisa hapal. Oh, ini pasti karena kejadian lanjutan di mal, yang males gue ceritain pada Anne.
Habis gue jerit gitu, spontan pengunjung dan satpam pada nengok ke kita berdua. Gue enggak yakin maksudnya apa, tapi Aksa segera ngerebut dan meluk pinggang gue sambil ngomong dengan entengnya ke orang-orang itu, "Sorry, pacar gue lagi ngambek!"
Sejurus kemudian, orang-orang yang kepo tadi pada manggut-manggut dan balik ke aktifitas masing-masing.
Sia-sia aja gue meronta. Aksa yang tingginya gue taksir sekitar 180-an senti dan bobot kurang lebih 70-72 kiloan itu, jelas lebih kuat. Apalah daya gue yang cuma setinggi 150 senti kotor dan berat jauh di bawah ideal, udah kayak anak koala aja nempel di dadanya.
Sampai ke dekat parkiran motor, baru dia ngelepasin rangkulannya di pinggang gue. Muka gue rasanya udah panas. Dari tadi gue berusaha nahan diri untuk enggak melabrak dia. Malu aja kalau sampai ada klien atau orang yang gue kenal ngelihatin kita. B*rengsek. Tapi, kok gue kayak enggak rela dilepasin gitu aja. Meski sebel, dekat di dadanya ternyata gue ngerasa nyaman.
Cepat-cepat gue tepis perasaan itu.
"Lo mau apa, sih?" pekik gue alih-alih.
"Tunggu di sini." Suaranya datar tapi kedengaran lebih lembut.
Gue mendengkus.
Dia jalan sebentar ke arah deretan motor-motor yang diparkir berjajar dan balik sudah menunggangi sebuah motor sport hitam. Mukanya ketutupan helm sebagian. Cuma kelihatan mata dan hidung juga sedikit bibir atas yang bergerak saat dia ngomong sambil menggerakkan kepala, "Naik."
Gue masih ragu waktu Aksa nyodorin helm lain ke gue. Bentuknya aneh. Kayak helm yang dipakai pilot pesawat tempur zaman perang dunia ke dua. Enggak ada kaca, tapi di helmnya ada kaca mata besar. Cuma separuh wajah. Gue enggak mau pakai. Lagian, apa-apaan dia nyuruh-nyuruh gue? Pacar bukan, kenal juga baru. Jadi, gue diem aja.
"Naik atau gue gendong ke atas motor!" suruhnya lagi. Sial*n. Ini bocah udah kayak gue punya dosa apa sama dia, sampai gue harus nurut aja gitu?
"Gendong aja!" tantang gue sambil balik badan, siap-siap pergi ngejauhin dia. Bodo amat. Kalau dia macem-macem, gue bisa jerit-jerit lagi. Masa iya enggak ada orang yang mau nolongin gue di parkiran segede gini?
Baru beberapa langkah, tanpa peringatan, gue ngerasa tangannya yang kuat menyambar dan mel*k perut gue lagi. Kali ini dengan gerakan sangat cepat, dia memutar pinggang gue di dadanya. Kaki gue berakhir melingkari perutnya. Muka gue seketika seperti terbakar.
Gue syok! Gue teriakin nama dia. Gue pelototin. Refleks aja, tangan gue bergerak mau nampol mukanya yang udah deket banget ke muka gue karena dia lagi gendong gue. Tapi, dia tangkap tangan gue. Dia malah nyengir. Bocah gend*ng! Napasnya terasa hangat, menyerbu muka gue. Gue seperti kehilangan akal beberapa detik tadi. Sampai akhirnya kesadaran gue balik lagi waktu Aksa mendudukkan gue di jok motornya sebelum dia sendiri naik lagi.
Alih-alih ngamuk karena perlakuan enggak masuk akal Aksa, kaya orang b*go, gue malah bengong waktu dia pegang tangan gue sambil dengan lembut tiba-tiba bilang, "Mentari, gue suka sama lo. Gue antar lo pulang. Boleh?"
What? Dia nembak gue? Di parkiran gini?
Gue enggak mau jawab. Masih kesel sebenarnya sama dia, tapi sekarang ditambah ada ge-er-nya dikit. Ini bocah ternyata suka sama gue, makanya tingkahnya jadi aneh. Udah nyulik, baru nanya boleh enggak antar gue pulang. Terus dia ngarepin gue jawab apa?
Gue buang muka.
Akhirnya, dia ngomong dengan suara kayak meringis gitu, "Oke. Gue minta maaf, ya."
Awkward moment menyergap.
Gue kibasin tangannya yang tadi megang gue. Bukan cuma karena risih tiba-tiba diliatin orang satu parkiran, tapi juga karena jantung gue mendadak enggak bisa diem. Berdetak kencang kaya orang baru habis ikut triathlon.
Gue masih enggak balas pertanyaan dia. Gue ngerasa serbasalah. Mau turun dari motornya, dengan kaki pendek gue rasanya enggak akan segampang itu. Gue enggak mau bikin drama jatuh dari motor besar dia dan jadi bahan ledekan orang-orang. Mau enggak mau, sekalian menutupi muka yang seperti sudah berwarna mejikuhibiniu, gue pakai aja helm yang dia kasih.
"Gue … ikut sampai depan," akhirnya gue bilang, menyamarkan rasa gugup.