Angin berembus lembut, membawa aroma laut yang khas. Nina duduk di sebelahku dengan pandangan menatap jauh ke arah cakrawala. Sesekali, dia menghela napas dalam-dalam. Garis-garis di wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat melunak, tapi ada sesuatu di sana—seperti pertarungan kecil antara keraguan dan keberanian.
Bibirnya melengkung sedikit ke atas, tapi hanya sesaat, seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat. Aku menunggu, tapi waktu seolah berhenti, membuatku gelisah.
“Kamu kenapa, Nin?” tanyaku akhirnya, mencoba memecah kebekuan yang menyelimuti kami.
Nina menoleh pelan, menatapku. “Kenapa? Maksudmu?”
“Iya. Dari tadi kelihatan gelisah. Kamu kelihatan gugup atau ada yang mau kamu omongin,” kataku, mencoba tersenyum, meski terasa agak canggung.