Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #2

Zona Pertemanan

“Al, boleh aku pinjam pacarmu?”

Kalimat itu keluar dari mulutku dengan penuh keberanian setelah berminggu-minggu menyiapkan hati untuk segala kemungkinan, termasuk penolakan yang mungkin memalukan. Aku tahu, pertanyaanku terdengar konyol, bahkan mungkin melecehkan, tapi aku sungguh serius.

Aldi, sahabatku sejak lima tahun lalu, menatapku tanpa ekspresi. Lelaki berhidung pesek itu sejenak terdiam, mungkin mencerna absurditas permintaanku. Aku memutar bola mata, mencoba mengusir rasa canggung yang menempel di udara. Namun, aku tidak menarik kembali ucapanku. Aku benar-benar membutuhkan pacarnya, Nina, untuk satu malam saja. Alasannya? Supaya dia bisa berpura-pura menjadi kekasihku di depan teman-teman alumni SMA yang akan berkumpul akhir pekan ini.

“Al?” panggilku, mencoba menarik perhatiannya lagi. “A-aku serius, loh. Kali ini aja. Hanya semalam.”

Aldi akhirnya angkat bicara, suaranya santai, nyaris tanpa beban. “Boleh.” Dia mengangguk pelan tapi tegas. “Cuma semalam aja, kan?”

Aku mengerutkan dahi, masih tidak percaya. “Kamu serius, Al? Aku boleh?”

“Serius,” jawabnya dengan santai, diakhiri kerlingan sebelah mata. “Tapi itu kalau Nina mau diajak jalan sama kamu, ya.”

Aku tertegun sejenak. Tidak kusangka, permintaan konyolku ini disetujui tanpa keberatan sedikit pun. Aldi memang sahabat yang selalu mengerti. Meski ini hal yang tidak biasa, dia tidak pernah membuatku merasa terhakimi atas permintaan atau cerita-cerita anehku.

“Ya sudah. Sekarang aku bilang ke Nina. Makasih, Al!” seruku, buru-buru meraih kunci motor di atas meja.

Beberapa menit kemudian, aku meluncur dengan sepeda motor CB klasik kesayanganku, menuju rumah Nina yang berjarak sekitar tiga kilometer dari indekos. Sore itu, Jalan Selaparang dipenuhi kendaraan yang merayap lambat. Jam-jam sibuk seperti ini memang selalu penuh, dengan bapak-bapak dan ibu-ibu pegawai kantoran pulang kerja.

Belum lagi antrean mobil yang keluar dari parkiran sebuah rumah makan, menambah kekacauan jalanan. Di sisi lain, aroma asap satai yang menyeruak dari warung pinggir jalan terasa menusuk hidung, membuat pernapasan sesak.

Aku menggerakkan motor dengan gesit, menyelinap di antara celah sempit kendaraan. Sebuah mobil berhenti mendadak di depanku, memaksaku meliuk ke kiri untuk menghindar. Nyaris saja aku menabrak trotoar pembatas jalan, tapi untungnya, aku sudah cukup lihai menghadapi situasi semacam ini.

Aku hanya berharap perjalanan sore ini tak sia-sia. Bagaimanapun juga, Nina harus tahu bahwa, setidaknya untuk satu malam, aku membutuhkan bantuannya.

Setelah berhasil melampaui kemacetan yang menguji kesabaran, aku akhirnya tiba di jalur yang lebih lengang. Motor CB klasikku kembali melaju dengan kecepatan normal, angin sore perlahan menyapu rasa penat yang sempat menumpuk.

Pikiranku kemudian melayang pada Nina. Perempuan dengan rambut sebahu, bibir merekah, dan hidung yang begitu lancip—kecantikan yang membuat banyak lelaki terpesona. Dari dulu, Nina selalu jadi pusat perhatian. Bahkan, saat kuliah dulu, banyak teman menitipkan salam padanya melalui aku. Nina memiliki bulu mata lentik yang tampak alami tanpa polesan maskara. Pesonanya sederhana tapi kuat, cukup untuk membuat siapa pun tertegun.

