"Ndre, kamu tahu nggak Nina kenapa?"
"Nina? Emangnya kenapa dia? Kalian lagi ada masalah, ya?"
"Nggak juga. Nina sekarang jadi lebih pendiem, sih. Aku pikir kamu tahu sesuatu soal dia. Bahkan pas aku ngajak dia makan di luar, dia itu cuma ngelamun dan kelihatan nggak nafsu makan gitu. Jadi bingung aku."
"Udah tanya sendiri ke dia, Al?"
"Udah, kok. Tapi, dia cuma bilang nggak apa-apa."
Kebingungan Aldi tersebut sangat jelas bagiku. Yang ditunjukkannya adalah hasil dari perhatiannya kepada Nina. Tentu saja, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya bahwa Nina telah menyatakan perasaan cinta secara terang-terangan beberapa hari lalu padaku. Lagi pula, aku tak ingin cari perkara. Aldi sahabatku satu-satunya. Aku sudah banyak berhutang budi padanya.
Meskipun Nina pernah bertanya padaku tentang sampai kapan zona pertemanan di antara kami berakhir, aku sama sekali tak punya jawaban. Selain itu, aku memang hanya menganggapnya sebagai teman. Meskipun sedikit ragu, sih, mengatakan diriku tak punya perasaan apa pun padanya. Setidaknya, aku hanya menghindari perselisihan yang tak penting.
Berhubung aku tak bisa menjawab pertanyaannya, Aldi menghela napas gusar serta merebahkan punggung di sofa. Sedari tadi, aku hanya menatap layar ponsel karena tidak tahu harus berkata apa. Memang tak jarang Aldi meminta saran dariku tentang perubahan sikap Nina, tetapi kali ini aku sama sekali tak punya solusi yang baik. Tidak bisa kusangkal, mungkin rasa curiga telah mulai tumbuh di benak Aldi tentang hubunganku dengan Nina. Sebab, dia pasti bisa merasakan keganjilan itu dari hatinya yang terhubung dengan perasaan Nina dan diriku.
Sesekali kucuri-curi pandang menatap raut wajah yang ditunjukkan lelaki itu. Keningnya mengerut, bibirnya bergerak-gerak, alisnya pun demikian tak bisa diam, dan helaan napasnya terdengar kasar. Dengan melihatnya begitu, aku tidak bisa terus-menerus diam seperti sahabat yang kurang perhatian. Walau tak punya solusi, setidaknya aku punya cara lain mengalihkan pikirannya. Kubuka mulut dan berkata, "Al, kamu 'kan belum sarapan, nih. Di kulkas kayaknya masih ada sisa Pop Mie. Ambil aja kalau mau. Aku kayaknya nggak sarapan, deh. Perut belum baikan soalnya."
"Nggak usah, deh. Buat kamu aja, Ndre. Kamu 'kan nggak bisa nggak sarapan. Aku mah bebas. Mau sarapan atau nggak, aku tetap sehat dan nggak ada masalah sama perut," cetusnya, tampak sungkan.
Itulah yang selalu membuatku tidak enak hati. Aldi selalu baik padaku kapan pun dan di mana pun. Bahkan dia dengan tulus meminjamkan kekasihnya padaku walau hanya semalam. Tidak bisa dibayangkan, jika bukan Aldi, lelaki lain mungkin langsung melayangkan tinju dan membuat wajahku dipenuhi tato-tato luka dengan darah segar yang menyeramkan. Memangnya, lelaki mana yang mau meminjamkan pacarnya? Mungkin ada, sih, tapi mereka yang menyandang julukan cowok kurang waras. Atau mungkin cowok yang menganggap pacarnya tidak terlalu penting.
Tentu tak hanya itu kebaikan yang pernah Aldi beri. Semakin dewasa diriku, kebutuhan semakin banyak. Bekerja paruh waktu juga tidak membuat kebutuhanku langsung tercukupi. Itulah mengapa aku sering kali meminjam uang pada Aldi untuk membayar uang kos. Rumah, sih, aku punya. Namun, karena tempat kerjaku cukup jauh dari rumah, aku pun terpaksa ngekos. Bisa dikatakan bahwa Aldi adalah penyelamatku saat berada dalam masalah finansial.
"Buat kamu aja. Serius, perut lagi nggak enak. Kalau aku makan, perutku bisa tambah sakit." Aku berkeras sampai akhirnya Aldi pasrah dan melangkah ke dapur demi menyeduh Pop Mie sebagai sarapannya pagi ini.
*
Januari 2014
"Jadi, kamu juga kuliah di sini? Kenapa nggak ngomong dari awal?"