Kami bertiga—aku, Nina, dan Aldi—pernah begitu akrab. Sebelum Nina dan Aldi menjalin hubungan, kami sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan tawa. Namun, semua berubah saat status Nina berganti menjadi kekasih Aldi. Waktu yang kuhabiskan dengannya perlahan memudar, tergantikan oleh kehadiran sahabatku sendiri.

Tak lama, aku tiba di rumah Nina, sebuah bangunan sederhana dengan gerbang hitam kecil yang memang tak pernah digembok. Setelah menambatkan motor di depan, aku membuka gerbang dan melangkah masuk. Mengetuk pintu beberapa kali, hingga akhirnya wajah tirus Nina muncul di balik pintu. Matanya yang bulat, garis wajahnya yang tegas, dan senyumnya yang tak pernah berubah membuatku merasa seperti kembali ke masa lalu. Ada sesuatu tentang Nina—pesona yang tampak semakin tak wajar setiap kali aku bertemu dengannya.

“Andre? Tumben ke sini. Aldi mana?” tanyanya sambil membuka pintu lebih lebar, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, tampak mencari sosok kekasihnya.

“Aku … sendiri, Nin. Nggak sama Aldi,” jawabku, berusaha terdengar santai meski ada sedikit ketegangan dalam suaraku.

“Oh, begitu. Kalau begitu, masuk dulu, yuk!” ajaknya, memberi isyarat dengan tangannya.

Aku melangkah masuk ke rumahnya. Ruangan sederhana dengan empat sofa yang mengelilingi satu meja kecil di tengah. Dinding putihnya dihiasi lukisan dan kaligrafi, menambah kesan hangat dan bersahaja. Kami duduk saling berhadapan. Nina tersenyum padaku, senyum yang tak pernah pudar sejak dulu. Aku memandanginya sejenak, mencoba menahan diri agar tak terlalu larut dalam nostalgia.

“Jadi, ada apa, Ndre?” tanya Nina sambil mengangkat sebelah alis. Nada suaranya terdengar santai, tapi aku bisa merasakan rasa penasaran di balik pertanyaannya.

Aku menunduk sesaat, mencoba merangkai kata. Kehadiranku di sini pasti membangkitkan tanda tanya baginya. Terakhir kali aku mengunjungi rumah ini adalah saat membantu Nina menyelesaikan tugas akhirnya. Setelah itu, segalanya berubah. Aldi mengambil alih peran yang dulu kupikir milikku—sebagai orang yang selalu ada untuk Nina.

Namun kali ini, aku kembali. Dengan tujuan yang, bahkan bagiku sendiri, terasa sedikit tak masuk akal.

Sejak lulus kuliah beberapa bulan lalu, hari-hariku disibukkan oleh pekerjaan paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Waktu yang tersisa hanya sedikit, dan itu membuat aku dan Nina semakin jarang bertemu. Karena itulah, berada di ruang tamu rumahnya sore itu terasa seperti momen langka.

“Malam ini ... aku mau ngajak kamu jalan,” kataku tiba-tiba, memecah keheningan. “Dan nggak Cuma itu. Aku juga mau kamu pura-pura jadi pacarku.”

Aku mengatakan semuanya tanpa basa-basi, mengandalkan kedekatan yang pernah kami miliki dulu. Meski begitu, rasa bersalah menyelinap di hatiku—khususnya pada Aldi. Aku takut dia salah paham, mengira aku punya niat merebut Nina darinya. Tapi, semoga itu tidak pernah terlintas di pikirannya, dan persahabatan kami tetap utuh selamanya.

Nina tampak terkejut. Alisnya bertaut, seolah berusaha memahami permintaanku yang terdengar absurd.

“J-jalan? Dan pura-pura jadi pacar kamu, Ndre?! Nggak salah?” tanyanya, nadanya setengah heran, setengah tak percaya.

Aku mengangguk mantap, meski dalam hati sebenarnya waswas.

“T-tapi—”

“Aldi sudah setuju, kok,” potongku cepat, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Jangan khawatir. Aku sudah bilang ke dia. Lagian cuma pura-pura aja.”

Nina masih menatapku dengan ekspresi bingung. “Tapi, kenapa? Kenapa tiba-tiba?”

Lihat selengkapnya